Part 18 : Meet Someone New

5.1K 435 8
                                    

"Semua skenario kehidupan sudah diatur Yang Maha Kuasa dengan begitu banyak variasi kisah. Tinggal kita menjalani lakon yang mana."

"Ehm ... makasih," gumamku asal. Lidahku kehilangan kata-kata.

"Saya temannya Evan dari kecil sampai SMP," jelasnya tanpa diminta. "Kami sudah kayak saudara kandung. Kemana-mana main bareng. Tapi sayang, waktu SMA, Evan dan keluarganya pindah ke Jakarta. Kami pisah, deh. Evan juga nerusin S1 di sana, kalau saya masih di sini-sini aja."

Senyumku kembali terkembang. Aku bahkan baru tahu kalau sebelumnya keluarga Pak Harjanto pernah tinggal di ibukota. Benar saja, aku hanya orang baru yang masuk ke rumah itu hanya sebagai pekerja, bukan siapa-siapa.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku membuatnya melanjutkan. "Rezvan itu pinter banget. Dari SD dia selalu jadi saingan terberat saya untuk jadi rangking satu. Tapi sayang, saya nggak bisa ngalahin dia. Waktu dia ke Jakarta, baru deh saya bisa jadi juara," ucapnya dengan mata menerawang. Tiba-tiba perhatiannya kembali padaku. "Maaf saya jadi banyak cerita. Kalau kamu gimana?"

"Nggak apa-apa," sahutku. Aku malah berharap dia menceritakan semuanya, biar aku jadi pendengar setia saja. "Saya nggak gimana-gimana."

Naren tertawa, memperlihatkan gigi putihnya yang bersih. "Maksud saya, coba ceritain tentang kamu."

Aku mengulum senyum. Bingung harus mulai dari mana. Sepertinya Naren menangkap kekikukanku dengan melanjutkan pertanyaan. "Kamu kuliah di mana?"

"Jakarta," sahutku singkat.

Tawa renyah kembali terdengar dari mulut Naren. Aku mengernyitkan dahi. Apa jawabanku salah?

"Maksudnya kampus apa? Salah, ya, pertanyaan saya?"

Aku nyengir. "Ehm, nggak salah, sih. Cuma kurang tepat," jawabku mulai berani bersuara. "Saya kuliah di UI."

"Oh, iya? Sama, dong, sama Evan! Jurusan apa?" Antusiasme Naren menular padaku. Tak kusangka ternyata aku satu almamater dengan Rezvan. Namur rasanya, hanya seribu banding satu kemungkinan aku pernah bertemu dengannya di kampus luas dengan ribuan mahasiswa itu.

"Ilmu Keperawatan," ujarku terdiam sesaat. Aku ragu, apakah harus menanyakan jurusan Rezvan? Malu, tapi penasaran.

"Wah, kalau Evan di Ekonomi." Naren menjawab pertanyaanku tanpa diminta. Beruntung aku tak jadi bertanya. "Kamu masuk tahun berapa?"

"2008. Kalau ...," Ah, aku lagi-lagi bingung untuk mengucapkan kata sapaan, "Rezvan?"

"2004. Beda tiga tahun berarti, ya. Pas kami lulus, kamu baru masuk!" simpulnya. Sesaat kemudian nada suaranya berubah. "Ehm, kalau saya nggak ditanya, nih?"

Kali ini aku yang tertawa. Baiklah, karena ini percakapan dengannya, tak ada salahnya aku menuruti permintaannya. "Kalau Kak Naren, kuliah di mana?"

"Panggil Mas aja boleh, ndak?" tanyanya sambil memiringkan kepala. "Kalau ndak mau juga nggak apa-apa, sih. Tapi pertanyaannya nggak dijawab."

"Loh? Tadi siapa yang minta ditanya?" Aku mengernyit bingung.

"Hmm ... iya juga, ya," ujarnya dengan jari telunjuk dan jempol menggaruk dagu.

Tanpa sadar aku kembali tergelak, menikmati percakapan absurd ini. Entah berapa lama aku tak puas tertawa seperti ini. Pipiku sampai terasa sakit.

Aku berdehem sebelum mengulangi pertanyaan. "Kalau Mas Naren kuliah di mana?"

"Nah, begitu, kan, enak. Mak nyes gitu," jawabnya riang dengan logat medok. "Di UGM, Dek Kinta. Jurusan Hukum."

Desir halus menggerayangi tubuhku demi mendengar jawabannya. Begitu manis, seperti kue yang sedari tadi tak kusentuh. Biarlah, makanan ini bisa menunggu. Saat ini, bibir dan mulutku sedang sibuk mengeluarkan tawa, aktivitas yang sulit sekali kudapatkan akhir-akhir ini.

"Kuenya boleh dilanjut dimakan, Dek Kinta. Jangan dilihatin aja. Nanti kuenya malu," kelakarnya garing. Akan tetapi, aku tetap saja terpingkal.

"Kamu mau?" tawarku menyodorkan piring yang penuh berisi kue.

"Ndak, terima kasih. Kue itu terlalu manis buat saya," tolaknya halus.

"Oh, maaf. Nggak suka makanan manis, ya?" ujarku merasa bersalah. "Cupcake-nya nggak terlalu manis, sih. Cuma udah saya gigit."

"Bukan begitu. Kuenya sudah dipegang sama kamu soalnya. Jadi manise puol!" guyonnya lagi. "Tapi kalau mau disuapi ndak apa-apa."

Tawaku pecah sambil memegangi perut. Ya ampun, aku tahu candaannya sama sekali tidak lucu. Entah dia atau aku yang konyol, yang jelas saat ini aku hanya ingin tertawa.

Semula kukira kami akan dibatasi keheningan canggung yang tercipta di antara dua orang yang baru bertemu. Seperti saat pertama kali aku bersama dengan Rezvan tempo hari. Namun berbeda dengan Naren. Percakapan yang dibukanya terasa mengalir lancar bagai sungai tanpa bebatuan.

"Oh, iya. Maaf, ya, saya sudah bercanda seperti tadi," ucapnya kembali formal. "Saya ndak bermaksud apa-apa. Tolong jangan salah paham. Saya bukan mau merebut pacar Evan, seperti Adit." Dia diam sesaat, termenung. "Saya juga ndak ngira Evan mau datang, tapi ternyata dia sudah punya pacar baru. Syukurlah, saya jadi tenang."

"Saya bukan pacar Rezvan!" tukasku cepat. Tunggu dulu, otakku masih mencerna ucapannya tadi. "Maksud Mas Naren apa? Siapa yang merebut pacarnya Rezvan?"

Wajah Naren yang ceria berubah muram. "Cintya, pengantin wanita yang sekarang nikah sama Adit, itu pacarnya Evan!"

"Hah?" pekikku menutup mulut. Bagai petir yang menyambar, jantungku seolah tersengat aliran listrik beribu voltase. Padahal bukan aku yang mengalaminya.

Naren mendesah panjang sebelum melanjutkan. "Adit itu sepupunya Rezvan. Dia adik kelas kami dari SD sampai SMP. Sama seperti Cintya, mereka seangkatan. Rezvan sudah naksir Cyntia sejak SMP, tapi, ya ... hanya untuk guyon saja. Ternyata Cintya masuk kuliah di tempat yang sama dengan Rezvan. Mereka akhirnya pacaran sampai Rezvan mau berangkat ke Jerman untuk S2. Setahu saya, mereka ndak putus. Saya ndak pernah berhubungan dengan Adit lagi sampai tiba-tiba dapat undangan dia mau nikah sama Cintya. Kaget puol! Mau hubungi Rezvan, tapi saya khawatir kalau dia bakal marah. Apalagi nomor HP-nya juga ndak aktif yang di Jerman. Dia juga ndak hubungi saya, jadi saya ndak tahu kalau dia sudah balik."

Aku merinding mendengar cerita panjang lebar dari Naren. Hatiku terasa teriris, walau bukan aku yang dikhianati. Pantas saja sedari tadi Rezvan seperti orang galau yang kesurupan setan. Ternyata dia sedang memendam luka yang teramat dalam. Dimulai dari membaca nama kekasih hatinya yang tertera di undangan, tapi bukan bersanding dengan dirinya.

"Kintana ...," panggil Naren lembut. Aku baru sadar sedari tadi melamun, memikirkan nasib Rezvan yang ternyata begitu kelam. "Tolong jangan bilang Evan kalau saya cerita, ya."

"Iya, pasti," sahutku sembari mengangguk. Naren tersenyum.

"Kamu jangan sedih," hiburnya, mungkin menyadari mataku berkaca-kaca.

"Nggak, kok. Saya cuma ... ehm, simpati aja."

Naren menghiburku dengan menceritakan lelucon garing lainnya. Saat senyumku sudah kembali mengembang, dia mulai berkisah tentang dirinya dan keluarganya. Tak seperti Rezvan yang anak tunggal, Naren memiliki kakak laki-laki yang sudah menikah. Ibunya sudah lama meninggalkan keluarga mereka, karena selingkuh dengan laki-laki lain. Sejak saat itu, sikap ayahnya menjadi liar dan suka bermain wanita.

Hatiku terenyuh mendengar penuturan Naren. Dia terlihat begitu ceria, padahal jiwanya memendam luka. Mungkin dia telah berhasil melalui masa tekanan yang begitu berat, sehingga kini bisa hidup dengan lebih positif. Atau bisa saja ia hanya mengenakan topeng tak kasat mata, untuk menutupi adanya goresan luka yang terlampau dalam di baliknya.

Ternyata benar kata lagu Nicky Astria yang dulu sering bergema di rumahku. Dunia ini penuh sandiwara. Semua skenario kehidupan sudah diatur Yang Maha Kuasa dengan begitu banyak variasi kisah. Tinggal kita menjalani lakon yang mana.

Keheningan kami terusik saat terdengar suara ribut dari depan pelaminan. Kursi pengantin kosong, tak ada mempelai yang duduk di atas singgasana. Begitu pula tamu yang memberikan ucapan. Semua terkonsentrasi di sudut ruangan, depan pemain musik yang kini berhenti mengalunkan nada. Suara teriakan bersahut-sahutan, diselingi tangis yang melengking. Aku dan Naren berdiri, mengamati dari jauh. Tampak kepala Rezvan menjulang tinggi, tersembul di tengah kerumunan.

Ya ampun, apa yang terjadi?

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang