Part 12 : Pervert Man

7K 493 14
                                    

"Aku tak ingin menjadi seperti kacang polong yang kehilangan air akibat sengatan matahari. Kisut, keriput, dan layu."

Aku tercekat sejenak, kemudian maju selangkah untuk membebaskan diri dari rangkulan yang tak diharapkan. Rasa risih membuatku hanya mampu mengeluarkan senyum basa-basi, tetapi tampaknya pria itu tak menyadarinya. Dia memandangku dengan mata menyipit dari kepala hingga ujung kaki, lidahnya sekilas menyapu bibir hitam tebalnya.

"Selamat pagi, Pak," sapaku basa-basi. Sebelumnya, sekitar dua kali aku pernah bertemu dengannya dan tingkahnya masih sama saja menyebalkan. Dia adalah pengacara Pak Harjanto yang cukup sering dipanggil untuk mengurus keperluan.

"Duh, duh. Kok Pak lagi, sih? Kan udah sepakat panggilnya Om aja," godanya dengan mulut mengerucut. "Makin cantik aja kamu. Bikin kangen tau."

Tak ada sedikitpun rasa bangga di hatiku mendengar pujian itu. Perutku malah merasa mual, terlebih mata mesumnya semakin membuatku jengah. Namun, demi menghormati tamu Pak Harjanto, aku memberikan senyum terpahit yang bisa kukeluarkan.

"Silakan, Pak, kalau mau ketemu Bapak," ucapku mengalihkan pembicaraan dengan tangan mempersilakan. Dia malah menarik tanganku, kemudian menariknya kasar.

"Pak lagi, Pak lagi. Cubit, nih!"

Tanpa memperkirakan serangan yang begitu cepat, hidungku sempat terjepit di antara jempol dan telunjuk besar yang berbau rokok. Aku mencoba mengelak, tetapi dia malah semakin erat menggenggam tanganku. Aku melotot, merasa dilecehkan oleh orang yang kurang ajar seperti ini. Sebelumnya, dia hanya berani menggodaku dengan ucapan nakal yang menjijikan. Tapi kali ini, beraninya dia menyentuhku! Aku tak bisa tinggal diam!

Jemariku mengepal, membentuk tinju yang siap menghantam hidung besarnya. Namun, terdengar suara lantang mengalihkan perhatiannya.

"Om Cahyo!"

Rezvan datang dari arah dapur dan langsung menghampiri pria gendut di sebelahku. Lengannya terentang dengan tawa lebar, kemudian memeluk dan menggenggam tangan besar yang sebelumnya menarik tanganku. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menghindar. Syukurlah Rezvan datang di saat yang tepat. Kalau dibandingkan, ternyata tingkah galak dan menyebalkannya masih lebih baik daripada godaan mesum yang menjijikan. Tapi tetap saja aku tak akan mengucapkan terima kasih.

"Rezvan ... Rezvan. Makin besar saja kamu!" Dua tangan Om Cahyo menepuk-nepuk bahu Rezvan dan meremasnya. "Ganteng ya kamu sekarang. Gimana cewek-cewek di Jerman? Seksi-seksi, kah? Sudah habis berapa kamu?"

Aku mundur perlahan, sebisa mungkin tanpa suara. Cepat-cepat aku menuju kamar, supaya tak terjebak lagi. Namun begitu, telingaku masih mendengar percakapan dari dua orang mesum di belakangku.

"Hah? Habis, Om? Emang Evan kanibal?" sahut Rezvan menimpali candaan yang sama sekali tidak lucu.

"Wah, sayang banget kamu, Van. Masih muda, masih kuat, nikmati dululah," pesan Om Cahyo mengompori. "Om saja ini, masih kuat semalaman penuh!"

Niatku untuk segera kabur terhalang oleh derit pintu yang berbunyi nyaring. Dari belakang, kudengar Om Cahyo berteriak memanggil namaku.

"Hei, Kintana! Mau kemana, Manis? Temani Om dululah sini ...!"

Aku berbalik sekadar hendak menutup pintu. Om Cahyo melambaikan tangan memanggilku, seolah aku adalah wanita murahan yang bisa dibayar untuk memperoleh kesenangan.

"Udahlah, Om! Biarin aja. Urusan kita lebih penting dan genting, nih! Ayo cepat ketemu Papa!" ajak Rezvan menggandeng lengan besar Om Cahyo menuju kamar sebelah.

Kututup pintu dengan keras bersamaan dengan kalimat terakhir dari Rezvan yang kudengar. Aku bersandar di balik pintu, terus merosot hingga jatuh terduduk dengan kaki tertekuk. Kugunakan lutut untuk menopang lengan yang menutupi mata. Rasa kesal bertumpuk di dadaku, membuat bulir air mata mengalir deras. Aku tak mau dianggap wanita simpanan dan dilecehkan. Aku benci posisiku yang tak berani melawan karena tak ingin kehilangan pekerjaan. Aku mau pulang.

Tidak. Sama saja. Keadaan di rumahku sendiri tak akan lebih baik. Aku hanyalah anak tukang judi, apa yang bisa diharapkan selain utang yang menggunung? Yang ada hanya akan menjadi bulan-bulanan penagih utang yang tak kenal belas kasihan.

Tunggu dulu. Penagih utang?

Aku bangkit dan menjelajahi ruangan untuk mencari ponsel. Jantungku berdebar keras, berharap semoga Pak Dobleh belum datang untuk mengambil rumahku. Begitu menemukan ponsel yang ternyata sedang diisi daya di sudut ruangan, aku segera merenggutnya dan menyalakan dengan tangan gemetar.

Deretan notifikasi masuk memenuhi layar. Aku langsung membuka pesan yang dikirimkan Ibu. Isinya hanya tulisan perintah untukku mengangkat telepon. Tanpa pikir panjang, aku menelepon Ibu dan tak butuh waktu lama hingga aku mendengar suaranya.

"Kamu kemana aja, sih? Dari pagi teleponnya mati?" semprot Ibu tanpa sapaan sopan khas telepon.

Aku menghela napas, menjaga nada suara agar tak balik membentaknya. "Kintan abis jatuh dari motor, Bu, semalam."

"Kamu udah ada uangnya?"

Bibirku tersenyum kecut. Tak ada apapun yang lebih penting di otak Ibu selain uang. Bahkan keselamatanku tak pernah masuk perhitungannya.

"Belum," jawabku lirih menahan tangis.

"Gimana, sih? Kemarin kan kamu udah janji?" tuding Ibu membuatku sesak. "Ya udah, Ibu pinjam Pak Wahyu aja!"

"Terserah!" sahutku muak. Aku tak peduli lagi mau dikata apa Ibu oleh warga sekitar.

"Kok kamu ngomongnya gitu sama Ibu?"

Karena Ibu nggak peduli aku! Ibu cuma peduli uang aku!

Aku tak sanggup mengatakan apa yang ada di pikiranku. Hanya isakan yang keluar mengiringi tangis tak terbendung. Mungkin inilah yang dirasakan Spiderman saat venom hendak menjalari tubuhnya. Terlalu muak untuk menjadi orang baik.

Sebuah solusi tiba-tiba muncul di otakku. "Kintan udah nggak tau lagi gimana caranya dapat duit, Bu. Lebih baik Ibu jual rumah aja, terus pindah yang jauh! Biar Pak Dobleh nggak bisa nemuin Ibu lagi!"

"Jual rumah? Kamu pikir siapa yang mau beli rumah bobrok sempit begini? Dijual pun nggak akan cukup buat bayar, Tan!" sangsi Ibu.

Kepalaku terasa sakit. Aku hanya diam mendengar ocehan Ibu yang merembet kemana-mana. Mulai dari cuma makan pakai ikan asin, adikku yang tawuran, keluhan badan sudah pada sakit, hingga menyuruhku untuk menikah dengan orang kaya. Siapa pula yang mau menikahi perempuan dengan utang selangit?

"Pokoknya kalau Pak Dobleh datang, Ibu suruh dia telepon kamu langsung!" ancam Ibu sebelum memutuskan sambungan.

Aku menghela napas dalam sambil meletakkan ponsel di tempatnya semula. Aku tak ingin menangis lagi, tidak untuk hari ini. Bisa-bisa aku menjadi seperti kacang polong yang kehilangan air akibat sengatan matahari. Kisut, keriput, dan layu.

Menghilangkan nelangsa yang bersarang, aku meraup beberapa batang permen lolipop yang tersimpan dalam toples di atas buffet dan memasukkannya ke saku. Aku beralih ke kasur yang sudah rapi, kemudian melempar tubuh hingga berbaring di atasnya. Sambil menatap kosong pada langit-langit, aku membuka bungkus permen dan membiarkannya meluncur di mulutku. Tak ada yang bisa menghiburku selain rasa manis yang menghantarkan sepercik kebahagiaan melalui papila lidah.

Aku lelah. Aku mau istirahat sejenak saja. Tanpa memikirkan apapun, tanpa melakukan apapun. Biar aku seperti ini sebentar saja.

Prang!

Bunyi pecahan kaca yang sangat keras membuatku tersentak. Aku terduduk, berkonsentrasi pada suara teriakan yang terdengar samar. Bingung tapi penasaran. Aku menimbang apa sebaiknya aku keluar untuk melihat keadaan? Tapi aku tak ingin bertemu dengan Om Cahyo dan menjadi objek kegenitannya.

Belum sempat aku memutuskan, seseorang membuka pintu kamarku dan sebuah kepala tersembul dari baliknya.

"Tan! Kintana! Tolong ...!"

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang