Bab 15

35K 1.3K 13
                                    



Yura POV

"Sudah bangun?" kutolehkan kepalaku cepat-cepat. Sedikit terkejut. Jansen bersedekap di atas kursi rias milikku. Wajahnya tampak datar, tapi aku tahu dimatanya ada sedikit api. Pertanda bahaya.

"Jansen?" kulirik sekeliling sebentar, "aku di rumah?"

"Hm. Kenapa nginap di kost Nina?" tanyanya. Masih bertahan dengan wajah datarnya.

"Aku.. hm.."

"Kenapa?" ada penekanan di suaranya.

"Sepi. Jadi aku ke kost-an Nina. Baru 1 hari kok. 2 hari sebelumnya aku di rumah." Jawabku cepat-cepat.

"Kenapa gak bilang dulu?"

"Kenapa aku harus bilang?"

"Kenapa??!" Jansen menggeram.

Aku tersenyum tipis. "Iya-iya maaf gak bilang-bilang dulu."

Jansen menarik napas panjang. Aku tahu dia sedang menahan amarah. Tapi aku juga tidak sedang berniat menjelaskan lebih panjang. Atau menghampirinya dan membujuk seperti biasa.

Aku sedang lelah. Sangat lelah. Padahal aku baru bangun. Entah kenapa. Mungkin karena pikiranku yang tak pernah tenang setelah pagi itu. Mungkin karena... entahlah.

Jansen mendekat perlahan. Matanya menatap lebih serius dari sebelumnya. Aku tergagap tiba-tiba, "ke-kenapa?"

"Kamu enggak lagi selingkuh kan?"

Hah!

Bukannya dia yang selingkuh?

Aku melengos. Menurunkan kaki, dan hendak beranjak, sebelum Jansen kembali mendorongku ke atas ranjang kami. Ia ikut berbaring disampingku.

"Mau kemana? Aku belum selesai." Katanya.

"Apa lagi? Aku mau mandi."

"Aku kangen." Katanya lirih. Hampir tidak kedengaran. Aku menatap matanya. Lebih lembut kali ini. Ada sedikit perasaan senang dalam dada.

Itulah yang mungkin membuat tanganku tanpa sadar mengelus rambutnya. "Gimana proyek kamu?"

"Baik-baik saja." Jawabnya. Ia membenamkan kepalanya ke dadaku. Aku yakin dia sedang mendengarkan detak jantungku yang sedang menggila saat ini. Tapi Jansen tak berkomentar lebih.

"Hei ayo bangun."

"Sebentar." Sungut Jansen, semakin membenamkan kepalanya dalam dadaku. "Aku menginginkanmu." Sambungnya kemudian, mulai meraba pantatku.

Aku merinding, tapi mulai melenguh ketika ia membuka kancing piyama yang ku kenakan, dan membuang bajuku di lantai. Setelah itu Jansen memanjakan payudaraku dengan remasan lembut. Bibirnya mengikuti.

Tapi aku merangkum wajah Jansen dengan kedua tanganku. Memaksa matanya menatapku.

"Aku mencintaimu Jansen." bisikku sepenuh hati.

Mendengar itu kulihat matanya berbinar senang. Aku jarang mengucapkannya, tapi aku tahu dengan jelas bahwa ia mengerti akan segala yang kukatakan adalah serius.

Jansen menciumku lembut. Penuh perasaan. Mengecap setiap sudut bibirku dengan lidahnya. Aku melingkarkan tanganku ke lehernya, bermaksud memperdalam ciuman kami. Dan mendapati lagi-lagi, pernyataan cintaku berjalan satu arah.

***

Aku memandangi wajah pria yang tengah berbaring di sampingku, di bawah sinar matahari yang mengintip dari balik jendela kamar kami.

Astaga!!

Sudah sangat siang. Dan Jansen masih tidur!

"Jansen." Panggilku, menggoyangkan badannya pelan, "Jansen.."

"Hm.."

"Hei.. sudah jam.. 10. Kamu gak berkerja?"

"Enggak." Jawabnya serak. Matanya masih tertutup, sepertinya dia benar-benar masih mengantuk.

Aku menghela napas, dan memutuskan untuk tidak mengganggunya lagi. Lalu beranjak mandi dan membuat sarapan.

Ketika akhirnya sarapan yang ku buat telah siap, aku kembali ke kamar. Mencoba untuk membangunkan Jansen lagi.

"Del, kapan jadwal istriku kb?"

Ketika baru saja sedikit pintu terbuka, aku mematung. Itu suara Jansen, dan sepertinya dia sedang bertelepon dengan dokter Adel, dokter yang biasa menangani aku ketika harus kb, dan juga salah satu teman dekat Jansen ketika kuliah.

"Enggak. Aku tetap dengan keputusanku buat gak punya anak." Katanya lagi. Aku menghela napas pelan.

"Adel dengar! Ini gak ada urusannya dengan Silvia. Kamu orang yang paling tau kenapa."

"Ya sudah. Jam 3 nanti aku kesana sama Yura."

Aku tetap saja bergeming. Sampai Jansen akhirnya menyadari ada pendengar lain disana.

"Kenapa?" tanya Jansen. Wajahnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Boleh aku ganti dokter?" tanyaku lirih.

Jansen terdiam, memandang wajahku serius. Ada sedikit kernyitan di dahinya.

"Kamu gak nyaman dengan Adel?"

"Bukan gak nyaman. Tapi.. aku.. cuma ingin..."

"Oke, tapi harus perempuan." Jansen menyela. "Hari ini kita tetap ke tempat Adel. Setelahnya terserah kamu mau dimana."

Aku mengangguk kuat. Cukup terkejut dengan entengnya Jansen menyetujui.

Dokter Adel sebenarnya cukup baik. Dia juga ramah, dan memperlakukanku dengan perhatian. Tapi aku merasa seperti dikekang. Dipermalukan dengan sengaja. Dari awal, dan bodohnya aku tidak pernah punya keberanian untuk mengutarakan keberatanku akan hal ini pada Jansen.

Dokter Adel itu bukan hanya teman Jansen, tapi juga teman Silvia. Bisa dibayangkan kalau permasalahan Jansen yang tidak ingin punya anak denganku sampai kedengaran ke telinga wanita itu.

Ya walaupun aku tahu bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan membicarakan keadaan pasiennya pada orang lain. Tapi siapa yang tahu..


.

.

(25 Januari 2020)

Love Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang