"Rasa sakit membuktikan bahwa kita adalah manusia."
"Ada apa, Bi?" pekikku panik melihat wajah pucat Bi Iyem. Kecemasan itu menular, dan kini aku merasakan jantungku berdebar. Tanpa sadar aku sudah berdiri di hadapannya. Lolipop yang sedang berselancar di mulutku kini berpindah ke tempat sampah setelah kubungkus seadanya.
"Mas Evan, Tan! Mas Evan!" Bi Iyem memegangi dadanya yang naik turun. Dia menarik tanganku menuju ruang tengah, tempat di mana aku terbelalak dan menutup mulut tak percaya.
Rak barang pecah belah yang membatasi ruang keluarga dengan ruang tamu sudah porak poranda, seperti baru saja diterjang banjir bandang. Pecahan kaca pembatas rak juga porselen berhamburan di lantai, lengkap dengan percikan darah menodai keramik putih. Keadaan di sekitar juga tak lebih baik, penuh dengan barang-barang yang dihempas paksa hingga berserakan jauh dari tempatnya.
"Kenapa ini, Bi?" tanyaku dengan tenggorokan tercekat. "Bibi mana yang luka?"
Bi Iyem menangis sambil memunguti pecahan kaca di bawah kakiku. Aku turut menunduk, mengikuti gerakannya. Sekarang dadaku seperti akan pecah karena begitu khawatirnya.
"Kamu tolongin Mas Evan aja," isak Bi Iyem. "Bibi ... bibi nggak apa-apa."
"Dia ngapain Bibi?" tukasku tajam. Ulah apa yang dilakukan orang itu hingga membuat Bi Iyem menitikkan air mata?
"Tangannya berdarah, Tan. Tolongin dia aja. Biar Bibi yang beresin," ujar wanita itu pelan.
Aku mengamati tubuh Bi Iyem lekat, mencari sumber luka yang mungkin disembunyikannya. Sejauh penglihatanku memang tak ada. Hanya noda merah di rok kuning mengembangnya yang sepertinya terseret dari lantai saat menunduk.
"Jangan-jangan Bapak ...," ujarku terputus. Aku segera berlari menuju kamar Pak Harjanto. Pikiran buruk mulai bermunculan di benakku.
"Bapak nggak apa-apa. Masih sama Pak Cahyo, Tan!" seru Bi Iyem membuatku yang sedang menjulurkan tangan untuk memutar gagang pintu berhenti. "Tolongin Mas Evan dulu! Darahnya banyak banget!"
Aku bergidik mendengarnya. "Emang kenapa, sih, Bi? Kenapa tangannya berdarah?"
"Dia nonjok kaca sampe pecah begini!" isak wanita tua itu, membuatku iba. "Bibi nggak tau kenapa, tapi Bibi takut tangannya sakit soalnya berdarah. Nggak biasanya Mas Evan kayak gitu."
Kakiku terasa begitu berat untuk melangkah. Seharusnya aku sigap memberikan bantuan pada orang yang terluka. Tetapi entah kenapa, bertemu lagi dengan Rezvan membuatku enggan. Terlebih setelah dia melihat Om Cahyo memperlakukanku seperti tadi. Aku tak ingin dia menganggapku wanita yang mudah bersentuhan dengan laki-laki.
Mengutamakan dorongan nurani daripada rasa benci, aku akhirnya bergerak untuk mengambil alat pertolongan pertama di kotak P3K. Sebenarnya tak terlalu lengkap, lebih banyak di kamar Pak Harjanto. Tapi aku tak mau masuk ke sana selama Om Cahyo masih ada. Kali ini tak ada Rezvan yang akan menyelamatkan situasiku.
Tunggu dulu. Sebelumnya Rezvan telah banyak menolongku. Mulai dari kecelakaan di hutan, hingga secara tidak langsung membantuku kabur dari pria mesum tadi. Lantas, mengapa aku masih ragu untuk menolongnya?
Kubulatkan tekad demi asas kemanusiaan. Dengan mantap aku melangkah mengikuti jejak darah yang berceceran di lantai seperti detektif yang sedang mencari petunjuk. Ternyata tetesan darah itu menuju ke balkon di lantai dua.
Tampak Rezvan duduk berlatar awan kelabu di atas kursi beratap payung besar. Ia menenggak cairan dari sebuah botol hijau yang tampak seperti wadah saus di warung kaki lima, kemudian meletakkan benda itu kasar di atas meja kayu di depannya. Di tangan satunya terjepit sebatang rokok yang masih mengeluarkan asap mengepul dengan cepat berpindah ke bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...