"Rahasia yang tersimpan rapat dapat menjadi bom waktu jika tidak diungkapkan pada saat yang tepat."
"Itu Ibu kamu?" tanya Rezvan mengalihkan pembicaraan. "Aku mau ketemu."
"Jangan!" tahanku pelan. "Ehm, mungkin lain kali. Sekarang aku mau dengar semua cerita kamu. Nggak boleh ada interupsi. Kita pergi ke tempat yang aman!"
Rezvan tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju. Aku mendesah lega. Bukan berarti aku melarang Rezvan bertemu Ibu. Aku hanya tak ingin Ibu membandingkannya dengan Naren. Kali ini penampilan Rezvan tampak lusuh, hanya memakai kaos putih pudar dengan celana jeans bolong di sana-sini. Berbeda dengan Naren yang selalu datang memakai jas rapi.
Aku menggenggam tangan pria itu dan mengajaknya melewati ladang jagung yang tumbuh lebat di belakang rumah. Kami terus menembus deretan hutan bambu hingga tiba di pinggir tebing. Di sinilah tempatku biasa menyendiri, selain pohon rambutan. Tak banyak orang yang berani ke sini, padahal pemandangannya sangat indah. Hamparan hutan dan sawah berundak-undak tampak di bawah bebatuan terjal. Sebuah dangau dengan atap daun rumbia berdiri compang-camping tak terurus, terletak di tepi jurang.
Kami menuju ke tempat itu. Kusuruh Rezvan duduk di batang kayu yang terletak di seberang dipan yang kutempati. Semilir angin menyambut kami lembut. Kulihat dia memejamkan mata sejenak, tampak menghirup dalam-dalam aroma hutan yang menenangkan.
"Kalau lihat pemandangan begini, aku jadi ingat Papa dan Mama. Mereka suka banget nuansa alam yang sepi, sejuk, dan tenang. Walau aku nggak suka, mereka tetap membangun rumah di tengah hutan terpencil seperti itu. Yah, meskipun sebenarnya tanah itu milik keluarga Mama, sih, tapi sudah dijual ke orang lain. Papa sampai rela membeli seluruh tanah itu demi bisa mendapatkan tempat pertama mereka bertemu. Kupikir awalnya cuma buat investasi karena kami akan menetap di Jakarta. Tapi ternyata mereka kekeuh bikin rumah untuk ditinggali di sana."
Rezvan menerawang, menatap gumpalan awan putih berarak di tengah langit biru. Aku tak menyangka dia akan bercerita tentang masa lalunya, tentang orang tuanya.
"Aku minta maaf karena nggak bisa ngerawat Papa kamu dengan baik," ucapku pelan, merasa bersalah.
"Nggak, Kintana. Kamu itu keajaiban yang datang ke rumah kami setelah Mama meninggal!" tukas Rezvan. "Kata Om Henry, penyakit Papa udah nggak bisa disembuhkan. Tapi dia bisa bertahan sekian lama karena kamu yang merawat dia. Setidaknya ada ketenangan yang dia rasakan sebelum meninggal."
Pipiku terasa panas mendengar pujiannya. Apakah aku pantas disebut keajaiban? Bukankah selama ini orang menyematkan label kesialan pada diriku?
"Kamu udah tahu kalau Papa kamu meninggal?"
"Udah. Om Henry yang kasih tahu waktu kemarin aku ke rumahnya. Dia juga yang kasih kabar tentang kamu dan alamat kamu di sini," ujarnya lirih. "Aku menyesal, nggak sempat ketemu Papa saat dia meninggal. Justru malah merusak ketenangan Papa di sisa umurnya."
"Kamu tahu? Semenjak kamu datang, Papa kamu nggak berhenti muji dan bangga-banggain kamu. Walau sikap kamu nyebelin, tapi Papa kamu nggak pernah sekalipun ngejelekin kamu di depanku. Aku yakin, Pak Harjanto sayang banget sama kamu," sahutku mencoba menenangkannya.
Desahan napasnya terdengar hingga tempatku duduk. "Saat itu, yang ada di pikiranku cuma bagaimana ngelunasin utang. Jadi aku maksa Papa untuk segera buat surat wasiat dan warisin semua hartanya untukku." Rezvan menunduk dalam. "Aku memang nyebelin, ya?"
"Iya! Awalnya aku sebal banget sama kamu!" sergahku cepat.
“Kalau sekarang masih sebal?” tanyanya dengan seulas senyum yang mendadak terbit.
Aku mengerucutkan bibir, cemberut. “Jangan mengalihkan pembicaraan, deh!” kilahku. "Jadi … semua yang Mas Naren bilang itu benar?"
"Jadi kamu tahu semua itu dari Naren?" Rezvan balik bertanya. Tatapan matanya seketika berubah kembali menjadi tajam, membuatku kembali terintimidasi.
Aku menggigit bibir sebelum membalas. "Ya. Aku tahu semuanya dari dia. Cuma dia yang ada dan bisa nolong aku," desisku menahan tangis teringat kejadian menyeramkan itu.
Rezvan mendekat dan berlutut di hadapanku. Ia meremas tanganku yang berada di pangkuan. "Kintana … maafin aku. Aku nggak bermaksud ninggalin kamu. Aku takut mereka celakain kamu, dan aku nggak akan pernah maafin diriku kalau sampai hal buruk menimpa kamu. Makanya aku memilih ikut mereka supaya kamu bisa aman."
Aku memberanikan diri menatapnya. Sorot matanya berubah lembut, dan raut penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Mungkin ini saat yang tepat untukku menggali informasi lebih jauh.
"Memangnya siapa mereka?"
Rezvan mendesah. Ia kini pindah duduk di sebelahku, menghadap hamparan lembah hijau yang terbentang di bawah.
"Mereka itu Brüderhood, kelompok 'persaudaraan' di Jerman. Awalnya aku gabung karena temanku yang mengajak. Dia bilang itu perkumpulan anak muda yang sedang membangun bisnis. Sejak kuliah, aku memang ingin punya bisnis besar sendiri. Aku benci karena orang selalu menganggapku anak emas yang nggak punya kemampuan dan hanya mengandalkan harta orang tua. Sebelumnya, aku sudah mulai dengan membangun bisnis kecil bersama teman-teman. Beberapa berhasil, seperti distronya Sean dan bengkelnya Tono," jelasnya menerawang.
"Terus kenapa kamu gelapin uang satu juta poundsterling?" tanyaku tak sabar.
Rezvan menaikkan sebelah alisnya. "Jadi itu yang dibilang Naren?"
Aku membuang muka seraya mengangguk. "Iya.”
Semula kukira Rezvan akan mengumpat, tetapi dia hanya menarik napas panjang dan membuangnya kasar. "Aku ngajuin proposal bisnis sama temanku di Sumatera, Doni. Dia bilang punya akses untuk membeli lahan seluas ratusan hektar yang bisa ditanami kelapa sawit. Bodohnya aku percaya waktu dia minta pendanaan. Karena aku nggak mau minta sama Papa, aku pinjam sama Brüderhood. Aku nggak tahu kalau ternyata mereka adalah kelompok mafia yang kemudian melipat-gandakan pinjaman. Sialnya, uangnya sudah kukirim ke Doni dan dia tiba-tiba menghilang. Jadi aku harus bayar utang beserta bunganya yang saat ini sudah mencapai hampir satu juta poundsterling."
Aku menahan napas dan tanpa sadar menutup mulut. Astaga! Ternyata masalah utang piutang Rezvan lebih rumit.
"Itu sebabnya kamu kabur ke sini?" tanyaku lancang, tapi sepertinya ia tak menghiraukan.
"Ya, itu salah satunya. Kebetulan Papa juga suruh aku pulang, dan kupikir kesempatan juga karena kudengar Papa sudah sakit parah. Kalau Papa meninggal, warisannya bisa aku pakai untuk bayar utang selagi aku cari Doni untuk minta pertanggungjawaban."
"Tapi ternyata warisannya malah atas namaku?"
Rezvan mengangguk, kemudian tersenyum. "Iya, dan aku tenang. Walau bukan untukku, paling nggak, warisan itu nggak jatuh ke tangan keluarga Papa atau Mama yang lain. Nggak ada yang bisa kupercaya lagi selain kamu."
Hati nuraniku ingin mengucapkan terima kasih atas kepercayaannya, tetapi otakku masih menyimpan rasa curiga. Aku menampilkan wajah sinis yang semoga bisa membuatnya berbicara lebih banyak.
"Maka dari itu kamu melamar aku? Setelah kamu tahu warisannya ternyata untukku?" selidikku yang semakin haus akan kebenaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...