Bab 1

125K 2K 60
                                    


Yura Pov

Sakit!

Ini memang bukan pertama kalinya aku merasa sakit. Tapi ini kali pertama aku lebih memilih mati. Payudaraku serasa mau pecah. Perih! Dia meremas terlalu erat. Aku melenguh. Mencoba melonggarkan tangannya yang meremas dari depan. Berharap ia mengerti dan sedikit melonggarkannya.

Tapi percuma.. cengkeramannya malah semakin kuat. Aku tau ini kesenangan baginya. Dan ketika nyerinya sudah tidak tertahankan lagi, aku mendongak. Menatap dengan mata minta kasihan. Atau yang dia sebut seperti mata anjing kecil yang sedang ngemis minta makan. Aku tidak pernah suka bila ia mengatakan itu, seolah menganggapku sebagai peliharaan. Tapi aku tau hanya ini cara untuk menolongku sekarang. Karena dia selalu luluh bila aku menurut ... seperti peliharaan.

Tapi rupanya aku salah. Jansen terlalu bergairah hanya untuk memperhatikanku sejenak. Pria itu hanya fokus pada payudaraku. Terlihat gemas.

Namun melihat gairahnya yang sedang sangat tinggi, aku mencoba mengikuti. Merilekskan tubuh. Berharap sakitnya sedikit.. sedikit saja berkurang.

Tak habis akal, kuraba selangkangannya. Menarik perlahan risleting celana jeans yang dia kenakan. Jansen menggeram. Ia melepaskan kedua tangannya dari payudaraku, beralih menarik tengkuk, dan melumat bibirku.

Ciumannya benar-benar memabukkan. Menaikkan gairahku ke puncak. Jansen pandai berciuman. Sangat, dan aku tau itu berkat latihannya sejak kami masih di SMA. Ia mampu membangkitkan gairah setiap perempuan hanya dengan ciuman. Termasuk aku.

Aku menginginkan dia sekarang juga!

Dengan terburu, aku mendorongnya hingga terduduk di sofa. Lalu menarik tergesa celana dan boxer yang dia kenakan. Jansen menyeringai, mengejek ketidaksabaranku. Tapi aku sungguh tidak tahan lagi.

Aku duduk di atas pahanya, mengangkangkan kakiku. Lalu kugenggam miliknya dan membimbing masuk perlahan ke dalamku. Tapi Jansen menarik pinggangku dan melesakkan miliknya seketika itu juga. Dengan kuat! Keras!

"Arght!!"

Itu .. menyakitkan.

Kutolehkan seketika mataku. Untuk melihat pada matanya. Yang ternyata, ia sama sekali tampak tak peduli. Aku tersenyum pedih.

Beberapa detik kemudian, ia mengcengkeram pinggangku lebih keras. Menusuk dengan lebih kasar. Aku berteriak lagi, memanggil namanya. Berulang-ulang. Tapi Jansen sama sekali tidak mengurangi lajunya.

Ada apa dengan pria ini? Aku tahu kalau dia bercinta dengan kasar hanya ketika marah. Hanya ketika dia bertengkar dengan Silvia. Hanya saat wanita itu lagi-lagi menolak ... dinikahi!

Teriakanku perlahan menghilang, terganti dengan desahan kenikmatan. Jansen sebaliknya jadi lebih tenang. Belitan tangannya perlahan mengendur, dan gerakan menusuknya jadi lebih teratur. Aneh, aku malah merasa sedikit kecewa. Membawaku pada kesadaran, betapa sempurnanya aku sekarang menjadi jalang.

Tak apa.. kataku dalam hati. Selama itu masih Jansen, tak masalah aku menjadi apa saja. Aku akan menjadi apapun yang dibutuhkannya.

Dengan pemikiran itu, kucoba kembali meraih bibirnya. Melumatnya. Dengan sangaattt lembut. Kuberikan segala kasih sayang yang kupunya pada ciuman itu.

Dan... Jansen terlena. Lelakiku ini ikut membalas. Dengan sama lembutnya. Ia bahkan sempat mengusap rambut panjangku. Aku bersorak dalam hati. Sebelum kemudian, ponsel Jansen menggangu. Hanya notifikasi pesan. Seharusnya tak perlu dipedulikan. Setidaknya ketika kami sedang bercinta. Tapi ternyata Jansen tak begitu.

Ia berdiri. Membawaku ikut serta. Dengan erat, ia mengangkat bokongku. Lalu berjalan menuju ranjang, tempat ia melemparkan ponselnya sesaat sebelum ia memintaku bugil dan melakukan permainan ini.

Sampai di tepi tempat tidur, dia melepasku. Menghempaskan begitu saja.

"Berbalik!" perintahnya. Aku menurut. Segera membalikkan badanku. Dan setelahnya ia mengangkat pantatku keatas, hingga aku menungging. Ponselnya tepat didepan mataku, dan aku melirik sekilas layarnya yang masih hidup.

Silvia! Dia yang mengirim pesan.

"Kemarikan!" perintahnya, sambil menengadahkan tangan kiri. Sedang tangan kanannya mengelus vaginaku. Membuatku mendesah keras, tapi juga menuruti untuk memberikan ponsel sialan itu.

"Berengsek!!!" Jansen mengumpat keras beberapa detik kemudian. Ia memberhentikan elusannya.

Aku menoleh ke belakang. Dan kulihat, matanya menggelap. Rahangnya kaku. Tangannya mengepal kuat. Ponselnya juga telah terbanting di atas nakas. Tanda kemarahan yang sudah diubun-ubun. Dan jantungku seketika berdetak lebih kuat. Ia sedang murka. Dan pelampiasannya pasti.. AKU!!

Dan ternyata.. betul. Seketika itu, Jansen menghujamkan miliknya sekeras-kerasnya ke liangku. Lalu ia menunduk sedikit, mengulurkan tangan kearah payudaraku. Tanpa segan meremasnya kuat. Tanpa ampun!

Aku membelalak ngeri, menjerit protes. Tapi Jansen bukanlah lelaki baik yang tiba-tiba lembut ketika kita menjerit atau menangis. Setidaknya tidak untukku.

Jansen masih bergerak, semakin lama semakin cepat, semakin keras, terkesan terburu-buru, dan aku tahu dia sedang ingin bermain cepat. Apalagi kalau bukan dia yang tidak sabar untuk menemui kekasihnya, Silvia. Tapi tak bisa kupungkiri kenikmatannya menjadi semakin luar biasa. Sakit tapi juga nikmat.

Aku mendesah. Dan ia semakin bersemangat menghujamku liar. Tanpa ampun. Tak terkendali. Sampai akhirnya, kurasakan gelombang itu akan datang. Sebentar lagi. Membuatku tidak tahan untuk ikut bergerak. Membuat Jansen menggeram keras. Dan akhirnya ... kami meledak bersama-sama.

Setelah itu dia melepas cengkeramnya pada tubuhku yang masih lemas begitu saja. Bergerak menjauh. Membuatku jatuh diatas ranjang.

Masih dengan napas yang berat, aku menengadah. Dan melihat Jansen yang meringsek terburu ke kamar mandi. Lalu keluar dengan handuk di pinggang. Aku hanya bisa menatapnya yang kini membuka lemari, melempar handuknya, dan berpakaian tanpa kata.

"Kau akan pergi?" tanyaku, ketika ia meraih ponselnya diatas nakas. Aku tahu dia akan pergi, tapi entah kenapa aku masih ingin bertanya.

Hening. Ia tak menjawab.

Jangankan menjawab, Jansen bahkan pergi dan membanting pintu kamarku begitu saja. Tanpa berepot-repot untuk melirik, walau hanya sedetik, ke arahku.

Dan pada akhirnya, air mataku jatuh. LAGI.

"Bodoh..Tolol!" makiku pada diri sendiri. Dan merasakan hatiku semakin sesak.


...

(14 Desember 2019)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang