Bab 19

34.1K 1.4K 14
                                    


Jansen POV

Aku pulang ke rumah dengan gelisah. Setelah dua hari ini tidak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaanku.

Kemarin setelah aku mengantar Yura pulang, jujur saja, aku sedang merasa linglung. Kabar Silvia sepenuhnya tidak kusangka.

Aku ingin ke rumah ayah. Menanyainya langsung. Meminta penjelasan. Tapi aku juga kepikiran akan proyekku yang bermasalah, yang kutinggalkan kemarin sebelum benar-benar menyelesaikannya.

Aku berangkat ke kantor. Dan mendapati kabar kalau aku harus turun tangan langsung ke Surabaya. Tidak dapat mewakilinya pada Willy seperti yang kukira sebelumnya.

Willy memesan tiket pesawat sore itu juga. Bergegas dengan koper kecil yang selalu tersedia dalam kantor, kami berangkat.

Salahku yang tidak menghubungi Yura secara langsung. Salahku yang pergi tiba-tiba tanpa pesan.

Hingga keesokan hari, aku menerima pesan dari satpam yang menjaga rumah kami, Yura tidak keluar kamar lagi sejak kuturunkan kemarin di depan rumah.

Aku panik.

Kehilangan fokus.

Willy tampak merasa bersalah, hingga asistenku yang satu itu segera menyelesaikan segala pekerjaan yang memang harus ku handle sendiri.

Tepat hari ini, barulah aku kembali ke rumah. Pak Rendra, satpam rumah, mengatakan kalau Yura akhirnya sempat keluar kamar tadi. Setelah dua hari, pak Rendra mengetuk, memanggil dan membujuk, Yura akhirnya keluar dan makan.

"Nyonya tadi saya lihat pucat tuan. Lemas juga. Mungkin karena tidak makan dari semalam." Lapornya.

Aku mengangguk. Sudah beberapa kali aku menghirup napas dengan berat hati hari ini.

Sesampainya di depan pintu kamar, aku membuka pintu dengan kunci cadangan yang ku punya. Aku mendapatinya sedang berbaring gelisah di atas tempat tidur.

Dengan bergegas aku mendekat. Menyentuh dahinya. Panas.

Ya Tuhan..

Aku melihat kaos yang dikenakannya juga telah basah. Mungkin karena keringat. Cepat-cepat aku membuka lemari pakaiannya, dan menyambar kaos lain. Lalu menggangkat sedikit badan Yura, hingga ia membuka matanya.

"Jansen?" gumamnya dengan suara serak.

Aku berhenti sebentar. Menatapnya sedih "Kamu sakit,"

Ia tak mengatakan apapun lagi. Hanya menatapku, lalu menarik tanganku hingga aku terjatuh dan menindihnya.

Tatapannya lebih dalam kali ini. Penuh sayang. Sedikit binar ada pada kedua mata bulat miliknya.

"Aku menginginkanmu," katanya, "Aku menginginkanmu Jansen."

"Tapi kamu sakit."

"Aku tak apa." Jawabnya, sebelum kemudian mencium bibirku.

Aku merasakan bibirnya di bibirku lembut. Tangannya bergerilya menyentuh dadaku. Ia membuka kancing kemejaku dan membuangnya begitu saja di lantai. Setelah itu menyusul celana kain yang kukenakan.

Aku melepaskan ciuman kami dan beralih ke lehernya. Dia berkeringat, tapi aku merasakan gairah yang semakin besar.

Tanganku pun tak tinggal diam. Aku membuka kaos dan branya yang masih melekat dan membuangnya entah kemana. Tubuhnya merespon setiap sentuhanku. Erangan keluar dari bibirnya.

Badannya benar-benar hangat. Aku ingin berhenti, tapi setiap kali aku berusaha lepas, Yura langsung mengambil alih. Menyentuhku leluasa. Lebih buas dari biasa. Membuatku menggila.

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang