Bab 10

38.5K 1.5K 33
                                    

Jansen POV

Bibir ini masih sama lembutnya, seperti saat aku menciumnya pertama kali. Begitu menggairahkan, dan membuatku candu.

Jujur saja, aku sudah memperhatikan bibir merah ini bahkan sejak aku masih bocah. SMA. Ingin mencicipinya, tapi terpaksa menahan diri. Itu tidak sopan, dan orangtua kami saling mengenal.

Kalau aku nekad waktu itu menciumnya, aku yakin sekali ayahku akan langsung menebas kepalaku. Lalu mungkin menguburku diam-diam dan mengatakan pada semua orang kalau aku hilang begitu saja.

Iya betul, sekejam itulah ayahku kalau aku berani menyakiti putri cantiknya ini.

Yura, tanpa diketahuinya, telah menjadi bagian keluarga kami. Bahkan jauh sebelum kami menikah.

Ayah bercerita kala itu, kalau Yura bagai malaikat yang menyelamatkan keluarga kami. Mamaku telah meninggal sejak aku berumur 6 bulan. Sudah lama sakit, dan sebetulnya sudah lama juga ayahku mempersiapkan diri kalau saja akhirnya ia ditinggal.

Tapi ketika mama benar-benar pergi, ayahku ternyata tetap tidak dapat merelakan. Ia lupa pada Tuhan, pada keluarganya, termasuk.. aku. Sejujurnya ketika cerita ayah sampai pada tahap ini, aku langsung kesal! Masa anak sendiri dilupakan?!

Namun kemudian, keluarga Yura datang menjenguk. Mereka terlambat, karena sebelumnya tinggal di tempat yang jauh.

Ayahku yang katanya sudah seperti orang mau bunuh diri itu, langsung tersenyum kala seorang bayi 3 bulan tersenyum padanya.

Senyum yang kata ayah seperti senyum mama.

Dan sejak itu, aku selalu memperhatikan senyum gadis ini. Bertanya-tanya, benarkah senyum itu senyum mamaku?

Sejak perkenalan resmi kami kala itu, ayah dengan gilanya memintaku untuk memperhatikan Yura. Menjaganya. Dan kalau bisa menjadikan perempuan itu sebagai pasanganku. Agar Yura bisa secara resmi menjadi putrinya.

Aku menolak. Bukan karna Yura tidak cantik, tapi aku yang masih bocah itu, sedang merasa cemburu. Cemburu akan perhatian ayahnya yang terbagi tidak rata. Dan aku dalam porsi terkecil.

Sikap dinginku padanya dulu merupakan bentuk protesku akan kasih sayang ayah padanya. Kata-kata bohongku dulu merupakan pembalasan dendam. Yura mungkin tidak tahu, tapi aku pernah mempengaruhi teman-teman sekolah untuk tidak berteman dengannya. Mengatakan kebohongan akan kejelekan Yura.

Aku jahat. Aku tahu.

Tapi aku juga memegang janjiku pada ayah untuk menjaganya. Jadi walaupun teman-teman sekolahku tidak menyukai Yura, aku dengan tegas memberikan peringatan untuk tidak mengganggunya.

Aku bahkan dengan sengaja masuk ke Universitas yang sama dengan Yura. Dan dengan sedikit trik, memasukkan Yura ke kantor tempatku bekerja.

Semua demi menjaganya.

Aku hanya tidak menyangka, wanita ini ... mencintaiku. Bahkan setelah pengabaianku bertahun-tahun, ia dengan tulus mengucap cinta.

"Bos!" aku menggeram, melepas ciuman yang rasanya sudah lama tidak kunikmati. Lalu memandang Willy dengan kekesalan. Tapi tanganku dengan tangkas menarik pinggang istriku mendekat.

Yura, mungkin karna malu, menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku menunduk sebentar, lantas mencium keningnya.

Setelah itu, aku menghela napas. Mendongak pada sekretarisku yang sekarang sudah menyeringai lebar.

"Ada apa?" tanyaku akhirnya.

"Bos segar sekarang. Mungkin karna obatnya sudah disini."

Willy, sekretarisku yang cermat, rasanya ingin sekali kutendang. Tapi aku tidak mau masuk perangkapnya, jadi aku hanya mengangguk singkat, dan melirik kresek di tangan pria itu.

Makanan. Tiba-tiba aku merasa lapar.

Yura yang akhirnya mengangkat kepalanya kemudian bertanya, "Willy sudah makan?" Nadanya lembut, dan aku langsung melotot tidak suka. Tapi perempuan satu ini malah mengabaikanku.

"Belum Ra." Jawab Willy, enggak kalah lembut.

Kurang ajar!

"Ambil 1 kotak, dan makan dimejamu Wil." Perintahku, sebelum si nyonya besar yang baik hati ini, meminta Willy ikut makan bersama kami.

Seriously, aku sedang ingin berdua saja dengan Yura!

Tangan Yura yang sepertinya akan membuka bungkusan makanan kami hanya mengambang di udara. Dia menoleh dan melayangkan tatapan protes.

"Makan sama kita kan bisa. Kenapa Willy harus makan sendiri?"

"Willy lebih suka makan sendiri." Jawabku asal, lalu melemparkan tatapan peringatan kepada Willy. Pria satu ini masih saja tersenyum, tampak menikmati ekspresiku.

"Oh iyakah Wil?"

"Biasanya enggak Ra." Mataku semakin melotot. Sampai sakit rasanya. Yakinlah, aku benar-benar akan memecat laki-laki ini. "Tapi aku juga gak mau makan dengan kalian. Yang ada aku jadi obat nyamuk."

Ah syukurlah dia mengerti.

"Memangnya kami mau ngapain?" istriku masih saja berusaha. Kenapa kamu baik banget sih? "Kita hanya makan kok."

"Yakin Ra? Wajah bos udah mupeng banget loh itu."

FIX. Kupecat kau Wil!!!

.

.

(08 Januari 2020)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang