Yura POV
Hari sudah malam ketika aku sampai di rumah. Pukul sepuluh malam dan rumah masih kosong.
Jansen belum pulang.
Tiga hari ini aku telah berpikir banyak. Akan permasalahan Jansen, Silvia dan aku.
Aku bahkan sempat mampir ke rumah ayah Josh tadi pagi. Ayah Josh kelihatan bahagia ketika tadi bertemu denganku. Membuatku merasa bersalah karena tidak sering-sering berkunjung.
Aku juga menanyai permasalahan itu. Memastikan segala dugaan.
Ya Tuhan.. benar.
Ayah melakukannya.
Dengan tenang ayah berkata jujur kalau beliau ikut turun tangan memisahkan Silvia dan Jansen.
"Dia bukan perempuan baik." Kata ayah sebagai alasan, "Perempuan itu tidak pantas bersama anak ayah. Ayah hanya mencoba membantu Jansen yang tolol itu lepas sebelum semuanya semakin fatal."
"Tapi dia perempuan pilihan Jansen ayah. Tidak seharusnya ayah melakukan hal itu." Jawabku pula tadi. Berusaha menahan genangan air mata.
Tidak boleh. Aku tidak boleh menangis di depan ayah. Atau ayah akan semakin keras.
"Lalu kamu bagaimana sayang? Ayah enggak sanggup lihat kamu selalu bersedih karena anak itu."
"Yura gak apa-apa kok. Yura sudah cukup senang. Apalagi selama menikah. Tapi Yura gak bisa yah. Yura gak yakin bisa bertahan lagi setelah ini. Enggak seharusnya Yura menikah dengan Jansen. Bukan Yura yang harusnya bersama Jansen sekarang. Bukan Yura.
Jadi Yura mohon yah. Biarkan Jansen memilih sendiri pasangannya. Jangan begitu lagi. Apalagi sampai merusak hidup orang lain."
"Kamu yakin? Kamu yakin sanggup melihat mereka nantinya bersama lagi?"
Tidak!
Aku tidak sanggup.
Tidak akan sanggup lebih tepatnya.
Ah, bukan berarti aku tak mau mereka kembali bersama, hanya saja... Atau mungkin memang begitu? Aku memang tak pernah rela melihat kedekatan mereka kan?
Tapi aku tak punya pilihan. Benar, kan?
Benar.
Aku tak punya pilihan.
Kecuali Jansen sendiri yang akhirnya tetap memilihku.
Tapi apa mungkin?
Rasanya tidak mungkin.
Tidak apa-apa.
Jika perpisahan kali ini adalah perpisahan untuk selamanya, tak apa. Aku sudah punya cukup kenangan indah bersamanya. Cinta pertamaku.
Aku akan meletakkan kenangan kami di tempat paling depan dalam hatiku. Berjejer dengan rapi, mulai dari masa sekolahku, masa berkarier hingga masa pernikahanku bersamanya.
Dan kalau Tuhan berbelas kasih, mungkin aku akan dapat menemukan kenangan lain. Kenangan indah. Tidak harus bersamanya. Mungkin bersama orang lain yang memang ditakdirkan untukku. Semoga.
Semoga...
Kulirik lagi jam dinding, sudah pukul sebelas lewat, dan Jansen masih belum pulang.
Ada apa?
Apa ada masalah lagi dengan proyek yang kemarin dikerjakannya?
Tiba-tiba, aku menjadi sangat khawatir.
Jansen terlalu memforsir tenaganya akhir-akhir ini.
Tapi kemudian kudengar pintu kamar terbuka. Jansen muncul di pintu. Ia terdiam disana, menatapku beberapa saat.
Aku tersenyum kecil. Memperhatikan bayangan gelap yang muncul di sekeliling matanya. Wajahnya tampak lelah.
Tak lama kemudian dia naik ke atas ranjang. Menyempatkan untuk membuka jasnya. Lalu ia menenggelamkan wajahnya ke perutku.
Aku tersenyum geli, lalu membawa tangan kananku membelai lembut rambutnya.
Tak ada perbincangan. Kami hanya diam dan menikmati malam dengan damai. Seperti ini saja aku sudah sangat bersyukur.
"Jansen," panggilku.
"Hmm?"
"Kamu baik-baik aja kan?"
Jansen mengangkat wajahnya. Dia menatapku lama tanpa menjawab apa-apa, hanya dahinya yang berkerut. Ekspresinya seperti menyiratkan sesuatu. Entah apa.
"Hm."
.
.
(13 Februari 2020)
Bab 22 sampai selesai sudah dihapus. Bila masih mau baca, silahkan ke google play store/google play book. Terimakasih 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Me (END)
Storie d'amoreEbook sudah tersedia di Google Play Book/Google Play Store. Aku mencintaimu seperti orang sakit jiwa. Memberikan segala yang aku punya. Segalanya tanpa sisa! Sekalipun harga diriku dikecilkan, aku tetap tak kuasa berpaling. Biarpun kau tak pernah me...