17 | Menerima

308 21 2
                                    

Semua hal di dunia ini dimulai dari saling menerima.
-Belva Aurelia-

Pagi ini Belva benar-benar sudah membawa mobil lagi. Dia berangkat lebih pagi dari biasanya, entah apa sebabnya. Semenjak Belva menyukai Vano, Belva lebih sering berangkat pagi. Mungkin karena dia bisa melihat wajah tampan calon pacarnya yang tidak pernah menanggapinya.

Saat Belva baru saja tiba di sekolahnya, dengan tidak sengaja dia melihat sosok orang yang langsung membuat moodnya membaik.

Belva langsung menghampiri orang itu yang sedang berjalan bersama ketiga temannya. Siapa lagi kalau bukan Vano.

Cowok yang selalu bersikap ketus terhadap Belva. Cowok yang sudah membuat Belva seperti ingin terbang saat Belva berada di dekatnya. Cowok yang selalu membuat jantung Belva serasa ingin berhenti berdetak saat mereka sedang bersama.

Sesaat sebelum Belva memanggil Vano dari belakang, seseorang telah lebih dulu memanggilnya. Perusuh sekaligus pengganggu hidupnya.

"Rel!"

Aurel, adalah nama panggilan Sean kepada Belva. Sean tidak pernah memanggil Belva seperti orang lain pada umumnya. Entah mengapa dan apa sebabnya Belva juga tidak tahu. Namun, Belva sudah terbiasa dengan panggilan 'Aurel' itu.

Bukannya berbalik Belva justru melanjutkan langkahnya. Dia tidak ingin melihat wajah orang setengah waras itu. Belva sudah sangat muak dengan semua yang dilakukan Sean terhadapnya.

"Aurel, tunggu!"

Sean berhasil meraih tangan Belva. Dia kemudian menahan Belva untuk tidak pergi sebelum dia selesai bicara. "Kenapa lo masih nolak gue?"

"Karena gue emang gak mau balikan lagi sama lo. Lebih baik gue cari lagi dari pada gue harus ditemuin sama cowok macam lo!"

"Jangan ngalangin jalan gue. Gue mau ke kelas." Ucap Belva setelah melepaskan tangan Sean. Setelah itu Belva berlalu dari hadapan Sean.

***

Setelah berhasil menghindar dari Sean, Belva ingat tujuan awalnya. Dengan langkah yang dipercepat Belva berusaha mengejar Vano. "Van!"

"Disamperin doi tuh," Rendy menyenggol lengan Vano yang masih diam mengabaikan Belva. Ketiganya berhenti ketika Belva langsung menghalau jalan Vano.

"Ren, temen lo masih sehat kan?" tanya Belva saat.

Rendy mengernyit, dia bingung dengan maksud pertanyaan Belva. Padahal Belva tadi memanggil Vano dan sekarang malah menanyainya. "Kenapa emang?"

"Kok nggak jawab pas gue panggil."

"Kenapa?" Tanya Vano datar.

"Nanti ke kantin ya! Harus dateng, jangan sampe enggak."

Sebelum Belva pergi meninggalkan empat serangkai itu, Belva menyempatkan untuk mengacak rambut hitam Vano. Dengan kesigapannya Vano segera menahan tangan Belva. Namun, Belva memanfaatkan salah satu tangannya untuk melanjutkan niat awalnya.

Sepersekian detik setelahnya, Belva langsung lari menuju kelasnya. Untung saja genggaman Vano tidak begitu kuat hingga Belva bisa dengan mudah melepaskannya. Ketika jaraknya sudah jauh dari Vano, Belva berhenti dan membalikan tubuhnya menatap Vano. Dia menjulurkan lidahnya sambil tertawa puas.

"Gila!!! Sama yang kayak gitu masih nggak mau." Celetuk David sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatap kepergian Belva.

"Iya. Daripada sia-sia, mending buat gue." Timpal Andre.

Vano masih memasang tampang datarnya. Satu tangannya dia masukkan ke saku celananya dan yang satunya tergerak untuk membenahi tatanan rambutnya yang telah dirusak oleh Belva. Vano kemudian berjalan mendahului ketiga temannya tanpa mengatakan apapun.

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang