Bab 13

34.2K 1.4K 20
                                    


Yura POV

Dia tidak menginginkannya.

Sedari pagi, sejak aku menggendong bayi kecil Erika ke rumah, aku sudah menghayalkan akan reaksi Jansen. Ingin melihat bagaimana lelakiku nanti menggendong bayi.

Dalam hati, turut merapalkan doa.

Semoga Selin yang cantik ini mampu sedikit melelehkan hati suamiku. Semoga setelah melihat dan menggendong Selin, Jansen akhirnya mau menginginkan anak. Dariku!

"Aku tidak ingin punya anak." Katanya tadi sore.

Kenapa? Apa karena aku yang menjadi istrinya? Karena aku bukan Silvia?

Aku menghela napas pelan. Melihat Selin disampingku.

Tidak ada Jansen. Dia kembali tidur di kamar lantai bawah. Takut katanya semalam. Takut tidak sengaja melukai Selin.

Kami memang tidak memiliki tempat tidur bayi. Dan tidak mungkin pula Erika repot-repot membawanya.

Apa Jansen memang bukan jodohku? Lalu kalau bukan, kenapa Tuhan membiarkanku selalu memupuk cinta yang kupunya?

Kenapa Tuhan membiarkanku selalu bertemu Jansen? Kenapa Dia tidak membiarkanku saja bertemu orang lain?

Apa kesabaranku bertahun-tahun tidak dapat memberikanku kesempatan? Apa patah hati akan terus menjadi makananku?

Tapi kemudian aku tersadar. Aku tidak dapat menyalahkan Tuhan.

Aku yang bodoh. Aku yang lemah. Aku yang keras hati. Aku yang ... tidak pernah mau mencoba untuk melupakannya.

###

Pagi hari, ketika aku terbangun keesokan harinya, aku kembali melihat Selin. Bayi cantik ini masih tertidur. Syukurlah.

Aku beranjak berdiri, meletakkan bantal dan selimutku ke sekeliling Selin. Takut dia merayap kemana-mana dan jatuh.

Lalu aku turun kebawah, mengetuk pintu kamar Jansen. Tidak ada jawaban, tapi aku mendengar dering ponselnya dari dalam.

Mungkin dia masih tidur.

Karena tak ada jawaban, akhirnya aku membuka sendiri pintu kamar itu. Ponselnya yang tadi sempat berdering juga telah berhenti.

Jansen masih tidur dengan lelap, tapi entah kenapa wajahnya terlihat lelah. Apa akhir-akhir ini kerjaannya sedang banyak?

Mungkin aku harus membiarkannya tidur setengah jam lagi. Masih cukup waktu sebelum dia bersiap berangkat ke kantor.

Tapi ketika aku hampir menutup pintu kamarnya, ponsel Jansen kembali berdering. Aku berjalan ke arah nakas cepat-cepat, takut Jansen terganggu.

Namun kemudian aku hanya berdiri kaku. Silvia. Si penelepon.

Ini bukan pertama kali aku mendapati nama Silvia di ponsel Jansen. Dulu sudah berkali-kali aku mencuri pandang ke ponsel Jansen dan mendapati nama Silvia yang mengirim chat, atau menelepon.

Tapi ketika kami menikah, nama itu seakan lenyap. Jansen seakan telah mengubur Silvia, baik dari pikiran maupun ponselnya.

Walau aku tau itu tidak mungkin. Silvia tidak akan pernah hilang dari hidup Jansen.

Jadi selama ini mereka masih sering berhubungan ya?

Bagus!

Berarti tidak akan lama lagi aku akan keluar dari rumah ini. Sebentar lagi aku mungkin tidak dibutuhkan.

Aku tersenyum miris, membiarkan ponsel itu tetap berdering, dan keluar.

Tiba-tiba aku merasa tak pantas disana. Tiba-tiba aku merasa asing dengan rumah ini. Tiba-tiba aku merindukan orangtuaku. Tiba-tiba aku merasa ... kosong.

Patah hatiku yang sebenarnya seolah sudah datang. Harapanku yang memang sudah seujung kuku akhirnya musnah. Aku ... terluka.

Rasanya baru kemarin aku mengecap kebahagian. Rasanya baru kemarin aku ... ingin kembali berjuang mendapatkan cintanya.

Tapi apa ini?

Kenapa sesakit ini? Kenapa sesak sekali? Padahal aku hanya melihat wanita itu menelepon ke ponsel Jansen. Aku tidak melihat mereka berciuman. Aku tidak melihat mereka menikah. Tapi kenapa sesakit ini?

Ah,karena aku tahu aku sudah kalah. Aku ... kalah!


.

.

(18 Januari 2020)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang