Part 39 : Am I Crazy?

3.3K 259 9
                                    

"Cintaku padanya seperti akar tunggang yang sudah menancap di kedalaman bumi."

Aku berdiri di depan cermin, menatap wajah kusut dengan kulit kusam tak terurus. Mata yang terlihat seperti panda, dengan lingkaran hitam di sekelilingnya. Bibir pucat yang tak lagi ranum tampak di bawah hidung, dengan pecahan kulit ari menempel di atas dan bawah. Pipi melesak dalam, membentuk cekungan di antara tulang pipi dan rahang bawah. Aku nyaris tak mengenali bayangan diriku, kalau saja tak ada cincin bermata biru di jari manis tangan kiri yang sedang mencengkram rambut. Sebuah gunting terjepit antara jempol dan telunjuk tangan kanan, siap membuktikan ketajamannya.

Kres!

Seketika gumpalan rambut panjang menghuni genggaman tanganku. Seperti meneriakkan kejumawaan, gunting kini berpindah memangkas helaian lain yang masih tergerai. Tanpa ampun, benda tajam itu terus membabat hingga yang tersisa hanyalah potongan pendek di bawah telinga. Sang gunting seolah tertawa mengejek, berhenti di depan dadaku sambil mematut penampilan perempuan di dalam cermin. Iya, itu aku! Dengan rambut terpendek sepanjang sejarah kehidupanku di dunia.

Kata orang, memotong rambut adalah metode yang cukup ampuh untuk membuang kesialan.
Karena sudah terlalu muak dengan kesialan yang merenggut kebahagiaanku, akhirnya dengan berat hati, aku membuang rambut yang selama ini kusayangi. Tetapi, entah mengapa sekarang aku jadi menyesal. Aku jadi terlihat … berbeda!

Aku membiarkan potongan rambutku tumpah ruah di lantai, bersama gumpalan kertas yang diremas asal, remah-remah biskuit, bangkai kecoa, dan segala jenis sampah lainnya.

Melompati tumpukan kardus yang bertebaran di atas lantai semen, aku membanting tubuh ke kasur. Perutku terasa semakin mual melihat sekeliling. Ruangan ini tak ubahnya gudang yang sudah lama dibiarkan. Lemari setengah kosong berdiri miring di sudut kamar, dengan pakaian berceceran dari pinggir rak. Sarang laba-laba bergelayut di bawah bambu penyangga genteng, berpadu dengan dinding kayu kusam dengan lubang-lubang kecil berisi serbuk kayu. Belum lagi ditambah dengan baju dan buku yang dibiarkan berserakan, menambah kesuraman ruangan yang aku sebut kamar ini.

Sudah seminggu kuhuni, aku tak berniat sedikit pun untuk membersihkannya. Bukan berarti aku sibuk, aku hanya terlalu lelah dan untuk pertama kalinya dalam hidup, tak ingin melakukan apapun. Hanya sehari saja aku pergi, mengurus identitas dan ATM yang hilang. Sisanya, aku duduk di pinggir jendela kamar dengan pikiran berkecamuk, sementara mata menatap kosong pada batang pohon rambutan dengan buah berwarna kuning kehijauan bergelayut manja.

Naren mengirimkan smartphone baru yang bisa kugunakan untuk membunuh kesepian, tapi aku tak memiliki selera untuk membukanya. Walau begitu, aku juga tak mengizinkan Tara dan Satria untuk memilikinya. Enak saja. Mereka bahkan tak menganggapku ada di rumah ini sejak pulang, kecuali jika ingin bertanya tentang Naren atau ponsel yang dikirimkannya. Sialan! Adik macam apa itu?

Hingga kemarin, untuk kedua kalinya aku keluar kamar selain untuk makan sisa-sisa nasi yang hampir basi, mandi atau lebih tepatnya mengguyur tubuh, dan buang air. Itu pun terpaksa, karena Ibu menyeretku untuk bertanggung jawab atas utang yang tak kunjung kulunasi. Aku menjadi bulan-bulanan cacian dan makian dari Pak Dobleh dan kroninya, bahkan mereka berani melecehkanku. Keluargaku hanya menonton sambil menjerit-jerit, tak ada yang berani membantu. Aku yakin, secara tak langsung, mereka menyalahkanku atas semua yang terjadi. Gila, bukan?

Hari ini mereka akan datang lagi, memastikan rumah sudah kosong untuk mengambil alih. Mereka juga akan membawaku, untuk menjadi wanita simpanan juragan mereka. Seharusnya aku kabur, bukan? Tetapi entah mengapa, aku malah semakin penasaran dan menduga-duga, apakah masih ada stok kesialan yang belum berani datang menimpaku sampai saat ini? Sungguh, aku ingin tahu. Konyol memang, dan aku ingin tertawa sendiri.

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang