"Aku tak boleh membiarkan hati lain menyangka adanya pertanda."
Aku duduk bersandar di kursi besi dengan pandangan menerawang. Seluruh kesadaranku seolah melayang, hingga tak peduli dengan begitu banyaknya orang berlalu lalang. Bukan hanya tubuhku yang kehabisan tenaga, tetapi juga jiwaku layaknya telah hilang.
Seperti video yang diputar berulang, otakku tak henti menampilkan kejadian yang membuat hatiku gerimis. Setelah Rezvan dibawa pergi, entah berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menangis. Hingga matahari mulai bangun dari peraduan, aku baru tersadar bahwa ada seseorang yang harus segera mendapat pertolongan. Aku mulai mengumpulkan sisa tenaga untuk berpikir dan bertindak. Menggunakan ponsel Pak Harjanto yang tertinggal, aku berteriak histeris saat menelepon Dokter Henry untuk meminta bantuan.
Menggunakan sedikit keberanian dan sisa tenaga, aku menarik tabung oksigen dan memasangkan selang pada hidung Bi Iyem setelah bersusah payah menyeretnya keluar. Walau sering melihat kematian saat berdinas, aku tetap tak kuasa melihat mayat Pak Pardi yang meninggal dengan cara sangat mengenaskan. Diiringi tangis yang tak henti keluar, aku berusaha menyelamatkan satu kehidupan yang tersisa.
Entah berapa lama waktu yang berlalu hingga dua mobil polisi dan ambulans datang. Semua terjadi begitu cepat. Bi Iyem segera dibawa ke ambulans, sedangkan jenazah Pak Pardi dimasukkan ke kantong mayat setelah dilakukan olah TKP. Aku pun dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Seperti masuk ke berita kriminal yang biasa ada di televisi siang hari, polisi mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Aku menjawab apa adanya, tentang pukul berapa aku pulang, apa yang terjadi, dan selebihnya. Otakku sampai tak sanggup mengurainya. Terlebih saat mereka menanyakan kemana perginya Rezvan. Astaga! Kalau saja aku tahu, lebih baik aku ikut dengannya daripada sendirian menghadapi rumitnya kenyataan.
Akhirnya, di sinilah aku. Duduk sendiri di ruang tunggu kantor polisi. Tak lagi mengerti apa yang harus kulakukan selain menunggu dalam ketidakpastian.
Aku sudah menelepon Dokter Henry ke nomor rumah sakit tempatnya bekerja, tetapi dia sedang melakukan operasi. Tak ada lagi yang bisa kuhubungi, semua nomor ponsel hilang bersama dengan raibnya benda itu. Kesempatan berada di kantor polisi ini tak kusia-siakan, aku melaporkan juga perihal kasus kehilangan barang-barangku saat ke Jakarta kemarin. Kepalaku berdenyut mengingat sederetan episode kesialan yang menghajarku hingga titik durjana.
Namun begitu, aku masih beruntung. Berkat semua ini, aku jadi mengetahui sebuah fakta yang memberikan setitik cahaya kebahagiaan. Cintaku berbalas dan Rezvan telah memintaku untuk menjadi istrinya. Oh, andai saja mataku masih bisa mengeluarkan air, aku tak tahu yang keluar adalah air mata duka lara atau suka cita.
"Kintana!" teriak suara berat laki-laki, membuatku terlonjak.
Sekilas bayangan Rezvan berlatar matahari menyilaukan terlihat berlari menghampiriku. Aku menyipitkan mata seiring detak jantung yang semakin berpacu. Begitu sosok yang memanggilku tinggal berjarak selangkah dari depanku, aku kecewa saat menyadari yang mendekat adalah pria bertubuh kurus dengan kacamata. Naren.
Belum sempat aku bergerak, pria itu langsung menghambur memelukku. Aku tak dapat mengelak, terlebih saat ia membelai rambutku kuat. Di satu sisi aku merasa gamang dengan posisi ini, tetapi di sisi lain aku tak sanggup menghindar.
"Kintana, kamu nggak apa-apa, kan? Saya khawatir banget. Kamu nggak bisa dihubungi. Evan juga," ucapnya dengan napas tersengal. Jemarinya menyingkirkan beberapa helai rambut yang sejak tadi kubiarkan menutupi wajah. "Saya kaget banget waktu Om Henry telepon dan kasih tahu semua kejadian yang nimpa kamu. Apalagi waktu beliau suruh jemput kamu di kantor polisi."
Aku tersenyum kaku. Lidahku terasa kelu. Tanpa bermaksud kurang sopan, aku hanya diam dan menunduk. Mataku terasa pedih karena sejak tadi menahan tangis, tetapi kini semua sesak yang kutahan tiba-tiba pecah kembali.
"Sudah. Nggak apa-apa. Kamu aman di sini." Tangan Naren terasa melingkar di bahuku, kemudian menarik kepalaku hingga bersandar di bahunya. Belaian lembut terasa di rambut kusutku, memberikan kehangatan yang cukup menenangkan. Namun satu hal yang membuatku bertanya adalah mengapa tak ada getaran seperti saat Rezvan menyentuhku sebelumnya?
Beberapa saat berlalu hingga aku dapat kembali menguasai emosiku. Jemari Naren mendarat di pipiku untuk mengusap air mata. Ia menyerahkan sebotol air mineral yang langsung kuteguk hingga habis setengahnya. Memintaku menunggu, ia beralih ke dalam kantor tempat tadi polisi menginterogasiku.
Segelitik perasaan bersalah muncul di sudut hatiku. Seharusnya aku bisa menjaga tubuhku dari sentuhan pria lain selama Rezvan tak ada. Saat ini aku sudah berstatus calon istrinya, aku tak boleh membiarkan hati lain menyangka adanya pertanda. Namun aku harus bagaimana? Hanya Naren yang ada di sini, saat aku hanya sendiri memendam lara? Ah, andai saja Rezvan yang memelukku tadi. Entah bagaimana tubuhnya bagai candu bagiku untuk terus dan terus menyentuhnya.
Oh, sekarang pikiranku benar-benar sudah kotor.
"Kinta," panggil Kak Naren membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sebelahku, kemudian mengusap tanganku yang sedang tergenggam di atas pangkuan. Otomatis aku langsung menariknya, membuat dia terkejut. "Saya sudah bicara sama polisi, katanya boleh bawa kamu pulang. Saya lihat juga kamu perlu istirahat. Ayo!"
Aku menggigit bibir. Sesungguhnya saat ini aku tak memiliki tempat tujuan untuk didatangi. Terlebih aku tak punya uang dan barang-barangku semua di rumah Pak Harjanto. Aku tak berani kembali ke sana.
"Aku … aku mau ke rumah sakit aja. Mau lihat kondisi Pak Harjanto," ucapku akhirnya setelah terdiam beberapa saat.
Naren kini mengusapkan kedua tangannya di pundakku. "Kamu perlu istirahat, Kintana. Kalau di rumah sakit kamu nggak bisa istirahat. Gimana kalau ke rumah saya aja?"
Mataku terbelalak. Kalau saja tak ada tempat lain di dunia ini yang bisa kudatangi, aku tetap tak mau ke rumahnya. Tak bisa kubayangkan aku menghampiri sarang orang paling mesum sedunia, Om Cahyo.
"Nggak. Jangan ke rumah kamu," tukasku kasar. "Aku mau ke rumah sakit aja!"
Kudengar Naren menghela napas, mungkin malas meladeniku. "Ya udah. Ayo ke rumah sakit. Tapi janji, di sana kamu harus istirahat, ya."
"Iya," sahutku lirih.
Naren berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, tetapi urung saat dering ponselnya berbunyi. "Sebentar, ya. Om Henry telepon," bisiknya sebelum meneruskan dengan kata, "Halo."
Aku mengangguk dan masih membiarkan bokongku menempel di kursi besi. Kulihat dahi Naren mengernyit dan seketika tubuhnya menegang. Suaranya setengah berteriak saat berkata, "Innalillahi."
Jantungku berdebar demi mendengar kata terakhirnya. Sontak aku berdiri, berharap bisa mendengar percakapannya dengan Om Henry. Sejurus kemudian ia menutup teleponnya dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku semakin tak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi, walau dalam hati kecilku sudah sedikit memiliki dugaan.
"Kintana, Om Harjanto meninggal."
Mendengar prasangkaku menjadi nyata, seketika semua terlihat hitam. Nyawaku seolah turut melayang ke alam kegelapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Stop Loving [END]
RomancePengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentangku jika mengetahui bahwa aku adalah gadis yang terpaksa tinggal di rumah seorang pria tua kaya? Wan...