Part 36 : At the Funeral

3.2K 286 3
                                    

"Wajah yang biasanya ramah tiba-tiba berubah seperti serigala haus darah amat sangat mengerikan."

"Ma-maaf, Mas. A-aku … aku anu … a-aku cuma lihat foto ini," cicitku terbata. Astaga, jangan sampai jantungku lepas dari tempatnya.

Menutupi kegugupan, refleks kakiku mundur selangkah. Tanganku bergerak ke belakang, menyenggol bingkai foto hingga roboh berserak. Aku semakin gemetar hingga saat berusaha membereskan, foto anak SMP yang tadi kupegang malah jatuh. Kacanya pecah berkeping-keping.

Aku tersentak, tak berani menatap wajah Naren di belakangku. "Ma-maaf. Saya … aku … nggak sengaja," racauku menahan tangis. Aku segera berjongkok dan memunguti pecahan kaca itu. Getaran tangan yang semakin hebat membuatku tak fokus hingga sebongkah ujung kaca yang tajam menusuk jariku. Setetes darah yang keluar tak kuhiraukan. Wajah Naren yang biasanya ramah kini berubah seperti serigala haus darah jauh lebih mengerikan.

Aura dingin terasa semakin mendekat. Aku bergidik, laksana sedang dihampiri malaikat maut. Tubuhku terlonjak saat dua tangan dingin menyentuh pundak kiri dan kananku.

"Kintana, nggak apa-apa. Tenang," desis suara tertahan di belakangku.

Aku memberanikan diri berbalik dan kudapati senyuman, atau lebih tepatnya seringai, di wajah Naren. Tangannya kini berpindah ke pipiku, mengusap pipiku pelan. Setelah napasku yang memburu perlahan mulai teratur, ia membantuku berdiri.

"Maaf saya sudah bikin kamu panik. Saya cuma kaget lihat kamu ada di sini," jelasnya dengan raut yang seketika berubah ramah. "Bukan nggak boleh, cuma di sini banyak dokumen penting. Khawatir ada yang tercecer."

Menunduk, aku menyadari kelancanganku masuk ke ruangan orang lain. "Maaf. Harusnya tadi saya izin dulu," desahku merasa begitu bersalah.

"Iya. Tenang aja. Jangan takut. Tangan kamu sampai luka begini." Naren menarik telunjukku yang berdarah, kemudian mengisapnya di mulut. Aku semakin berdebar, bukan karena hasrat tetapi menampik adanya firasat. "Sekarang kita makan dulu, yuk! Saya udah buatin makanan buat kamu."

Aku menengadah, menatap wajahnya yang sudah kembali terlihat ceria. Seketika aku berpaling dan meratapi pecahan kaca yang berserakan di lantai. "Saya mau beresin itu dulu."

"Nggak usah. Besok ada Mbok yang beres-beres, biar dia aja," cegahnya seraya menggandeng lenganku.

Tak dapat lagi menolak, aku mengikuti semua perintahnya. Mataku melirik kertas bergaris, berharap dapat membaca keseluruhan isinya. Namun, itu tak mungkin. Aku tak ingin Naren berubah seperti manusia serigala lagi.

Kami tiba di meja makan yang berada satu ruangan dengan dapur, hanya dibatasi kabinet setinggi pinggang orang dewasa. Setelah mempersilakanku duduk, Naren mengambil dua piring lebar dari atas kabinet, kemudian menyajikannya dengan sopan di depanku. Seporsi besar steak daging dengan kentang goreng dan sayuran rebus terhidang di meja, seolah memanggilku untuk segera melahapnya. Namun, jantungku yang berdebar melarang tanganku untuk mulai memegang garpu dan pisau.

"Ayo, dimakan. Kamu nggak suka, ya?" tanya Naren dengan senyum lebar yang biasa ia tunjukkan. "Sini, saya bantu potong dagingnya."

"Eh, suka, kok. Saya potong sendiri aja," tukasku cepat. Jangan sampai Naren membaca gelagat ketakutanku. "Makasih banyak, ya. Mas Naren sampai repot masak buat saya," sambungku dengan nada dibuat seriang mungkin.

Tanpa menunda, aku langsung menyantap beberapa potong kentang dan wortel yang bisa mengganjal jeritan lambungku. Baru kemudian kupotong daging lembut yang dengan mulus meluncur di mulutku. Perpaduan rasa gurih daging dengan tingkat kematangan medium berpadu saus lada hitam yang sedikit pedas sukses membuat papila lidahku menari. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyantap seperempat bagian steak nikmat ini.

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang