Bab 2

63.8K 1.6K 23
                                    


Yura POV

Aku mengenal Jansen sejak SMA, dan mulai menyukainya bahkan dari hari pertama sekolah. Dia tampan. Alasan klise seorang gadis pada umumnya. Jansen memang langsung menarik banyak perhatian perempuan ketika itu. Bahkan kakak kelas.

Senyumnya manis, dan ia tidak pernah pelit untuk membagi senyumnya. Jansen juga cukup pintar. Setidaknya dia selalu berada di peringkat 10 besar umum. Bukan cuma pintar di kelas, pria itu juga jago berkata manis. Buat apa lagi kalau bukan untuk menggaet cewek.

Cewek cantik pastinya. Bukan yang seperti aku.

Dia playboy. Si pria yang suka memacari seorang gadis hanya untuk sebulan. Dan anehnya semua perempuan di sekolahku tampak tidak masalah. Mereka tetap berharap bisa menjadi salah satu mantan cowok itu.

Menggelikan karna aku pun begitu.

Jansen mengenalku. Setidaknya dia akan mengatakan wajahku ini familiar jika bertemu di luar. Karna kami memang pernah bertemu di luar sekolah. Beruntung orangtuaku mengenal ayah pria itu, dan para orangtua mengenalkan kami satu sama lain.

Jansen ramah. Tentu saja. Dia memang ramah pada semua orang. Tapi tetap saja, yang cantiklah yang menjadi pacar.

"Kita satu sekolahkan?" tanyanya waktu itu, ketika kami ditinggal berdua saja. Kepalaku yang sejak tadi tertunduk menatapnya segera, dan memberikan tatapan syok. Cukup terkejut karna dia tahu hal itu.

Jansen sebaliknya, tersenyum geli, "mataku cukup tajam untuk melihat perempuan cantik."

Aku tentu saja semakin heran. Aku tidak pernah merasa cantik. Tapi pipiku tetap saja memerah. Dan aku semakin menyukainya.

Dasar ... remaja bodoh! Baru sedikit dipuji, langsung jatuh cinta. Tapi keesokan hari ketika di sekolah, aku tahu dia berbohong mengatakanku cantik.

Aku kira karna kami sudah saling menyapa di luar, ia akan setidaknya tersenyum tipis ketika bertemu denganku di sekolah. Buat menghargai kenalan bukankah harus begitu?

Tapi Jansen malah menatapku dingin. Tidak pernah ada yang mendapatkan tatapan dingin di sekolah ini dari pria itu.

Bukan hanya Jansen, para perempuan di sekolah juga seolah memusuhi. Mereka tidak merudung terang-terangan, tidak melukai, tapi mereka selalu berbisik ketika melihatku. Dan mata mereka selalu terlihat mengejek.

Aku yang pada dasarnya bukan orang yang pandai bergaul semakin menyendiri setelah itu. Tidak ada yang mau berteman, dan masa SMA adalah neraka.

Kembali aku menghela napas mengingat masa kelam itu. Sejujurnya tidak ada satupun kenangan indah yang kudapatkan dari Jansen. SMA ku buruk, kuliahku apalagi. Dan sekarang, aku kembali terlibat masalah.

"Hahhh..."

"Oi!"

"Nina!!!" seruku pada perempuan yang mengejutkanku dari belakang.

Nina si pelaku, tertawa kencang, "mikirin apa sih, hah? Desahan napas lo kedengeren tau gak sampai ke pintu? Bahaya tau..."

Aku manyun, "bahaya kenapa? Takut aku kesurupan?"

"Bukan! Takut pria disini jadi mikirin desahan yang lain."

Aku hanya tersenyum tipis. Sudah biasa mendengar recehannya ini. Perawan yang sok berpengalaman!

"Tau gak??" Nina sudah mulai dengan ancang-ancang gosipnya.

"Enggak." Tanggapku langsung, hanya ingin buat dia kesal.

Dan ya, Nina memang langsung menyeru, "ih belum juga cerita."

Aku hanya diam, tahu dia yang akan lanjut sendiri. "Pak bos hari ini ngamuk lagi beib."

"Bukannya sudah biasa?"

"Acara marahnya sih biasa ya. Tapi hari ini ngamuknya lain Yur. Biasanya kan pak bos kalau marah selalu jelas alasannya. Entah gak dapat klien, proyek yang banyak masalah, atau ada karyawan yang nyeleneh. Lah ini? Pak bos marah gitu aja. Gak ada sebab. Semua kena damprat. Kesalahan bulan lalu yang sudah selesai aja diungkit lagi."

Aku jadi memikirkan kejadian semalam. Jansen memang sedang marah ketika datang, dan semakin tampak marah ketika kami selesai melakukannya. Tapi aku kira setelah dia pergi menjumpai Silvia, kemarahannya akan surut. Bukankah biasanya begitu? Silvia bagai penenang untuk Jansen.

Iya betul, pak bos yang sedang digosipkan oleh Nina adalah Jansen. Tidak cukup masa SMA dan kuliah, masa berkarirku pun berada di ruang lingkup pria itu. Menyedihkan ketika hidupku hanya berputar di sekitarnya.

Nina masih menggembar-gemborkan kekisruan yang terjadi pada Jansen sepagian ini. Dan aku semakin merasa cemas dengan nasibku nanti malam.

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang