Part 2 : Annoying Woman

11K 803 37
                                    

"Tubuh yang luka masih bisa tertahan, tapi hati yang luka sungguh sulit dipendam."

"Biarin saja. Saya masih mau di sini," ujar Pak Harjanto santai.

Bi Iyem bergerak gelisah. "Dia marah-marah, Pak. Saya disuruh cepat panggil Bapak!" cicitnya panik. "Saya takut diusir kayak tempo hari."

"Hus! Kamu kan kerja sama saya! Ngapain takut sama dia?" omel pria tua itu. Bi Iyem mengerucutkan bibir sambil memilin jari. Pak Harjanto geleng-geleng kepala. "Ya sudah! Ayo kita masuk!"

Dengan sigap, aku menghampiri Pak Harjanto dan membantunya berpindah ke kursi roda. Walau kakinya gemetar, namun pria berambut putih itu masih dapat berdiri dengan bantuan. Setelah memastikannya nyaman, aku mendorong kursi roda menuju rumah melewati jalan setapak yang memisahkan kebun dan taman belakang. Bi Iyem sudah berlari terlebih dahulu, mau menyiapkan hidangan katanya.

Sepanjang perjalanan, aku penasaran dengan sosok Bu Yatmi yang dimaksud Bi Iyem tadi. Apakah ia adalah kakak Pak Harjanto seperti yang diceritakan tadi? Kalau benar, mengapa ia sampai marah-marah dan membuat Bi Iyem seperti baru saja melihat hantu? Oh, ternyata begitu banyak yang Kintana tak ketahui dari keluarga yang ia masuki sejak tiga bulan lalu. Tetapi sesungguhnya itu bukan masalahnya.

Tiba di ruang keluarga, tamu yang datang tak kelihatan batang hidungnya. Aku meninggalkan Pak Harjanto yang tak mau berpindah ke sofa dan memilih tetap di kursi roda. Merasa khawatir jika pasienku itu membutuhkan bantuan cepat dan aku tak mendengar, aku mengurungkan niat untuk beristirahat di kamar. Aku hanya mengambil ponsel dan sebuah novel yang belum tuntas kubaca. Kuputuskan untuk duduk di ruangan sebelah yang hanya dibatasi rak barang pecah belah.

Tak lama kemudian, terdengar lengkingan suara keras wanita yang membuatku tersentak. Aku hanya melirik sekilas, tetapi tak dapat melihat apa yang terjadi di seberang ruangan. Akhirnya aku hanya mencoba berkonsentrasi membaca novel yang teronggok di pangkuanku.

"Jan! Kenapa kamu ndak balas WA saya? Ndak angkat telepon saya?"

Aku menanti jawaban Pak Harjanto, tapi tak mendengar apapun. Entah suaranya yang terlalu pelan atau ia belum sempat menjawab.

"Kamu mau ngumpet, hah? Atau kabur? Biar saya ndak jadi pinjam duit? Ndak bisa, Jan! Kamu harus balas budi sama saya yang dulu ngurusin kamu!"

"Saya ndak ngumpet atau kabur, Mbak!" suara serak Pak Harjanto terdengar pelan.

"Kamu itu banyak duit, kan? Masa pinjemin keponakan sendiri aja susah banget, sih? Giliran si Rezvan sekolah mahal-mahal di Jerman kamu biayain. Shirley cuma mau liburan seminggu ke Eropa aja nggak dipinjemin duit!"

Tanganku bergetar demi mendengar bentakan nyaring itu, padahal bukan ditujukan untukku. Aku sungguh tak berniat menguping, tapi lengkingan makian di seberang seolah memaksaku untuk mendengarkan. Semoga gendang telingaku tak pecah akibat gelombang suara itu.

"Memang Mbak Yatmi mau pinjam berapa?"

"Delapan puluh juta aja, Jan! Sedikit, kan? Itu sudah saya tambahin sama uang saya dua puluh juta. Shirley butuh seratus juta katanya."

Aku penasaran dengan apa yang terjadi di seberang ruangan. Berpura-pura berdiri sejenak untuk meregangkan badan, aku melirik melalui sela rak. Seorang wanita paruh baya bertubuh tambun sedang duduk di sofa tinggi sambil menumpukan sebelah kaki kanannya di atas lutut kaki kiri. Tangannya bersedekap, matanya yang dipenuhi lingkaran hitam eyeliner dan bulu mata palsu melotot pada pria yang duduk di kursi roda. Wajah bulatnya merah padam, pipinya yang tebal tampak bergetar.

"Delapan puluh juta? Delapan puluh juta itu banyak, Mbak," sahut Pak Harjanto diselingi batuk panjang.

Aku menimbang apakah harus beranjak membantunya, tetapi aku tak mau akan dianggap tak sopan karena mengganggu percakapan mereka. Akhirnya aku kembali duduk dengan tidak tenang.

Wanita gemuk itu mendengus. "Mana ada delapan puluh juta banyak? Kamu itu pelit sekali sama keponakan sendiri. Sudah sakit begini harta kamu mau buat apa, sih? Sebentar lagi juga kamu mati uang kamu ndak dibawa ke kuburan! Apa susahnya kasih pinjam kakak sendiri? Siapa dulu yang ngerawat kamu?"

"Saya juga masih butuh buat berobat, Mbak," cetus pria renta itu dengan nada semakin tinggi. "Belum lagi harus bayar biaya perawatan."

"Halah! Kamu ini alasan saja. Asal kamu tahu, ya, sakit kamu itu karena ulah kamu sendiri. Karena pelit sama keluarga. Sekarang rasakan, uang kamu cuma dipakai buat berobat penyakit yang ndak bakal sembuh!"

Hening sesaat. Aku menduga Pak Harjanto mendesah sebelum akhirnya berbicara. "Ya sudah. Saya pinjamkan lima puluh juta dulu ya, Mbak. Nanti kalau laba perusahaan cukup akan ditambah sisanya."

"Nah, begitu dong! Dari tadi, kek. Sudah mau mati itu nyenengin orang, Jan. Biar banyak yang doain kalau kamu sudah mangkat!"

Tak terdengar suara Pak Harjanto menyahut kalimat pedas yang terlontar dari mulut kakaknya. Aku malah mendengar namaku dipanggil berulang-ulang oleh pria tua itu.

"Kintana! Kintana!"

Aku terkesiap hingga tak sengaja menjatuhkan novel dalam genggaman. Menampilkan wajah datar seolah tak mendengar keributan tadi, aku menghampiri dua orang yang menebarkan aroma ketegangan.

"Tolong ambilkan HP saya di kamar," pinta Pak Harjanto saat aku sudah berada di depannya.

Mataku tak kuasa menahan desakan untuk melirik sekilas pada wanita gemuk yang sedang mengamatiku dari kepala hingga ujung kaki. Tatapannya bagai sinar X-ray yang menembus setiap jengkal tulang belulangku. Wajahnya mengingatkanku pada sosok wanita tambun di iklan gula pemanis untuk diabetes. Mencegah diri menjadi target pengamatan lebih dalam, aku segera meluncur menuju kamar pemilik rumah yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempat kami berada.

"Jadi ini baby sister kamu? Cantik juga. Pintar kamu milih pembantu," sindir Bu Yatmi saat aku menyerahkan benda persegi panjang itu. Aku pun terlonjak.

"Hus! Sembarangan! Dia ini perawat!" tukas Pak Harjanto ketus. "Lagi pula yang benar baby sitter, bukan baby sister. Itu juga buat bayi. Memang saya bayi?"

Tawa mengejek yang terdengar seperti ringkikan kuda terdengar mengapung di udara. Bu Yatmi kembali menatapku dengan sudut mata. "Mau bilang apa juga, namanya tinggal di sini ya pembantu. Repot amat!"

Sentakan kalimat bernada penghinaan itu meninju gendang telingaku. Sedari tadi aku mencoba tak peduli, tapi sepertinya wanita tambun itu sudah meruntuhkan batas kesabaran yang susah payah aku kuasai. Bukannya mau kurang ajar, tapi ocehannya sudah merendahkan martabat profesi yang aku geluti.

"Maaf, Ibu. Saya bukan pembantu. Saya perawat home care yang ditugaskan untuk melakukan asuhan keperawatan kepada Bapak Harjanto atas permintaan dokter Henry, DPJP Bapak!" ucapku menahan nada bicara agar tidak terdengar sengit.

Sudut bibir Bu Yatmi naik beberapa sentimeter ke atas. "Ya, kalau gitu kamu pembantunya Dokter Henry, kan? Sama aja. Gitu aja kok repot."

Aku kembali hendak membuka mulut, namun kalah cepat dengan Pak Harjanto. "Sudah, Mbak! Saya kan sudah pinjamkan uang."

"Sombong banget kamu, Jan! Besok saya cek uangnya, kalau belum masuk ke rekening saya, awas kamu!" ancamnya dengan telunjuk teracung ke wajah pria renta di sebelahku. Sesaat kemudian, matanya terarah tajam padaku. "Lagi pula, saya tahu maksud terselubung kamu. Pasti dia kamu jadiin istri siri, kan? Atau simpanan? Kedoknya aja baby sister padahal pelayanannya plus-plus ...,"

"Mbak!" bentak Pak Harjanto dengan mata melotot. Ia menegakkan tubuhnya dan mencengkeram kursi rodanya dengan erat. "Kalau sudah nggak ada perlu, lebih baik Mbak pulang!"

Bu Yatmi mendengus. "Kok kamu belain dia, sih? Jangan-jangan sudah kena pelet ya kamu?"

"Mbak Yatmi! Astaga!" Pak Harjanto terbatuk hebat. "Pe ... per ... pergi ... uhuk ... pergi sana!"

"Iya, iya! Ya sudah! Saya memang mau pergi arisan, kok! Sering-seringlah bagi duit!!"

Sebuah lirikan tajam kembali menghujam tubuhku. Ingin rasanya kujambak rambut bersanggul yang tertopang di tubuh wanita itu. Beruntung hatiku masih insaf dan hanya menatap dingin padanya. Dengan pongah, ia memutar tubuh dan berlenggak-lenggok menuju pintu dan berbalik.

"Ingat Ningsih, Jan! Supaya ndak tergoda daun muda!"

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang