Part 6 : Maturity Thought

9.8K 638 3
                                    

"Mungkin masa lalu punya andil membentuk masa depan, tetapi kedewasaanlah yang dapat memilih benar atau salah."

Tak pikir lama, segera kuambil selang oksigen dan menyalakan humidifiernya.

"Bapak, coba tarik napas panjang, Pak," perintahku lembut. "Tarik napas ... embuskan ... tarik napas ... embuskan ...."

Pak Harjanto mengikuti instruksiku. Beberapa saat kemudian, napasnya mulai teratur. Tetapi air matanya terus mengucur tak dapat terbendung.

"Maaf ya, Tan," ujar Pak Harjanto serak, "anak Bapak ndak sopan begitu sama kamu."

Aku tercekat. Mengapa Pak Harjanto malah minta maaf padaku? Bukan salahnya kalau punya anak kurang ajar, toh cowok itu sudah dewasa. Namun, aku tak bisa menghakimi begitu saja. Aku tak tahu latar belakang keluarga mereka. Yang pasti, aku hanya harus membuat suasana kembali tenang dan kondusif.

"Nggak apa-apa, Pak. Bapak jangan minta maaf sama saya. Saya justru khawatir sama Bapak," ucapku menenangkan.

"Ini semua salah saya yang terlalu manjain dia dulu. Sekarang, semua yang dia mau harus dituruti," gumam Pak Harjanto seolah berbicara pada diri sendiri.

Aku termenung sesaat. Tanpa diperintah, mulutku bergerak sendiri. "Mungkin masa lalu itu punya andil, Pak, tapi anak Bapak kan sudah dewasa. Dia sudah punya pemikiran dan bisa memilih mana yang benar dan salah sendiri."

"Iya, kamu benar," desah pria tua itu memejamkan mata dengan kuat, menambah keriput di sebagian besar wajahnya. "Andai kamu saja yang jadi anak saya."

Aku tersenyum kecil. Siapa yang tidak mau jadi anak pengusaha kaya raya? Tentu aku mau. Kalau itu terjadi, mungkin aku sekarang tinggal duduk santai menjadi bos.

Alih-alih menyuarakan pikiranku, aku kembali pada tujuanku sebelumnya berada di sini. "Bagaimana keadaan Bapak? Apa sudah siap untung pasang selang atau mau istirahat dulu?"

"Saya sudah nggak apa-apa. Pasang saja, Tan."

Aku bersyukur dalam hati. Sudah terlalu lama lambung Pak Harjanto kosong sejak selang terlepas tadi siang. Pasti dia sudah merasa sangat lapar.

Tanpa menunggu waktu lama, aku segera menuntaskan persiapan alat yang sempat tertunda. Tak lupa aku ganti air putih yang tadi sudah dingin dengan air hangat, tapi aku tak bisa mengganti susu dengan yang baru. Begitu pula posisi Pak Harjanto yang sudah kuubah menjadi duduk tegak bersandar pada belakang ranjang yang ditinggikan.

Setelah semua berada di meja dorong, aku mencuci tangan dan memasang handscoen. Aku membuka pembungkus selang NGT dan mengukurnya melalui hidung ke telinga, kemudian ke prosesus xifoid atau tulang dada paling bawah. Baru kemudian aku tandai batas pengukuran panjang selang dengan plester. Aku pun memberikan lidocaine sebagai anastesi lokal.

"Menurut kamu Rezvan bagaimana, Tan?" tanya Pak Harjanto tiba-tiba saat aku sedang mengoleskan pelumas di selang. Sontak aku menghentikan aktivitasku.

"Maksud Bapak?" Aku balik bertanya. Bingung.

"Ya, menurut pandangan kamu, Rezvan itu bagaimana?"

"Bagaimana, ya?" sahutku tak menjawab. Aku masih tak paham arah pembicaraan pria renta itu. "Saya kan, baru tahu dia beberapa menit lalu, Pak. Jadi saya belum bisa menilai."

Pak Harjanto manggut-manggut. Aku menyelesaikan pelumasan selang dan mulai memasang selang melalui rongga hidung pasienku, setelah persetujuan tentunya. Kubimbing pria tua itu untuk tetap rileks sementara selang merambat melalui saluran napasnya. Begitu menyentuh tahanan, kuminta ia untuk menelan dan selang kembali menerobos kerongkongan hingga batas yang telah kutandai. Setelah itu, aku rekatkan selang yang menjuntai di depan rongga hidung menggunakan plester.

"Bagaimana, Pak? Apa Bapak merasa sesak?" tanyaku memvalidasi. Semoga selang ini tak salah masuk ke saluran pernapasan.

"Nggak, tapi nggak enak saja. Enakan dilepas," sahut Pak Harjanto serak.

Aku mengangguk sambil sekali lagi meminta maaf. Kulakukan validasi dengan melakukan auskultasi menggunakan stetoskop dan syringe untuk memastikan selang masuk ke lambung. Bunyinya benar, seperti yang pernah diajarkan Dokter Henry. Baru kemudian aku masukkan air putih hangat secara perlahn melalui selang. Setelah tak ada keluhan, aku meneruskan dengan memasukkan susu yang mulai dingin.

Menunggu beberapa saat sambil mendokumentasikan asuhan keperawatan yang kuberikan dalam lembaran rekam medik, aku memastikan tak ada keluhan setelah pemasangan selang NGT. Baru kemudian saat Pak Harjanto sudah merasa nyaman, aku kembalikan posisinya menjadi semi fowler atau setengah berbaring.

"Pak, saya mau izin pergi ke apotik untuk beli susu Bapak, ya," pamitku sebelum beranjak.

"Loh? Suruh Pardi saja. Sudah gelap, Tan!" larang Pak Harjanto.

"Pak Pardi, kan, izin pulang kampung tadi pagi, Pak. Istrinya sakit," jawabku mengingatkan.

Pandangan Pak Harjanto menerawang, tampak mengingat-ingat. "Kalau begitu, minta diantar Rezvan saja!" perintahnya.

Aku menggeleng dengan cepat. "Nggak usah, Pak! Saya naik motor aja, paling sebentar. Nanti saya pesan Bi Iyem untuk jaga Bapak selagi saya pergi."

"Benar kamu nggak apa-apa pergi sendiri?" tegas Pak Harjanto menyipitkan mata.

"Iya, Pak. Tenang aja. Saya sudah hapal jalan, kok," ujarku penuh keyakinan. "Bapak jangan lupa ya, tekan bel biar Bi Iyem langsung datang kalau Bapak butuh bantuan," pesanku sebelum pergi.

"Ya. Kamu hati-hati!"

Senyumku terulas diiringi anggukan mantap. Aku tak ingin pasienku khawatir. Setelah memastikan semua aman, aku segera keluar kamar sambil membawa nampan berisi gelas kosong. Aku pun berpamitan pada Bi Iyem yang kutemui di dapur. Walau awalnya melarang pergi, akhirnya wanita berbadan gempal itu mengantarku ke pintu depan.

Aku tercengang begitu membuka pintu. Angin berembus kencang, kekuatannya mampu membuatku mundur beberapa langkah. Langit menghitam dengan kilat beberapa kali berkelebatan. Awan mendung bergelayut di seluruh atmosfer, siap menumpahkan air ke tanah yang gersang.

Jemariku dengan cepat merenggut rambutku kasar. Hatiku menjerit geram, menyumpah serapah dengan serangkaian kesialan yang kualami. Oh, apa mungkin alam turut berkonspirasi untuk merundungku hari ini?




One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang