Part 27 : First Kiss?

6.4K 415 4
                                    

"Samudera hati ini telah menemukan tepi. Ironinya, sosok yang berlabuh dan meninggalkan jejak adalah dia yang selama ini kubenci."

Sentuhan lembut di hidungku membuat gelenyar di tubuh semakin bertambah kuat. Entah sedekat apa wajah kami hingga aku dapat merasakan embusan napas hangatnya membelai pipiku. Debaran jantungku begitu hebat hingga aku khawatir denyutannya mencuat. Seperti dua kutub yang saling tarik menarik, ragaku tak kuasa menjauh dan menghindar, malah semakin menikmati aroma keintiman yang menguar. Hingga sebuah sapuan ringan menyentuh bibirku yang kedinginan, gejolak gairah membawa jiwaku terbang ke awan.

“Mbak!” panggil suara cowok dari gang, membuatku mataku otomatis terbelalak. Rezvan mundur selangkah sedangkan semakin aku merapatkan punggung ke tembok. “Ma-maaf ganggu. Ini bajunya.”

Seketika tubuhku menegang. Begitu pula Rezvan yang terlihat tercengang. Bahkan di bawah lampu temaram ini dapat kulihat wajahnya memerah. Mungkin itu juga yang terjadi padaku.

Tanpa melihat wajah orang yang datang, aku menyambar tumpukan kain di tangannya. “Terima kasih,” pekikku keras, kemudian melesat ke kamar mandi dan membanting pintu.

Jantungku melompat dan tubuhku gemetar hebat. Seolah ada ribuan semut menggerayangi setiap jengkal pembuluh darahku, menyuntikkan rasa malu yang tak dapat lagi kubendung. Lututku terasa lemas, hingga badanku yang bersandar di pintu kamar mandi merosot sampai berjongkok. Aku menyurukkan wajah pada baju yang berada dalam genggamanku.

Bagaimana aku bisa membiarkan kejadian yang membangkitkan hasrat terliar dalam diriku ini terulang lagi? Aku tak bisa menyangkal, malah membiarkan tubuhku terbuai olehnya. Terbukti, kehadiran Rezvan telah menjadi parasit semakin menggerogoti kewarasanku.

Namun, aku yakin bukan hanya aku saja yang menginginkan sentuhan itu. Rezvan juga. Dia yang menjebakku ke dalam pesona dan kharismanya, melalui kebaikan menjemputku yang sedang nelangsa. Bagaimana bisa sosok yang kuyakin membenciku dengan rela hati datang dan mengulurkan tangannya padaku? Aku yakin, dia mulai menyukaiku.

Tidak. Sesungguhnya, aku tak seyakin itu. Aku bahkan sudah mulai merasa gila. Aku tak boleh terperosok ke dalam rasa yang hanya menghadirkan luka. Aku tak ingin hati ini menanggung derita lebih dari apa yang sudah menimpa.

Laksana rintik syahdu menyentuh daun keladi, jentik rindu membelai bibirku lagi. Tak dapat kusangkal lagi bahwa samudera hati ini telah menemukan tepi. Ironinya, sosok yang berlabuh dan meninggalkan jejak adalah dia yang selama ini kubenci. Walau harus kuakui, rasa itu telah larut dan terbuang oleh derasnya hujan yang mengguyur kami.

Bagaimanapun, aku harus mengubur benih cinta yang semakin tumbuh berkembang di dasar hatiku ini. Aku tak ingin kehilangan, sebelum sempat merasakan indahnya rasa saling memiliki.

Aku kembali ke bagian depan toko setelah berhasil bergulat dengan perdebatan hati. Mengganti baju yang basah dengan kaos dan celana kebesaran, panas dari dalam tubuhku mulai terasa kembali. Walau tentu saja kehangatan yang terasa berbeda jauh dari pelukan yang tadi sempat kurasa. Sosok itu, yang berhasil mengobrak-abrik pertahanan hatiku, kini sedang duduk di kursi yang mengitari meja bundar bersama temannya. Hanya melihatnya saja membuat ragaku mendamba akan sentuhannya kembali. Oh, astaga! Aku benar-benar sudah tidak waras!

“Hei, Kintana. Sini, ngeteh dulu!”

Panggilan Sean membuatku tersentak. Aku segera mengenyahkan lamunan bodohku dan mengangguk demi menghormati pria yang sudah menyediakan tempat untuk berganti baju. Mataku dan Rezvan sempat beradu, sebelum kami saling mengalihkan pandangan. Dia melihat keluar kaca jendela, sedangkan aku melotot pada manekin tanpa wajah tak bersalah.

Sean menyodorkan segelas teh hangat dengan uap yang masih mengepul. Dia mempersilakanku minum seraya membuka percakapan umum seputar diriku: asal daerah, tempat kuliah, jurusan, dan bagaimana bisa aku bertemu Rezvan. Entah mengapa aku merasa seperti sedang diinterogasi oleh polisi. Biar begitu, pembawaannya yang menyenangkan membuatku merasa nyaman berbincang lebih intens. Berbeda dengan Rezvan yang hanya memutar telunjuknya di atas cangkir kopi, sambil sesekali kurasakan matanya melirik ke arahku.

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang