Part 14 : Wedding Invitation

6.9K 522 6
                                    

"Ternyata hubungan harmonis bukan hanya yang terlihat romantis, tetapi bisa juga melalui sisi humoris."

Udara pagi ini terasa hangat. Sang surya bersinar lembut dari balik pepohonan. Burung-burung berkicau riang, berpindah dari satu dahan ke ranting lain. Kabut yang menyelimuti tanah perlahan mulai terangkat, menyisakan tetesan embun yang meluncur turun.

Aku duduk di kursi kayu sambil bersandar, menikmati suasana yang disajikan alam secara cuma-cuma. Sekitar lima meter di di sebelah kananku, Pak Harjanto sedang melakukan ritual kesayangannya di bawah pohon mangga. Sejak semalam, beliau uring-uringan karena beberapa hari tidak 'bertemu' dengan istrinya akibat hujan yang mengguyur bumi dengan derasnya. Kini matanya terpejam, senyum tulus terulas dari sudut bibirnya.

Hidungku tiba-tiba terasa panas saat melihat sesosok pria keluar dari pintu belakang. Ya, siapa lagi kalau bukan Rezvan. Dengan angkuh, dia berjalan melewati pijakan kaki yang terbuat dari batu menuju pinggiran kolam renang. Sesaat pandangan kami bertemu dan aku menyesal telah memperhatikannya. Bahkan dari jarak yang tidak terlalu dekat pun aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat. Menyebalkan.

Belum sempat aku membuang muka, dia mulai menjalankan aksi yang membuatku nyaris mimisan. Dia mengangkat kaos putih yang membalut tubuhnya dan melemparnya asal ke atas gundukan pohon bunga alamanda. Mataku mengkhianati hati yang tak ingin melihat pemandangan yang bukan hakku. Tanpa sadar, retinaku menangkap bayangan tonjolan rectus abdominis yang biasanya hanya kulihat pada aktor cowok di film atau gambar komik. Ya ampun! Cowok seperti itu benar-benar ada di dunia nyata!

Sentilan kesadaran membuatku memalingkan wajah. Sepertinya Rezvan telah menyadari bahwa aku memperhatikannya sehingga ia mulai melakukan peregangan otot menghadap ke arahku. Cih! Aku tak mau dia merasa 'gede rasa'. Gengsi.

Terdengar suara orang berbicara dari pintu belakang. Tampak seorang pria dan wanita sedang berbincang dengan Bi Iyem sambil berjalan ke arahku. Aku segera berdiri dan berjalan ke samping Pak Harjanto yang kini sudah membuka mata. Pasienku itu melarangku yang hendak mendorong kursi roda.

"Mas Jan!" pekik wanita yang memakai gamis dan hijab terlilit di leher. Senyumnya terkembang saat tiba di hadapan pria tua itu. "Piye kabare?"

Pak Harjanto terkekeh. "Yo, koyo ngene wae, Sus," sahutnya serak.

"Mas," sapa pria satunya sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan. Pak Harjanto bersalaman dengannya dan mengangguk. "Masih duduk di sini ketemu Mbak Ningsih?"

Terlihat wanita itu mencubit lengan pria di sampingnya. "Hus, jangan bilang begitu!" bisiknya.

"Ndak apa-apa, Sus. Lah wong memang benar aku ketemu Ningsih," sahut Pak Harjanto yang tampaknya mendengar bisikan wanita yang dipanggil Sus itu.

Bu Sus mendengus kesal sambil bertolak pinggang. "Mas Harjanto itu cinta banget sama Mbak Ningsih. Memang kamu kalau aku mati mau nemuin aku kayak gini?"

Pria di sebelahnya menggeleng. "Nggak. Aku mau nikah lagi!" godanya sambil tertawa. Bu Sus merengut, kemudian memukuli laki-laki yang kutebak adalah suaminya.

"Bulek Sus, Om Dar!" sapa Rezvan yang tiba-tiba sudah berada di belakang badan besar pria yang baru datang itu. Syukurlah dia sudah memakai kembali kaosnya.

"Eh, Evan! Kapan datang? Kok ndak ngabarin, sih?" sahut Bu Sus sambil mengusap-usap kepala Rezvan saat mencium tangannya.

"Baru dua hari yang lalu, Bulek," sahut Rezvan. "Bulek makin cantik aja," rayunya disusul tawa wanita di hadapannya.

"Bulekmu ini jangan dipuji, Van! Nanti bisa terbang ke langit dia!" guyon Pak Dar, membuat wajah istrinya memerah.

"Jangan didengerin, Van. Dia ndak suka lihat istrinya cantik!"

Semua tertawa, kecuali aku yang hanya tersenyum hambar. Mereka saling bersenda gurau membuatku yang berdiri di belakang kursi roda merasa seperti obat nyamuk. Ingin pamit, tapi khawatir Pak Harjanto membutuhkanku. Sesungguhnya aku mau membawa masuk pasienku, karena toh dia juga lebih banyak diam dan hanya mendengarkan obrolan. Tetapi mengingat mereka adalah tamunya, lebih baik aku saja yang undur diri agar tak mengganggu percakapan.

"Pak, saya masuk dulu, ya," pamitku sambil membungkuk. Aku bersuara sepelan mungkin sehingga kuharap hanya Pak Harjanto yang mendengar. Beruntung, pria itu mengangguk pertanda mengizinkanku masuk.

"Loh, ini siapa? Pacar kamu, Van? Kok nggak dikenalin?" sergah Bu Sus membuatku yang baru saja membuka mulut untuk pamit mengatup seketika. Terlebih pukulan keras seolah meninju ulu hatiku saat mendengar pertanyaannya. Hah? Pacar Rezvan? Amit-amit!

"Bukan, Bu. Saya Kintana, perawatnya Pak Harjanto," ucapku mencoba tetap sopan. Aku bersalaman dengan dua orang di depanku. Rezvan membuang muka sambil menggaruk-garuk kepala.

"Owalah ..., maaf, ya. Tak kirain pacarnya Evan," sahurnya tertawa. "Sudah punya pacar belum?"

Aku menggigit bibir. Pipiku terasa panas karena kini semua pandangan terarah padaku. Mengapa harus ditanyakan hal seperti itu, sih?

"Ehm, be ... belum, Bu," kataku tergagap. Entah kenapa aku jadi gugup begini.

"Tuh, Van! Belum punya pacar!" goda Bu Sus sambil menepuk lengan Rezvan. "Cantik, lho!"

"Iya, Van. Masa kalah sama Adit! Dia aja besok mau nikah!" timpal suaminya.

Bu Sus tiba-tiba berteriak. "Ya ampun! Kita kan ke sini mau minta izin sama kasih undangan ke Mas Harjanto!" Dia merogoh tas dan mengeluarkan sepucuk undangan merah muda. "Mas, maaf ya baru kasih kabar. Semuanya serba mendadak. Besok Adit nikah, kebetulan anaknya ndak bisa ke sini untuk sungkem dulu sama Pakdenya. Jadi saya wakilin saja, ya."

Pak Harjanto manggut-manggut. Akhirnya ia dilibatkan juga dalam percakapan ini. "Iya, Sus. Ndak apa-apa. Saya juga minta maaf, ndak bisa datang. Kamu tahulah kondisi saya begini, nanti kamu malah malu punya kakak ipar penyakitan begini," ucapnya pelan. "Undangannya kamu kasih Evan saja, biar dia yang wakilkan saya."

"Hus! Jangan ngomong gitu, Mas. Aku pengen Mas datang, tapi kalau ndak bisa ya ndak apa-apa," ucap Bu Sus mengusap bahu Pak Harjanto. Ia beralih pada Rezvan. "Tapi kalau kamu, Van! Wajib datang. Bulek ndak mau tahu!" ancamnya galak.

Rezvan tertawa. "Kalau nggak datang mau dikasih apa, Bulek?" ledeknya menjadi-jadi.

"Huuu ... tak tutuk sirahmu nganggo sapu!" dengus Bu Sus membuat semua yang ada tertawa. "Nih, undangannya! Awas kamu kalau alasan ndak datang!"

"Datang ya, Van! Jangan bikin muka Bulekmu berkerut kalau kamu nggak datang!" Pak Dar tampak bersemangat menggoda istrinya yang sedang menyerahkan undangan pada Rezvan.

Bu Sus bersungut-sungut sambil mencubiti lengan suaminya. Aku hanya ikut tertawa, menyaksikan satu lagi kisah cinta yang cukup berbeda. Ternyata hubungan harmonis bukan hanya yang terlihat romantis, tetapi bisa juga melalui sisi humoris.

"Kamu juga datang ya, Kencana," undang Bu Sus sambil merangkul pundakku.

"Kintana, Bu," ralatku sambil nyengir. "Maaf tapi, Bu. Saya nggak bisa datang. Harus jaga Bapak soalnya." Aku berkilah demi menyelamatkan diri dari jebakan.

"Ndak apa-apa kamu datang saja, Tan. Bapak sama Bi Iyem aja. Kamu kan juga butuh hiburan," suara Pak Harjanto terdengar diselingi batuk panjang.

"Tuh, kan! Mas Harjanto juga sudah kasih izin. Pokoknya kamu datang temani Evan, ya. Kalau dia ndak mau, seret aja!" pesan Bu Sus sebelum aku sempat menolak.

Lidahku terasa kelu untuk menyahut. Tentu saja aku tidak akan datang, tapi lebih baik aku tak lagi menyangkal. Urusannya bisa bertambah panjang.

Bu Sus dan Pak Dar berpamitan pada Pak Harjanto sambil meminta doa restu dalam bahasa Jawa yang halus. Aku hanya menunduk, mendengarkan kalimat lembut yang terlontar dari mulut Pak Harjanto untuk calon pengantin walau ia tak datang dan meminta doa secara langsung. Setelah wejangan selesai diutarakan, kedua tamu itu pamit kepada Rezvan dan juga kepadaku. Mereka kembali berpesan untuk kehadiran kami di pesta pernikahan anaknya.

Aku mengangguk, sekadar berbasa-basi. Toh, mereka tak akan ingat kalau aku datang atau tidak. Yang mereka harapkan kehadirannya hanya Rezvan, bukan? Lagi pula, aku juga yakin dia tidak menginginkanku untuk menemaninya. Pekerjaanku di sini untuk merawat Pak Harjanto, bukan mengurus anak menyebalkannya.

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang