"Kamu itu seperti bintang terang, sudah bersedia menerangi kehidupanku yang kelam."
Rezvan membuka matanya lebar. "Aku memang jatuh cinta sama kamu, Kintana. Terlepas kamu mendapat warisan atau nggak, aku memang ingin kamu menikah sama aku. Kalau pun setelah kamu dapat warisan dan nggak mau nikah sama aku, it's ok. Itu pilihan kamu. Yang pasti aku akan tetap mencintaimu asal kamu bahagia, walau dengan yang lain."
Desir lembut menggerayangi setiap jengkal tubuhku, membuatku harus menahan hasrat ingin memeluknya. Tidak. Masih banyak yang harus kuketahui. Walau saat ini perlahan sudah terbit keyakinan bahwa perasaannya padaku memang tulus.
"Kalau misal aku nikah sama Naren?" pancingku yang sukses membuat rahangnya mengeras.
"Selama itu bikin kamu bahagia, aku akan merelakan perasaanku. Tapi aku harus memastikan kalau dia memang tulus dan cinta sama kamu," ucapnya tegas.
Aku terkesima sesaat. Benarkah ucapannya? Tidak, informasiku belum cukup untuk membuatku merasa tenang.
"Terus, apa rencana kamu untuk bayar utang dengan mafia Jerman itu?"
Dia termenung sesaat sebelum menjawab. "Aku mau jual perusahaan properti yang diwariskan untukku. Sisanya, aku akan cari Doni untuk mengembalikan uang yang sudah dia bawa kabur. Kalau nggak ketemu, terpaksa aku akan bekerja dengan mereka untuk melunasinya."
Aku bergidik mendengarnya. Berdasarkan film yang kutonton, aku menarik kesimpulan. Bukankah pekerjaan mafia itu haram? Merampok, meretas, bahkan hingga membunuh. Oh, aku tak dapat membayangkan Rezvan melakukannya.
"Jangan!" tahanku keras. "Kamu jangan sampai kerja sama mafia jahat itu. Kamu bayar aja pakai warisan yang sudah diberikan atas namaku. Semua itu hak kamu. Kamu bisa pakai untuk lunasin utang kamu!"
Rezvan menggeleng. "Nggak, Kintana. Itu hak kamu. Papa sudah memilih kamu, pasti dia tahu kamu memang yang terbaik. Lagi pula, mungkin ini satu-satunya cara untuk membersihkan harta Papa yang didapat dengan cara yang nggak halal."
"Maksudnya?"
"Papa banyak bermain suap dengan pejabat korup untuk melancarkan bisnisnya. Bahkan pernah juga menipu rekannya. Mungkin penyakit yang Papa derita sebenarnya hukuman untuk mengurangi dosa-dosanya selama hidup."
Aku menutup mulut, tak percaya. "Hah? Nggak mungkin! Pak Harjanto orang baik."
"Aku tahu betul, Kintana. Papa selalu lolos dari jerat hukum karena banyak menyuap. Tapi tetap saja nggak bisa lolos dari jerat penyakit. Mungkin, dengan mewariskan harta nggak benar itu kepada orang baik dan tulus seperti kamu, bisa sedikit menggugurkan kesalahannya. Kalau diwariskan untukku, bisa jadi malah semakin bermasalah."
Tanganku tanpa sadar bergerak menggamit jemari Rezvan dan menggenggamnya erat. "Aku juga percaya kamu orang baik. Mungkin waktu itu kamu masih dikendalikan oleh ego, tapi sekarang aku yakin kamu udah lebih bijak."
Rezvan mengangkat tanganku, kemudian mengecup buku-buku jariku. "Semua itu berkat kamu. Terima kasih, ya, Kintana. Kamu itu seperti bintang terang, sudah bersedia menerangi kehidupanku yang kelam."
Tubuhku bergetar seketika, seperti ada ribuan semut yang menggigit setiap jengkal pembuluh darahku. Aku memalingkan wajah, berusaha menutupi rona pipiku yang sepertinya sudah terlihat.
"Ke-kenapa tiba-tiba jadi formal dan puitis begitu?" ucapku terbata, salah tingkah.
Rezvan tertawa, membuatku tak mampu lagi menahan senyum. Ia meraih tubuhku dan menempatkannya dalam pelukan. Aku tak sanggup menolak, tetapi terlalu malu untuk membalas.
"Aku kangen banget sama kamu," bisiknya tepat di telingaku. Embusan napasnya terasa membelai leherku, menghadirkan sensasi menggelitik. "Kalau waktu itu kamu sampai terluka atau celaka gara-gara aku, aku bisa bunuh diri!"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomansaPengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...