"Andai ingatan itu seperti karbon dioksida, walau sempat menghuni tubuh tapi bisa dilepas juga."
Aku menatap kosong pada piring yang sudah kusabun berulang kali. Aliran air dari keran seolah jemu membilas busa yang terus tercipta di benda keramik itu. Begitu pula jemariku yang mungkin sudah protes karena keriput. Tak sedetik pun aku ingin berpaling dari tempatku berdiri entah sejak kapan ini.
Telepon dari Pak Dobleh sudah menerorku sedari pagi. Aku kehilangan akal, bagaimana bisa melunasi utang yang seperti berbunga tiada henti. Terlebih pria botak itu menawarkan aku untuk menjadi istri juragannya, agar utang bisa berkurang! Yang benar saja? Lebih baik aku bunuh diri!
Berbagai opsi berkelebat di otakku. Meminta tolong Rezvan? Otomatis tidak. Dia adalah orang terakhir yang akan aku temui, jika pilihan hanya tinggal dirinya atau mati. Iya, aku memang sebenci itu dengannya! Apalagi saat aku semakin menyadari bahwa dia memang tidak pernah menganggap aku ada.
Ah, mengingatnya membuat memoriku tanpa izin memutar kejadian semalam bersamanya.
Aku nyaris kehilangan kesadaran begitu tubuh besar Rezvan mendarat di atasku. Beruntung kepalaku tak terbentur lantai. Aku mengerahkan segenap energi demi menyingkirkan badan berotot tapi tak bertenaga yang terasa berkali lipat lebih berat. Percuma. Tak sedikit pun pria itu bergerak dari atasku. Ia malah semakin nyaman menempatkan kepalanya di bahuku. Sial!
Bau alkohol menyeruak saraf olfaktorius di hidungku, memicu mual yang membuatku ingin muntah. Ujung rambutnya yang menyentuh leherku menimbulkan sensasi geli, berpadu dengan getaran yang menjalari setiap jengkal sarafku. Jantungku berdebar kuat, sebagai kompensasi tubuhku menghadapi kedekatan yang begitu erat.
"Rezvan ...!" teriakku tanpa embel-embel sapaan, berharap dia segera tersadar.
Berhasil. Tubuh Rezvan menggeliat. Ia mengangkat kepala dan menjadikan kedua tangannya sebagai tumpuan di kiri dan kananku. Wajahnya begitu dekat, hingga hidung kami nyaris bersentuhan. Ibu jarinya membelai pipiku lembut, diiringi tatapan sayu yang menembus pupil mata dan seolah mengoyak retinaku. Bahkan kegelapan malam tak dapat menyembunyikan kharismanya yang membuat batinku bergejolak. Sejenak aku terpaku, tak mampu bergerak.
"Du bist wunderschön, Schatz," gumamnya seperti orang berkumur.
Aku menahan napas saat bibirnya yang tersenyum semakin mendekat. Sebentar. Apa aku tidak salah? Gerakan ini, helaan napas ini. Ah, dia semakin dekat dan akan ... menciumku! Hatiku berbisik, menghendaki mataku terpejam untuk menikmati momen pertama yang selalu kudamba. Oh, aku akan merasakannya juga!
Debaran jantungku kian tak terkendali. Aku tak ingin menghitung mundur, tapi inilah saatnya. Ciuman pertamaku. Oh, seluruh tubuhku gemetar menyambutnya.
Jangan, Kintana! Hentikan!
Jeritan nurani membuat tanganku spontan menutup bibir Rezvan. Aku menggunakan kaki yang bebas untuk menendang perutnya dan sebelah tanganku mendorong bahunya. Rezvan terguling ke kanan, memberikan jeda bagiku untuk bangkit dan duduk. Gemuruh di dadaku menampar kesadaranku. Apa yang aku pikirkan sebelumnya, membiarkan pria yang mabuk menyentuh tubuhku sedemikian rupa?
Rezvan mengangkat tubuh dan menangis dengan keras. "Ich liebe dich mehr als alles andere auf dieser Welt. Aber warum hast du ihn gewählt?" racaunya sambil memukul-mukul lantai. Telunjuknya diacungkan padaku berulang-ulang.
Pria itu kembali menghampiriku, seperti hendak menerkam. Aku belum pernah melihat orang mabuk sebelumnya, tapi tak kusangka minuman keras itu benar-benar membuat orang tidak waras. Tak peduli sakit yang akan dirasa, aku mendorongnya hingga terjerembab di lantai. Dia hanya meraung, tetapi tak membalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...