Part 22 : Rape Trial

5.3K 420 14
                                    

"Hanya lelaki bengis yang tak pernah merasa iba untuk merenggut kehormatan seorang wanita."

"Kintana ...."

Aku mengerjapkan mata demi mendengar suara lembut di telinga. Bayangan pria berkacamata menyapaku, membuat tubuhku otomatis berjingkat. Kudapati diri tertidur di sofa, dengan selimut menyelubungi tubuh dari kaki hingga perut. Di depanku, Pak Harjanto masih tertidur pulas. Bunyi dengkurannya beradu dengan bedside monitor yang semalam kupasang.

Lengan kananku segera menyeka aliran liur di sudut bibir, sementara jemari kiriku menyisir rambut yang kusut. Aku menggigit bibir, salah tingkah. Seperti Upik Abu yang tiba-tiba didatangi pangeran berjas hitam, aku benar-benar kikuk.

"Maaf saya ketiduran. Semalam kondisi Bapak menurun, batuk terus, tekanan darahnya juga tinggi. Jadi saya begadang. Pas Bapak udah mulai stabil, saya duduk sebentar, eh malah kebablasan," ujarku mengemukakan alasan yang tak diminta.

"Santai saja, Kintana. Kamu kayak lagi disidak bos saja." Pria di depanku tertawa. "Bangun tidur juga kamu tetap cantik, kok."

Pipiku merona. Aku segera membuang pandang agar tak kentara. "Mas Naren, kok, udah datang? Pagi banget!"

"Pagi apanya? Sudah jam delapan!" ujarnya tergelak. Aku melirik dinding dan langsung menepuk jidat. "Hari ini Om Harjanto mau ada acara penting. Penandatanganan pembagian warisan. Sebentar lagi banyak tamu yang bakal datang!" sambungnya.

Aku ternganga. Pembagian warisan? Sepertinya sangat menggiurkan. Ah, tapi siapa diriku mengharapkan harta dari orang yang tak ada hubungan darah. Gajiku dibayar penuh, apalagi ditambah bonus saja seharusnya sudah bersyukur.

"Tapi Bapak baru aja tidur. Saya nggak tega banguninnya," ucapku dengan mulut yang sesedikit mungkin terbuka. Khawatir bau mulut belum sikat gigi terendus Naren.

"Biar saja dulu. Kamu mungkin mau mandi dulu, biar saya yang temani Om Harjanto."

Aku mengangguk riang. Naren selalu mengerti apa yang kubutuhkan. Aku semakin nyaman berinteraksi dengannya. Terlebih selama tiga hari sejak bertukar nomor, kami tak henti berkirim pesan. Mungkin, dialah orang yang dikirimkan Tuhan untuk mengobati kesendirianku.

Naren menahan tanganku yang hendak beranjak kembali ke kamar. "Saya sudah dapat informasi tentang ayahmu."

Bagai tersengat halilintar, tubuhku mendadak tegang. "Yang benar?"

Belum juga mendapat jawaban, terdengar pintu terbuka. Bi Iyem menjulurkan kepala, sesaat kemudian matanya terpaku pada tangan Naren yang masih memegang tanganku. Dengan cepat ia melepaskannya.

"Oh, ada Mas Naren. Maaf ganggu," gumam Bi Iyem seraya menutup pintu.

Aku berlari menghampirinya, menahan pintu yang baru setengah tertutup. "Eh, nggak apa-apa, Bi. Ada apa?" tanyaku menutupi kekikukan.

"Ehm, Bibi kira kamu belum bangun. Mau suruh kamu makan, sama buatin susu untuk Bapak."

"Aku aja, Bi, nanti yang buatin," tolakku, tak ingin merepotkan. "Bibi lanjut beres-beres aja. Mau banyak tamu, kan?"

Wanita tua itu mengangguk. "Ya udah, Bibi buatin aja, ya. Nanti kamu yang kasih ke Bapak. Masih tidur juga orangnya."

"Iya. Makasih, ya, Bi," ucapku seiring pintu yang menutup di depanku.

Tak membuang waktu, aku kembali pada Naren yang kini sedang duduk tegak di sofa. "Jadi, gimana ayah saya tadi?"

"Dia ada di Jakarta. Nanti saya kirimkan alamat tempat dia sering terlihat datang setiap petang," ucap Naren lirih. Ia membuka mulutnya, tampak hendak mengatakan sesuatu. Urung, dia menyandarkan badan dan mengalihkan pembicaraan. "Ya sudah. Sana mandi. Biar makin cantik."

One Stop Loving [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang