"Perubahan seketika dari orang yang sebelumnya selalu mencela menimbulkan beribu tanda tanya."
"Bilang dong kalau mau keluar!" sungut Rezvan setelah menarik tangan dari keningku.
Sebagai orang yang seharusnya marah, aku membalas ketus. "Lagian nggak sabar banget, sih? Tadi aja nggak mau berangkat!"
Kulihat Rezvan termangu sesaat, mungkin terkejut karena aku berani menyerangnya balik. Biar saja. Kepalaku masih berdenyut akibat hentakan buku jarinya yg menghantam tulang frontal tengkorakku.
"Ya udah, ayo berangkat!" ajaknya mengalihkan pembicaraan.
Sebenarnya aku juga penasaran kenapa dia tiba-tiba bersemangat datang. Tapi aku tak akan sudi untuk sekadar bertanya padanya.
"Saya mau pamit sama Bapak dulu!" ucapku sambil berjalan ke ruang sebelah, meninggalkannya yang tak sempat mencegah.
Pak Harjanto tampak terpana saat aku membuka pintu. Kutebak dia sedang membayangkan istrinya yang terbalut gaun indah ini, sedang menghampiri dirinya yang dulu masih gagah perkasa.
"Pak …," panggilku membuyarkan lamunannya.
"Eh … oh, iya," sahut Pak Harjanto tergagap. Di balik kulit keriputnya kulihat seberkas rona merah. "Kamu cantik, Tan. Saya jadi inget istri saya."
Aku tersipu mendengar komentarnya. Pujian Pak Harjanto cukup meningkatkan sedikit rasa percaya diriku untuk keluar setelah sekian lama terkurung di menara Rapunzel. Berbeda dengan anaknya yang tak sedikitpun memujiku tapi malah memukul kepalaku.
"Saya mau berangkat, Pak. Bapak nggak apa-apa, kan, ditinggal?" pamitku lembut.
"Saya ndak apa-apa, Tan. Justru saya malah ndak enak, sudah banyak membebani kamu," sahut Pak Harjanto terdengar lirih.
Aku tersenyum, "Nggak, Pak. Saya mau bantu Bapak sebisa mungkin. Biar pikiran Bapak juga tenang. Kalau Bapak stres, nanti malah pengaruh ke kesehatan Bapak."
Pak Harjanto mengangguk dan aku kembali mengingatkan agar segera memanggil Bi Iyem jika butuh bantuan. Kalau bisa, langsung telepon aku agar segera meluncur kembali ke rumah walau pesta belum usai.
Aku keluar kamar dan Bi Iyem menyambutku dengan pekikan histeris. Dia memuji penampilanku dan mengatakan pangling karena biasanya aku hanya berhias seadanya. Padahal, riasanku ini juga tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beauty vlogger yang terkenal. Aku mengulang kembali apa yang sudah kukatakan pada Pak Harjanto dan memastikan semua terkendali.
Langit sudah kehilangan cahaya karena matahari sudah kembali ke peraduan saat Bi Iyem mengantarku ke pintu depan. Aku mencium tangannya sebelum membuka pintu jeep yang telah berjasa menjemputku tempo hari.
Kulihat Rezvan sudah menunggu di balik kemudi. Gerakanku terhenti saat mendapati Rezvan tak berkedip menatapku. Untuk beberapa detik kami beradu pandang. Apakah Rezvan sedang mengagumi penampilanku?
"Ehem!
Suaraku berhasil membuatnya salah tingkah. Dia malah menyalakan wiper mobil padahal tak hujan. Aku ingin terkikik sendiri. Berarti bukan hanya aku yang merasa terlalu percaya diri. Sepertinya dia memang mengakui bahwa penampilanku oke.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...