"Mengapa rasanya begitu sakit, menolak sesuatu yang sesungguhnya teramat diinginkan?"
Rezvan tampak terkesiap mendengar nama yang tak boleh disebut itu meluncur dari mulutku. Ia mengembuskan napas panjang, mungkin berusaha emosinya agar tak terlihat olehku. Tangannya merogoh kantung celana dan mengeluarkan cincin bermata biru itu, kemudian memandanginya lekat.
"Ini cincin punya Mama. Dia selalu ngingetin untuk bawa cincin ini, yang akan diberikan untuk calon menantunya nanti. Dulu, ini memang akan dikasih ke dia sepulangnya saya dari Jerman. Tapi, beruntung dia sudah sama orang lain, jadi cincin ini nggak jatuh ke tangan yang salah," jelasnya lirih. Manik matanya memantulkan kilau biru dari batu safir yang berpendar.
Aku menggigit bibir, menyadari kelancanganku mengusik masa lalunya. Terlebih, benda itu pasti sangat berharga karena diberikan oleh sosok wanita yang begitu ia cinta. Menutupi rasa bersalah, aku mengalihkan pembicaraan, tetapi tetap menampilkan emosiku sebelumnya.
"Dari mana kamu yakin kalau aku adalah orang yang tepat untuk nerima cincin itu?" cecarku tak mengurangi sedikit pun kesinisan dari nada suaraku.
Pandangan Rezvan berpindah dari cincin di tangannya kepadaku. Tatapannya seolah menembus pupil hingga menancap di retina netraku. Aku menahan gemetar yang ditimbulkan dari efek hujaman panah matanya yang membuatku membisu.
"Saya tahu. Sejak pertama melihat kamu ada di kamar saya."
Hawa panas kembali menjalari tubuhku. Sekelebat ingatan tentang kejadian memalukan itu terulang kembali. Aku menutupi getar yang ditimbulkan pita suaraku.
"I-itu … ehm, nggak mungkin," cicitku tergagap. Gawat! Keadaan berbalik menyudutkanku. "Waktu itu, kan, kamu masih pacaran sama Cin, ehm, maksudnya mantan kamu. Dan aku tahu, kamu sayang banget sama dia, karena pas mabuk pun masih nyebut nama dia "
Bola panas kini berpindah pada cowok di hadapanku. Terlihat wajahnya kaku dan telinganya memerah. Ia meneguk kopinya dan mendesah panjang, sebelum menjawab pertanyaanku.
"Status kami memang masih pacaran, tapi dia menghilang tanpa jejak. Saya berusaha cari dia begitu tiba di Indonesia, tapi memang dia sepertinya nggak ingin ditemukan. Di tengah kebingungan, kamu hadir di ruang pribadi saya. Saya kesal sama kamu, tentu saja. Tapi hati saya berkata lain. Ada getaran yang selalu membuat wajah kamu terbayang, bagaimanapun saya berusaha mengusirnya."
Aku tercengang mendengar penuturannya, menahan selubung ringan yang membuatku akan terbang melayang. Di balik sikap kasarnya, ternyata selama ini dia juga memendam rasa. Namun, haruskah aku percaya begitu saja?
"Tapi apa yang kamu lakukan beda sama yang kamu omongin. Setiap hari sikap kamu selalu nyebelin," sindirku tajam.
"Itu … cara saya nutupin kalau selama ini suka sama kamu. Kamu tahu, kan, saya masih pacaran. Saya nggak akan ninggalin pasangan dalam kondisi apapun. Ternyata, malah dia yang ninggalin saya."
Nada getir tertangkap indera pendengaranku dari suaranya. Ingin rasanya aku memeluknya, menenangkan kegundahan yang selama ini mendera. Sungguh, tak kusangka. Hati pria yang selama ini kutahu keras seperti batu, ternyata begitu lembut seperti kapas.
"Saya benar-benar minta maaf kalau sikap saya selama ini bikin kamu nggak nyaman. Kalaupun kamu nggak punya perasaan yang sama, it's okay. Setidaknya saya lega sudah ngungkapin semuanya ke kamu. Tapi, ada satu hal yang nggak bisa kamu tolak. Saya nggak akan berhenti untuk jagain kamu sampai kamu bertemu dengan pasangan hidup kelak."
Debar jantungku semakin kuat bertalu. Perasaan ini begitu asing bagiku. Selama ini begitu banyak orang yang membenciku, hingga aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai. Ternyata begitu indah, seperti lantunan irama merdu yang menghiasi relung hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...