Part 24 : Contretemps

4.5K 355 8
                                    

"Diriku tak ubahnya kucing liar yang berteduh di pinggir jalan, tak ada yang peduli."

Aku membuka mata dan tak dapat menangkap adanya cahaya. Kurasakan himpitan benda keras di kiri dan kanan tubuhku yang duduk bersila, menekan hingga membuat napasku sesak. Bau anyir menguar dari udara pengap sekitar, membuat perutku bergejolak. Terlebih guncangan dari bawah punggungku semakin menambah rasa mual. Namun, yang meningkatkan adrenalinku adalah kebisingan tanpa rupa. Bak ditelan kegelapan, aku merasa begitu kesepian ditengah suara ramai ini.

Setitik sinar tampak berpendar di sudut terjauh jangkauan penglihatanku. Semakin lama, binar itu semakin terang dan jelas. Sebentuk wajah mulai terlihat samar, hingga leher dan badan besar dengan tangan memegang lilin. Separuh badan itu tampak melayang di udara, di mana tubuh bagian bawah seolah ditelan kegelapan. Biar begitu, desah lega keluar dari mulutku, menyadari bahwa aku tidak benar-benar sendirian.

Seringai lebar mencuat dari kiri dan kanan bibir bayangan yang semakin mendekat. Aku terhenyak kala melihat dua gigi taring bertengger tajam, penuh dengan darah. Wajah yang kini hanya berjarak satu langkah di depanku terlihat jelas. Om Cahyo!

Aku menahan napas, tak sanggup bergerak. Tangan besarnya membelai pipiku, kemudian mencekik leherku. Aku meronta sekuat tenaga, sambil berteriak sekeras-kerasnya. Kini, taring dengan bau amis yang pekat bercampur dengan udara menyentuh leherku. Setiap sendiku terasa kaku, bahkan untuk sekadar menghindar dari serangan vampir berwujud manusia mesum itu. Suaraku juga tak terdengar, walau sekuat tenaga aku menjerit meminta pertolongan. Oh, apa yang terjadi?

Sesosok wanita entah dari mana datang dan mendorong tubuh besar Om Cahyo hingga menghilang ditelan kegelapan. Jantungku yang berdebar begitu kuat, sesaat kembali berirama, menyambut kedatangan malaikat penolong. Namun, kelegaan yang sempat terasa sekejap hilang, berganti dengan lonjakan kelistrikan jantung yang lebih hebat. Wanita bersanggul itu lebih buas, mendorongku hingga terjengkang. Senyum sinisnya hanya dimiliki satu orang di dunia ini. Bu Yatmi. Seperti Om Cahyo, mulutnya penuh dengan darah segar yang menetes ke atas wajahku. Lidahnya menjilat bibir atas, seolah sedang menikmati santapan lezat. Kini dia menundukkan kepalanya, menempatkan taringnya tepat di arteri karotisku.

Menutup mata, aku hanya bisa berdoa dalam hati. Walau sebelumnya aku begitu ingin mati, tetapi merasakannya begitu dekat tetap membuatku ngeri. Saraf Krauseku mendeteksi rasa dingin yang merayap dengan cepat dari tangan sang pemangsa ke seluruh tubuhku. Tak sanggup lagi melawan ketakutan, pita suaraku menyemburkan teriakan.

"Arghhhhhhh!"

Seketika wajahku basah dan mataku terbuka. Cahaya silau menyelinap ke dalam pupilku, membuatku menyipitkan mata. Jantung yang masih terpompa keras merangsang dadaku naik turun dengan napas memburu. Aku tercengang menatap sekitar. Kursi berlapis jok kulit berderet tiga membelakangiku. Memutar kepala ke kanan, aku mendapati jendela bening menembuskan pemandangan deretan bus berjajar tak karuan dengan ratusan manusia berkeliaran di sekitarnya. Di sebelah kiriku, sesosok pria berbaju biru telur asin memegang botol air mineral dengan tutup terbuka.

"Mbak! Bangun! Udah sampe terminal!" pekiknya sambil menunjuk plang besar melengkung di atas gapura lebar yang berbatasan dengan jalan raya.

Aku mengerjapkan mata. Apa katanya? Terminal? Aku memijat kepalaku yang terasa berat, berharap bisa menyambungkan neuron di otakku yang sempat terputus. Hmm, terminal, ya. Oh, iya! Astaga! Aku pasti tertidur selama perjalanan!

Sambil meminta maaf, aku memeluk tas ransel biru dan berjalan tergopoh-gopoh turun dari bus. Celingukan, kepalaku menoleh ke kiri dan kanan seperti anak ayam yang kehilangan induk. Tenang, aku harus menenangkan diriku sebelum melakukan langkah selanjutnya. Aku tak peduli walau lalu lalang orang menghalangi pandanganku mencari sebuah tempat untuk berpikir.

Duduk di pinggir undakan pembatas tanaman yang kering kerontang, aku menenggak air mineral yang kubeli di terminal keberangkatan. Otakku berputar, berusaha menjernihkan pikiran. Sejak kapan aku tertidur? Seingatku, aku masih berkirim pesan pada Naren untuk pamit pergi ke ibukota saat bus baru berangkat selang satu jam. Setelah itu, mimpi buruk seperti merenggut kesadaranku. Tidak, aku tak perlu mengingatnya lagi. Yang perlu kuingat adalah tujuanku, menemui ayahku. Ya, itu dia!

Aku merogoh tas dan mengaduk isinya. Kuraba permukaan licin dan rata benda persegi panjang yang menjadi sarana pencarian ini. Walau sempat mengingat alamat yang tertera, aku butuh memastikan bahwa tujuanku memang benar. Lagi pula, setidaknya aku harus mengabari Naren dan Dokter Henry bahwa aku telah tiba di Jakarta.

Deg!

Seketika aku terdiam. Tak dapat kutemukan gawai yang belum lama kubeli, hasil menyisihkan sisa uang yang tak diberikan pada Ibu. Aku mengintip celah tas dan tak juga melihat benda yang kucari. Kukeluarkan satu per satu barang bawaanku yang tak seberapa. Satu pak tisu, sehelai baju dan celana ganti, charger, sobekan foto masa kecil, serta beberapa batang lolipop yang sempat kutitipkan. Tidak kutemukan tanda keberadaan benda terpenting itu. Bahkan, rupanya dompetku juga raib!

Ya Allah! Bagai ditusuk pisau tepat di ulu hati, seluruh tubuhku terasa kaku dan sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Kujambak rambutku sendiri, menyumpah serapah atas kecerobohan sepanjang perjalanan tadi. Oh, apa masih ada satu kebaikan tersisa untuk hidupku yang semakin kelam ini?

Tidak! Aku tak boleh menyerah. Sudah sampai sejauh ini, aku harus tetap berjuang. Aku menenggak kembali air mineral hingga tandas tak bersisa. Perlahan, dinginnya cairan yang menembus kerongkonganku mampu sedikit menyejukkan hati. Rencana demi rencana akhirnya tersusun di sisa kewarasan yang aku miliki.

Tanpa basa-basi, aku bangkit dan mencari bus yang menjadi tumpanganku tadi. Ya, aku tahu, ini mustahil. Benar saja, aku tak menemukannya. Menjalankan rencana kedua, aku menghentikan angkot yang menuju kafe tujuanku dengan bekal ingatan tak yakin. Uang dua puluh ribu rupiah, kembalian ongkos bus tadi, tidak akan kusia-siakan.

Perutku berdendang sepanjang perjalanan, mengiringi suara khas Didi Kempot saat menyanyikan lagu Stasiun Balapan yang diputar berulang-ulang. Rintik gerimis menyambutku saat turun dari mikrolet berwarna biru telur asin itu. Langit jingga kemerahan menjadi nuansa latar belakang yang mewakili perasaanku saat ini. Jantungku berdebar teramat kuat, menantikan momen haru yang akan kuhadapi saat bertemu ayah nanti. Namun di satu sisi, berulang kali hatiku memungkiri bahwa inilah jalan terbaik yang harus aku lalui.

Menanti, membiarkan detik tersapu sunyi. Mataku tak henti menatap dua titik, pintu masuk kafe dan foto di tangan. Di undakan depan ruko yang tutup, aku duduk sambil menekan perut, mencoba menyingkirkan perih yang semakin menusuk. Kini diriku tak ubahnya kucing liar yang berteduh di pinggir jalan, tak ada yang peduli.

Langit seolah menuang air yang terjun bebas mengguyur daratan. Udara dingin bak menjelma menjadi ribuan jarum jahit, menusuk pori-pori kulit. Sebagian orang nekat menembus derasnya hujan, tetapi tak banyak juga yang tetap berteduh. Kendaraan merayap di jalanan macet, suara klakson bersahutan memekakkan telinga. Semua ingin cepat tiba di rumah, bercengkrama dengan keluarga.

Spontan aku berdiri tegak saat sebuah mobil yang berhasil membebaskan diri dari kemacetan berhenti tepat di depan kafe. Seorang wanita keluar sambil menempatkan tas di atas kepala, bergegas menuju teras. Napasku tertahan saat pengemudi selesai memarkir kendaraannya dan turun. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menghampirinya.

"Bapak!" teriakku tersamar hujan. 

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang