Bab 17

34K 1.3K 15
                                    


Jansen Pov

"Aku mencintaimu Jansen." Kata-kata Yura kembali terngiang di benakku.

Itu bukan kali pertama aku mendengar cinta dari bibir Yura. Tapi hari itu adalah pertama kali aku sungguh-sungguh merasa bahagia. Menerima cinta tanpa beban. Padahal aku pun tetap tidak tahu harus jawab apa.

Aku tidak mungkin jawab kalau aku juga mencintainya. Aku tak mau berbohong! Tidak kepada Yura.

Selama ini Yura mencintaiku, tapi tak pernah berusaha dengan terang-terangan. Ia hanya menatapku seperti orang bodoh dari kejauhan.

Lalu dengan sikap brengsekku, aku menawarinya tawaran permainan ranjang. Hanya iseng. Sungguh. Tapi Yura menyetujui.

Aku terkejut. Tapi tak menampik bahwa sebelumnya aku hanya ingin mengerjainya. Lalu melanjutkan permainan.

Jangan dikira, aku tidak menderita melihat kepasrahan Yura. Aku merasa bersalah, kadang-kadang, ketika ia berada dibawahku, melihat matanya penuh pujaan, hatiku ikut merasa sakit. Bagaimana bisa aku mempermainkan perempuan sebaik Yura? Apa salahnya?

Namun setiap kali aku terbangun di sampingnya, atau setiap kali aku selesai dengan permainan kami, aku merasa tidak sanggup untuk melepasnya.

Itulah mungkin yang menyebabkanku mengajaknya menikah tanpa berpikir panjang. Tidak ada penyesalan. Sungguh. Aku bahkan mungkin bisa dikatakan menikmati jalan pernikahan kami.

Kadang ketika pulang dari kantor, aku akan mendapatinya telah tertidur. Tapi aku selalu mencoba mengganggunya dengan berbagai alasan yang kadang aku rancang sebelum memasuki rumah.

Entah memintanya membuatkanku mie instan, padahal sebelumnya aku sudah makan sampai kenyang. Atau menanyainya barang-barang yang sebenarnya aku juga tahu dimana letaknya.

Entahlah, kurasa setiap aku pulang ke rumah, aku butuh melihat dia. Butuh mendengar suaranya.

Namun kurasa perasaaanku hanya sebatas itu. Butuh ia berada di dekatku. Butuh untuk melihat, menyentuh dan mendengarnya.

"Jansen!" aku tersentak, mengembalikan kesadaranku, dan melihat tangan Silvia berada di lenganku.

Aku melepas tangannya, dan melihat ke arah ruangan Adel. Yura sudah masuk kesana. Aku ingin ikut masuk, tapi Yura tadi menahanku. Memintaku untuk mengobrol dengan Silvia dulu.

Aku melihat mata Yura tadi sebelum berlalu. Dan melihat ketulusan disana. Dia bersungguh-sungguh memintaku tetap tinggal disini. Bahkan ketika dia tahu kalau perempuan yang ingin mengajak berbicara ini adalah mantan kekasihku.

Kuhela napasku sebentar, sebelum kembali melihat ke arah Silvia. Kulihat dia memperhatikanku dengan teliti.

"Kamu menikah dengan Yura." Ucapnya pelan.

"Hm.."

"Tapi bagaimana?"

"Apanya?"

"Kenapa kamu menikah dengan Yura? Bagaimana bisa? Sedangkan kamu tidak pernah terlihat menyukainya."

"Bukan urusanmu."

"Jansen.." ucap Silvia geram.

Aku tidak berkomentar. Tidak berniat. Dia tidak berhak lagi mendengar penjelasan apapun. Kami sudah berakhir.

"Oke kamu mungkin masih marah." Katanya kemudian, menyerah melihat kediamanku. "Jansen.. tolong dengarkan aku sekali ini ya. Maaf. Maaf karena kamu harus melihat aku bersama Nathan waktu itu. Maaf kamu harus mendengar kata-kata nyakitin dari aku. Tapi sungguh, aku tidak pernah berniat mengatakannya."

Aku mendengar tangisan lirih. Aku menoleh, dan mendapati Silvia menatapku dengan matanya yang telah memerah. Ada air mata yang tetap dibiarkannya berada di pipi.

Aku menghela napas lagi. "Sudahlah Syl. Lupakan aja. Aku juga sudah gak peduli lagi." Kataku.

"Tidak! Kamu harus dengar kenapa aku selama ini menolak ajakan kamu menikah. Kenapa aku akhirnya menyakitimu dengan Nathan.

Jansen, aku mencintaimu. Tapi ayahmu membenciku."

Aku menatapnya jengkel. "Jangan bawa-bawa ayahku! Kalian belum pernah berjumpa. Ah, lebih tepatnya kamu tidak pernah sudi berjumpa dengannya. Jadi bagaimana mungkin ayahku membenci orang yang tidak pernah dijumpainya."

"Kamu yang selama ini tidak tahu! Aku bahkan sudah berjumpa dengan ayahmu sejak 6 bulan kita pacaran. Dia memintaku menjauhimu. Aku tidak mau. Setahun setelahnya, dia datang lagi. Mengancam dengan memakai nama Nathan. Ya Tuhan, Nathan abang sepupuku Jansen. Saudara yang paling dekat denganku. Dan ayahmu memanfaatkan hal itu.

Kamu tahu apa yang diperbuat oleh ayahmu pada Nathan? Ayahmu ikut campur dengan usaha yang dibangun Nathan. Dia menggagalkan usaha yang sudah dirintis Nathan selama lima tahun.

Kamu tahu bagaimana perasaanku melihatnya? Nathan bukan anak dari keluarga berada. Ia membangun usaha itu dari nol. Dengan sungguh-sungguh agar keluarganya bisa hidup enak. Tapi dalam sekejab dia kehilangan semua yang dia punya. Bahkan dengan hutang menumpuk. Nathan berubah menjadi laki-laki pemabuk. Yang pergi dari satu bar ke bar lain.

Dari situ aku tahu ayahmu sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Dan bodohnya aku masih bertahan. Bertahan di sampingmu. Dan mencoba membantu Nathan sebisaku.

Tapi kemudian ayahmu semakin kejam. Bukan hanya Nathan yang kena, tapi orangtuaku juga terkena batunya. Papaku dipecat dan butik mamaku tak pernah lagi banjir pelanggan. Ada orang yang baru buka butik tidak jauh dari butik mama. Dengan model dan kualitas baju yang sama, tapi harga jauh dibawah. Menurutmu orang gila mana yang akan menjual barangnya dibawah harga modal?"

Aku membatu. Ayah? Benarkah?

Apa yang sebenarnya terjadi, ya Tuhan?


.

.

(31 Januari 2020)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang