"Sentuhanmu menggetarkan hasrat mendamba, hingga segenap lara terlupa."
“Rezvan!” pekikku diiringi tangisan yang kembali pecah. Aku tak lagi dapat menguasai emosiku di depannya.
Seketika tubuhku tersentak, saat tangan besar Rezvan melingkar di balik punggungku. Aroma maskulin yang beberapa kali sempat menghuni saraf olfaktoriusku kembali menguar, memberikan efek yang menenangkan. Kehangatan yang terpancar dari otot tebal di balik kaos hitam menyelubungiku, membuatku tak mampu bergerak dan berontak. Namun entah mengapa, pelukan nyaman yang kudapat semakin menggetarkan sisik luka yang menancap dalam sukmaku. Kutumpahkan sakit bertubi yang bersemayam dalam diriku melalui tangisan keras tak terhentikan.
“Ssh … ssh. It’s okay, Kintana. I am here … for you,” bisik Rezvan pelan, menyentuh gendang telingaku. Belaian lembut terasa menjalar dari kepala hingga ujung rambutku.
Entah berapa lama aku menghabiskan air mata dalam pelukan Rezvan, mengikis sesak yang selama ini terpendam. Hingga otot kakiku menegang karena terlalu berdiri dan hatiku merasa sedikit tenang, aku mundur selangkah. Hujan tinggal menyisakan gerimis, bersamaan dengan kegelapan yang diantarkan langit malam. Terus menunduk, aku tak berani menatap pria di depanku. Rasa malu kini datang, menggantikan beban hati yang perlahan mulai terbuang.
“Maaf, aku … ehm … aku nggak seharusnya nangis kayak tadi,” ucapku mengusap air mata dengan lengan baju. Sebuah upaya yang sia-sia mengingat pakaianku lebih basah dari wajahku.
“Don’t worry. Saya memang ke sini buat kamu,” sahut Rezvan dengan tangan kanan terjulur di depan mukaku. Jantungku berdetak kuat saat ibu jari besarnya menyeka air mata yang masih tergenang di pipiku. Terlebih saat telingaku menangkap kata ‘saya’ di sela kalimat yang diucapkannya. “Are you feeling better?” sambungnya.
Aku tersenyum kikuk. Kakiku mundur selangkah, kemudian memainkan genangan air yang berkecipuk di bawah sepatuku. “Iya, terima kasih.”
“Bagus. Sekarang kita cari tempat aman buat kamu istirahat.”
Tangan Rezvan terjulur di depanku, membuatku mendongak. Wajah yang biasanya tegas itu kini terlihat melunak dengan senyum menghiasi bibir tipisnya. Aku kembali menatap tangan besar di hadapanku, dan dengan ragu, menempatkan jemariku yang sudah keriput di atasnya.
Kami berjalan dalam diam. Aku tak sanggup mengeluarkan sekadar kalimat basa-basi pada pria yang sudah rela menolongku. Fokusku saat ini adalah meredakan lonjakan emosi yang berganti bertubi-tubi, juga menenangkan tanganku yang berada dalam genggamannya agar tak semakin bergetar hebat. Keseimbangan homeostatis tubuhku juga mulai terganggu, akibat terlalu lama terpajan dalam suhu dingin, sehingga mulai menimbulkan efek menggigil.
“Kedinginan, ya?”
Aku meliriknya sekilas sebelum kembali menunduk diiringi anggukan kecil. Rezvan melepaskan genggaman tangannya, kemudian merangkulkan lengan di bahuku. Gelenyar di dalam tubuhku semakin merambat hebat, menahan keinginan untuk melepaskan. Aku mengutuk diriku sendiri, yang diam-diam menikmati setiap sentuhannya di saraf Meissner kulitku. Oh, jangan sampai tubuhku bergerak untuk semakin mendekap erat pria di sebelahku ini.
“Sorry, saya nggak bawa jaket. Di depan ada distro teman saya, kita mampir dulu ke sana cari baju buat kamu,” ajak Rezvan menyadarkanku dari kesibukan pikiran kotor yang melintas.
“Ehm, ki-kita langsung pulang aja. Aku udah lama pergi, ninggalin Bapak,” cicitku salah tingkah. Aku sendiri tak mengerti, sebelumnya aku kesal setengah mati dengan sikap cuek dan tak pedulinya. Kini, saat dia memberikan perhatian, aku malah tak bisa menguasai kegugupanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
Roman d'amourPengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...