41 | Jam Besuk

262 16 0
                                    

Ini hidupku. Semuanya berubah semenjak kamu hadir. Tak ku tahu tujuanmu, namun ku yakin dengan mu.
-Belva Aurelia-

"Ya, Van, ya? Mau ya?"

Sejak beberapa waktu yang lalu Belva sudah berkali-kali membujuk seseorang yang ada di seberang telepon ini. Sulit sekali membujuknya sampai kata 'Iya' terucap. Memanglah Belva harus memiliki kesabaran ekstra saat harus beradu kata dengan cowok ini.

"Enggak."

"Ah elah. Nggak bakal lama kok ini. Bentar doang, kok. Ya?" Belva semakin memohon kepada Vano agar mau ikut dengannya. Dia sudah mendramatisasi suara memelasnya agar Vano bisa terbujuk dengan itu.

"Mau kemana sih?"

Belva yang semula duduk di sofa kini beralih berdiri. "Pokoknya ikut aja, ya. Plisss...."

"Mau kan ya?"

"Enggak."

Tetap. Nada penolakan tetap Vano ucapkan. Vano tidak ingin merepotkan dirinya sepagi ini. Bahkan dengan mengangkat telepon dari Belva saja sudah seperti menimbulkan efek kekacauan yang akan menimpanya.

"Kok enggak sih? Mau ya?" Rengeknya lagi. Dan tak henti-hentinya dia merengek kepada Vano. "Mau kan?"

Pertanyaan kedua masih tidak ada jawaban dari seberang. Hanya suara gemerisik yang terdengar di telinganya sekarang. Belva duga jika Vano sedang melakukan sesuatu sekarang.

"Mau kan ya?" Hingga pertanyaan ketiga membuat Vano berdeham sebagai pernyataan ungkapan kata 'iya'. "Hmmm."

Mata Belva membulat seketika. "Gitu dong. Janji nggak lama nanti. Oke?"

"Hmm."

Jelas saja, Belva sangat bahagia setelah mendengar jawaban Vano. Dia langsung bergegas pergi tanpa babibu. Tak butuh waktu lama bagi Belva untuk langsung turun dan berjalan menuju garasi mobilnya. "Kamu kok buru-buru mau kemana sepagi ini?"

Belva sangat tidak suka dengan orang ini, apalagi dengan sifatnya yang sok akrab, sok baik, sok suci, dan segala kata yang mengikuti kata sok adalah miliknya.

"Mau tau aja urusan orang?" Cibirnya.

"Ini kan hari libur, kamu kok mau keluar?"

Belva berdecak. "Itu kan urusan gue, kenapa situ yang repot mau ikut campur?"

"Mama kan tadi tanya ke kamu."

"Gue mau cabut." Lalu segera bergegas keluar tanpa ingin mendengar segala pertanyaan yang Kirana ucapkan lagi.

***

Belva menyenggol lengan Vano. "Van!"

Keduanya sudah berada di luar mobil. Vano sempat mengeryitkan dahinya melihat tempat di mana mereka berada. "Belum pernah kan kesini?"

"Udah."

"Loh ngapain?"

"Sekarang ini ngapain?" Tanyanya balik pada Belva.

"Gue ada sesuatu."

"Lo mau syuting film horor disini?" Sontak saja, pertanyaan gila yang Vano ucapkan mampu membuat Belva hanya mendengus sebal. "Ikut aja."

Belva berjalan di depan Vano menuju ke sebuah nisan seseorang. Kemudian berjongkok disana. Sedangkan Vano masih berdiri tak jauh dari tempatnya berjongkok.

"Ngapain disitu? Sini!" Ajak Belva kepada Vano yang masih berdiri. Melambaikan tangannya agar Vano ikut berjongkok di sampingnya.

"Ma, ini yang Belva bilang tadi pagi. Belva sengaja nggak bawa apa-apa karena tujuan Belva cuma satu doang."

***

"Jadi ini?" Belva menoleh kepada Vano yang masih fokus menyetir.

Vano masih diam setelah beberapa saat mereka kembali ke mobil. Entah memikirkan apa, Belva tidak mempermasalahkan hal itu, karena memang Vano biasa melakukan ini.

"Apa?"

Baru kemudian menyadari maksud perkataan Vano. "Gue belum pernah cerita ya?" Tebaknya.

Vano hanya menggeleng sebagai jawabannya terhadap pertanyaan Belva tadi. Dia baru saja menyadari sesuatu yang tak pernah dia sangka seperti ini.

"Nyokap gue itu orangnya cantik banget, ya sebelas dua belas lah sama gue-"

Vano langsung menghentikan perkataan Belva. "Bukan itu."

"Becanda. Tapi emang bener kok." Kemudian terkekeh.

Belva menyiapkan suara sebelum mulai berbicara. Lalu, barulah dia berbicara kepada Vano. "Jadi, gini, Almarhum Nyokap gue itu meninggal pas gue baru umur enam tahunan. Jadi gue masih kecil banget. Lama banget ya itu, tapi gue masih inget jelas gimana Nyokap meninggal di hadapan gue."

"Gue pernah cerita ini sama Tante Marissa, tapi cuma sekilas bukan cerita utuh."

Belva kembali menghadap ke depan. "Ya, gitu deh pokoknya."

Tanpa ditanyai Belva bercerita kepada Vano. Baginya, Vano merupakan pendengar yang baik untuknya. Vano memang tidak pernah menanggapi lebih apa yang Belva ceritakan. Namun, Belva tahu jika Vano masih menyimak keseluruhan dari ceritanya. "Gue itu orangnya iri-an sama orang yang punya keluarga utuh, kayak semisalnya lo."

"Tapi sih, gue sekarang bisa ngerasa beruntung karena bisa ketemu sama Nyokap lo. Secara sifat, Nyokap lo itu mirip sama Almarhum Nyokap gue."

Belva melirik Vano dari ekor matanya. "Lo nggak tidur kan?" Kemudian sepenuhnya menghadap ke samping.

"Lo pikir? Kalo gue tidur udah pasti nggak jalan nih mobil."

Belva terkekeh. "Ih, gitu aja sewot."

***

Happy reading 💙
Stay safe semuanyaa

30 Maret 2020

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang