Bab 8

37.5K 1.4K 19
                                    

Jansen POV

"Kau pucat Jansen." Itu suara Willy, dan rasanya sudah ke-10 kali dia mengatakannya." Willy memang kuminta hanya memanggil nama. Kami seumuran, jadi untuk apa menyebutku pak atau bos? Terkecuali kami sedang berada di depan karyawan dan klien.

"Hmm."

"Kau tidak mau ke dokter dulu?"

"Oh perhatian sekali kau."

Aku tahu aku menyebalkan. Tapi sungguh, aku sedang tidak ingin diceramahi. Cukup Yura yang selalu mengoceh.

Ah Yura... Berapa hari sudah aku mendiamkannya? Oh iya 3 hari.

"Pekerjaan akan banyak tersendat kalau kau sakit." Willy masih mencoba. Sabar sekali dia.

"Aku tidak akan sakit."

"Kau akan sakit!" Sekretarisku ini mulai menggeram, "apa aku perlu memanggil Yura kesini?"

Dan aku langsung mempelototinnya. Untuk apa memanggil Yura? Kalau aku mau, aku juga bisa.

Tapi aku hanya mendesah, menatapnya malas. Dan mungkin sedikit mengalah, "Oke-oke. Aku akan ke dokter nanti."

Willy mengangguk, tapi matanya menunjukkan ketidakyakinan. "Kau lagi ada masalah dengan Yura?"

"Oh, darimana asumsi itu berasal?"

"Kau bekerja gila-gilaan beberapa hari ini."

"Dan bukankah itu hal bagus?"

"Ya, tapi kau juga melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaanmu. Pekerjaan yang biasanya dilakukan bawahanmu. Lalu kau selalu pulang lebih malam. Jadi apa asumsiku salah kalau kau sedang berusaha menghindar dari istrimu di rumah?"

Aku terdiam, tidak ada gunanya menyangkal.

"Jadi apa masalah kalian sekarang?"

"Yura bertanya apa yang akan dilakukannya ketika kami nantinya bercerai."

Hah.. mengingatnya aja masih membuatku marah.

Willy mendelik. "Dan apa jawabanmu?"

"Aku mengatakan kalau aku akan memberinya rumah, mobil, dll. Aku tidak akan menelantarkannya."

Willy melongo sesaat sebelum kembali bertanya pertanyaan bodoh, "Dan Yura marah?"

"Kenapa pula dia yang marah?" aku berseru, "Aku yang marah!"

"Dan kenapa pula kau yang marah?" tanyanya kembali sambil menatapku lekat.

Aku tercekat. Aku ... tidak tahu.

"Kalau aku istrimu, aku akan langsung minta cerai."

Aku menatap Willy. Bingung. Dan seperti mengerti kebingunganku, dia menambah "memberinya harta gono-gini itu wajib. Tapi perkataanmu seolah meremehkannya. Menghina istrimu. Sepanjang yang kuketahui, Yura bukan wanita yang terlalu mempedulikan harta. Dan perlu kau ingat, Yura mempunyai ijazah dan pengalaman bekerja. Dia pasti bisa menghidupi diri sendiri selepas darimu."

"Lalu menurutmu, apa maksud dari pertanyaannya?"

"Mungkin dia hanya sekedar berbasa-basi. Mungkin juga hanya sedang berpikir, lepas dari kau, dia akan kemana kira-kira? Apakah nanti bisa mendapatkan laki-laki la..."

"Keluar!" bentakku langsung. Willy menatapku syok. Hanya sebentar. Dan kemudian menyeringai. Dia tidak membantah, dan melangkah keluar dari ruanganku.

Laki-laki lain hah?

.

.

(02 Januari 2020)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang