Bab 3

47.3K 1.4K 61
                                    

Jansen POV

Aku mendengus dalam-dalam. Mungkin sudah beberapa kali, hingga Willy, sekretararisku yang duduk di samping supir menoleh.

"Kenapa?" Tanya Willy.

Aku malas menjawab pertanyaan itu. Karena aku yakin Willy tahu persis jawabannya.

"Silvia?" Benar! Aku mengangguk. Masih malas bersuara. Dan sekretarisku itu seolah mengerti untuk tidak mengganggu dulu.

Aku bosan sebenarnya. Mengharap dan mengemis pada perempuan tidak tau diri itu. Silvia, pacarku sejak jaman kuliah.

Dia cantik, wajahnya bagai malaikat. Tingginya tidak seberapa, tapi itu yang membuatnya menjadi idaman. Silvia pintar memanfaatkan wajah malaikat dan tubuh mungilnya untuk memuaskan ego seorang pria. Ego pria yang ingin merasa dibutuhkan. Ego untuk melindungi.

Tapi dibalik itu, Silvia egois. Wanita ter-egois yang pernah kukenal. Bodohnya aku, tetap percaya dia akan berubah.

Dua tahun sudah aku membujuknya untuk menikah. Sedikitpun tidak ada titik terang. Sampai sekarang ia selalu beralasan belum siap. Belum siap apalagi? Usia kami sudah matang dan aku juga bukan lagi mahasiswa yang ngemis duit pada orangtuanya. Aku punya apartement, dan kalau dia mau rumah, aku masih punya cukup tabungan untuk membeli sebuah rumah.

Dan semalam adalah puncaknya. Aku sudah tidak memiliki kesabaran untuk menghadapi Silvia. Si wanita tidak tahu diri itu minta putus dariku, melalui pesan!

Permintaan putusnya sebenarnya sudah biasa. Selama ini, kalau dia minta putus, berarti dia lagi menginginkan sesuatu, lagi ngambek dan minta dibujuk. Tapi semalam, permasalahan kami lebih besar dari biasa.

Sebelum aku datang ke apartment Yura, aku sudah bertengkar dengan Silvia. Aku cemburu. Aku melihat Silvia sedang berciuman dengan seorang pria di club. Luar biasa!

Oke aku tahu kalau aku lebih biadab! Aku juga bermain dibelakang Silvia. Tidak hanya berciuman, tapi juga melakukan permainan ranjang. Tapi aku tidak melibatkan perasaan, dan kulakukan itu untuk menghukum Yura. Bukankah Silvia membenci wanita itu?

Lagipula aku sudah bertekad akan melempar Yura kalau Silvia mau menikah. Aku tidak akan menduakannya dalam pernikahan kami. Aku sudah berjanji itu! Dan seorang Jansen tidak pernah mengingkari janjinya.

Silvia, bukan hanya sekedar membiarkan laki-laki itu menciumnya, tapi juga menerima pernyataan cinta pria itu. Nathan namanya. Aku mendengar Silvia menyerukan nama itu ketika Nathan akhirnya tersungkur dengan darah di bibir dan hidungnya.

Beruntung si brengsek itu karna aku tidak membunuhnya!

Setelah itu aku pergi begitu saja. Untuk menurunkan emosi. Dan aku teringat pada Yura. Wanita yang bersedia menjadi pelampiasan!

Begitulah akhirnya yang membawaku pada sex keras semalam. Jujur saja, having sex dengan Yura memang mampu meruntuhkan segala macam emosi dalam diriku. Membawaku pada hasrat membara, dan ketika klimaks, aku merasa tenang.

Aku hanya tidak menyangka perempuan egois, Silvia, mengirimkan pesan yang membuat emosiku menjadi berkali-kali lipat. Bahkan ketika aku di tengah permainan.

Kita putus! Aku lebih mecintai Nathan daripada kau! Lamaranmu hanya membuatku muak!!

See? Laki-laki mana yang tidak emosi dikirimkan pesan begitu? Kalau muak, kenapa tidak dari dulu? Perempuan tak tahu diri! Lihat saja, berapa lama dia bertahan di luar sana? Dengan sifat pemborosnya itu? Dan dengan laki-laki pas-pasan itu?

***

Sampai di kantor, aku kembali mendengus. Jujur saja, aku sedang malas. Lagi patah hati ini.

Menggelikan!

Tapi aku juga tidak mungkin mangkir dari tugas. Jelas aku tidak mau kehilangan pekerjaan. Mau dapat duit darimana aku nanti?

Selama perjalanan ke ruangan, aku masih merasakan amarah yang merajalela dalam diriku. Meliar ingin dilampiaskan. Menunggu saat yang tepat untuk meledak.

Seandainya ini bukan di kantor, dan bukan jam kerja, aku tak perlu repot mencari pelampiasan. Tapi ini di kantor, tempat yang mengharapkanku untuk bekerja maksimal, dan meraih profit sebesar-besarnya untuk perusahaan.

Cukup sudah! Aku harus bertahan. Hanya beberapa jam, sugestiku terus dalam pikiran.

Tapi ternyata tidak segampang itu. Emosiku meluap tidak tahu tempat. Membakar siapapun yang kurasa ngeselin. Dalam hati terus merutuk perempuan sialan itu!

Tolong cepat berakhir! Tolong...

Tepat ketika makan siang, aku berencana untuk makan di luar. Bertekad melegakan hati sebentar. Tidak terima amarah ini masih bersarang lebih dari 24 jam. Dia tidak pantas membuatku kesal sedemikian lamanya.

Dan disinilah aku sekarang. Restoran Jepang.

Honestly, aku tidak begitu suka makanan-makanan luar. Lidahku cenderung ke makanan Indonesia. Tapi restoran ini menawarkan suasana yang nyaman. Juga sepi. Dan aku sedang membutuhkannya.

Namun bukannya tenang, emosiku rasanya semakin menggelegar. Yura!

Cih! Bukan Cuma Silvia, sekarang Yura juga berselingkuh?

"Hey, memangnya Yura siapamu?" batinku mengingatkan.

Benar. Yura bukan siapa-siapa. Kalau dia kencan dengan pria lain, bukan urusanku.

Terserah. Tapi harusnya dia bilang dulu kan padaku? Jadi aku tahu untuk berhenti. Aku tidak sebejat itu bakal menahan dia bersamaku kalau seandainya dia mengatakan sedang bersama pria lain.

"Kau yakin?" kembali batinku mengejek. Aku tersenyum miris.

Entahlah.

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang