Jansen POV
Nyaman. Inilah tidur yang kurindukan. Lelap tanpa mimpi, dengan bantal hidup berada dalam dekapan.
Bersama Yura, aku hampir selalu mendapatkan kualitas tidur terbaik. Berapa hari sudah aku tidak mendapatkan tidur seperti ini? Ah iya 3 hari. Selama aksi diam-diaman yang kulakukan.
Bodoh!
Aku yang mendiamkannya, tapi aku juga yang menderita.
Oke cukup jadi pelajaran. Besok-besok kalau aku marah lagi, tidak perlu sampai memisahkan diri untuk tidur. Cukup 3 hari kemarin tiba-tiba aku menderita insomnia.
"Jansen." Aku merasakan Yura menepuk-nepuk pelan pipiku. Aku bergeming. Masih ingin berdiam seperti ini.
Yura mungkin mengerti kalau aku belum ingin beranjak, jadi dia berhenti menepuk pipiku. Tangannya beralih menyentuh seluruh wajahku. Meraba dengan lembut. Keningku, alisku, mataku yang sedang tertutup, pipi, dan bibirku.
Aku menikmati sensasinya. Damai. Membahagiakan.
"Kamu harus bekerja Jansen." Ucap Yura kembali. Menghancurkan kedamaian yang baru 5 menit.
Aku akhirnya menyerah, membuka mataku.
Yura cantik dengan wajah baru bangun tidurnya. Aku tersenyum. Ganti membelai wajahnya. Wanitaku ini tersenyum geli. Matanya berbinar akan cinta. Cantik.
"Ayo bangun. Aku ingin menjemput Erika dan keluarganya dari bandara."
"Mereka datang hari ini?"
"Hm."
Dan begitulah akhirnya kebersamaan kami pagi ini. Aku beranjak, bersiap diri, sarapan, membawa serta bekalku, mendapatkan ciumanku sebelum berangkat, dan menghadapi kembali situasi kantor. Tapi kali ini, hariku lebih ringan.
###
Aku melihat Yura disana. Berbaring miring diatas tempat tidur kami. Ia tersenyum, tampak bahagia, gemas. Tangannya sedang sibuk memegang sebuah benda di udara. Menggoyang-goyangkannya pelan, dan benda itu mengeluarkan suara. Mainan.
Bayi gemuk disampingnya tertawa-tawa lucu. Apa yang perlu ditertawakan dari mainan ribut itu?
Selin. Itu pasti anak Erika.
Melihat mereka, sebuah pertanyaan tiba-tiba merasuk dalam pikiranku. Apa aku bisa memiliki satu seperti Selin?
Aku tidak munafik. Aku ingin anak. Seseorang yang akan memanggilku ayah. Seseorang yang ingin kulindungi, yang membuat semangatku semakin membara dalam bekerja, namun juga seseorang yang mampu membuatku ingin cepat-cepat pulang.
Tapi kemudian aku menggeleng pelan. Miris.
Aku menarik napas panjang, akhirnya beranjak dari tempatku dan berjalan ke arah tempat tidur. Yura yang sadar keberadaanku segera bangkit. Seperti kebiasaan, ia memelukku sebentar. Aku mencium keningnya dan mencoba tersenyum tipis.
Kompak, kami menoleh bersamaan dengan Selin. Masih sadar betul akan keberadaan orang lain. Bayi lucu ini sekarang sudah menggigiti mainan ribut itu.
"Dia sudah mandi?" tanyaku, memecah keheningan yang kami ciptakan.
"Sudah dong." Jawab Yura ceria. Ia mengangkat Selin, "Nih coba gendong." Katanya tiba-tiba.
Aku yang tidak siap refleks mengulurkan tangan. Yura dengan sigap membantu Selin agar berada dalam dekapanku. Sedangkan bayi gemuk ini seperti sama sekali tidak terganggu. Dia anteng-anteng saja. Bahkan masih bisa sibuk menggigiti mainannya.
Sedangkan aku? Kikuk rasanya.
Ini kali pertama aku menggendong balita dibawah usia 5 tahun. Tanganku, tanpa diperintah, mengelus rambut Selin.
Kepalanya kecil sekali, pikirku. Beralih mengelus bibirnya yang penuh liur.
"Kamu sudah cocok punya anak." Yura bersuara.
Aku kembali melihatnya. Yura tersenyum, matanya penuh kelembutan melihat kami. Aku tersenyum tipis, tidak mengeluarkan suara apapun. Lagi-lagi beralih menatap Selin yang kini sudah mengeluarkan suara absurd.
"Kamu ingin punya anak berapa?" Tanya Yura kali ini. Suaranya ceria.
"Aku tidak ingin punya anak." Itu jawabanku. Tidak menoleh melihatnya.
Ada jeda beberapa detik. Aku mendongak untuk melihat reaksi Yura. Senyum tadi telah hilang. Hanya beberapa detik, karna setelahnya dia tertawa.
"Kamu takut ya bakal ada yang mengganggu tidurmu?"
"Enggak tuh."
"Lah terus?"
Aku tidak menjawab, Yura kembali melanjutkan, "Kamu enggak mau apa, ada anak kecil yang lari-larian di rumahmu? Memanggil kamu ayah. Memintamu mengajarinya bermain sepeda. Atau memaksamu untuk menemaninya bermain boneka?"
"Jansen, kamu tidak selamanya muda. Besok kalau kamu mati nih ya, amit-amit, istrimu mungkin sudah terlalu tua atau mungkin sudah pergi duluan, siapa yang bakal ngurusin jenazahmu?"
Aku terdiam. Melihat Yura dalam-dalam. Mengamati reaksinya.
"Milikilah anak. Bila perlu sebanyak yang istrimu nanti bisa berikan. Lalu ... berbahagia."
"Hm."
.
.
(17 Januari 2020)

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me (END)
Roman d'amourEbook sudah tersedia di Google Play Book/Google Play Store. Aku mencintaimu seperti orang sakit jiwa. Memberikan segala yang aku punya. Segalanya tanpa sisa! Sekalipun harga diriku dikecilkan, aku tetap tak kuasa berpaling. Biarpun kau tak pernah me...