16 | Gangguan

316 22 3
                                    

Datangnya tak diduga dan tak diinginkan. Itu, ya dia.
-Belva Aurelia-

"Bel!"

Belva tetap meneruskan langkahnya ketika seseorang memanggilnya. Belva mendengus sebal saat mendengar suara orang itu lagi.

Mengapa hidupnya menjadi tidak tenang semenjak Sean datang lagi? Belva sangat muak, dalam sehari ini dia seperti tidak diberi waktu untuk bebas dari gangguan monster itu.

Sean langsung menarik tangan Belva. Sean sengaja membawa Belva ke depan gudang karena disini dia bisa berbicara dengan Belva tanpa ada yang menganggu mereka.

"Jangan pernah ngehindar dari gue!"

"Kenapa sih lo tetep ngotot minta balikan?"

"Karena gue emang nggak mau putus sama lo." Sean mencekal tangan Belva begitu kencang hingga membuat Belva merintih kesakitan, "Sean! Sakit tau nggak!"

"Gue nggak akan lepasin lo sebelum lo mau balikan sama gue."

Cengkraman di tangannya semakin menguat. Belva ingin menangis sekarang. "Lebih baik gue mati daripada harus balikan sama lo."

Belva tiba-tiba menggigit tangan Sean yang mencengkeram tangannya. Karena gigitan Belva yang begitu kuat membuat Sean melepaskan tangan Belva.

Setelah dia terlepas dari Sean, Belva langsung lari. Saat di persimpangan jalan, Belva tidak sengaja menubruk dada seseorang.

"Aduuhh...!!!" Pekik Belva.

"Bisa jalan yang bener gak sih?"

"Maaf banget, aduh, gue gak bisa lama-lama." Ucap Belva sambil mencubit pipi Vano.

Setelah itu Belva langsung pergi dari hadapan Vano. Tak lama setelah Belva pergi, seorang laki-laki keluar dari lorong yang sama dengan Belva tadi. Vano sempat bingung, namun dia tak memikirkan lebih hal itu.

***

Sepulang sekolah, Belva langsung menuju ke tempat yang lain. Bukannya pulang, Belva justru mendatangi tempat ini. Tempat yang sudah beberapa waktu lalu dia kunjungi.

"Ngapain?"

Belva terkesiap. Kemudian menoleh ke belakang. Belva berusaha mengatur detak jantungnya yang hampir saja loncat dari tempatnya. "Mau nonton lo latihan."

"Pulang!"

"Kok ngusir? Gue kan cuma pengen nonton."

Vano berjalan mendahului Belva. Dan Belva hanya mengikuti Vano dari belakang. Akhirnya, apa yang dia inginkan kini bisa dia lakukan. Menonton tim futsal kebanggaannya atau lebih tepatnya menonton Vano berlatih futsal.

"Wuihhh! Belva!" Pekik David yang melihat Belva di belakang Vano. Belva tersenyum menanggapi David.

"Jadi semangat main, kalo ditontonin cewek lo." Ucap David sambil merangkul bahu Vano.

"Bukan cewek gue."

"Calon kan?" goda Belva.

Vano lebih memilih untuk berlalu dan menyuruh teman-temannya untuk segera memulai latihan. Belva hanya tersenyum menatap Vano yang sangat terlihat malas bertemu dengannya. Belva sudah biasa dengan sikap Vano yang seperti ini. Dan dia sangat yakin jika suatu saat Vano pasti bisa menerimanya.

***

"Van, ikut pulang ya?" Belva mengikuti Vano hingga keduanya sampai di parkiran. Disana sudah ada Rendy, Andre, dan David.

"Gak."

"Pelit deh. Lo kan bawa mobil."

Vano menoleh ke arah Belva. "Lo tadi naik apa?" tanyanya datar.

"Naik taksi."

"Ya udah, balik naik taksi," ucap Vano enteng.

Tidak habis pikir, enteng sekali Vano memutuskan agar Belva pulang sendiri. Belva mengerucutkan bibirnya, dia kesal. Tapi sekesal apapun Belva kepada Vano, dia tidak akan bisa mendiami Vano. Apalagi sampai marah kepada Vano.

"Ih, Van kok gitu."

Belva menatap Rendy, Andre, dan David. Kemudian menatap Vano lagi. "Temen lo aja boleh, kok gue nggak boleh?"

"Karena mereka temen gue."

"Lo tega apa nyuruh gue pulang sendiri." Rengek Belva.

"Van!"

Vano menggeser tubuh Belva. "Minggir!"

"Van, ikut ya?"

"Repot banget! Ya udah cepet naik." Putus Vano kemudian.

Gue tau lo nggak akan tega ninggalin gue. Batin Belva sambil berusaha menyembunyikan senyumannya.

***

Belva sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa kemudian mengambil ponselnya. Mencari kontak seseorang disana. Vano. Belva ingin mengirimkan pesan untuk Vano.

Belva selalu suka ini. Mencoba masuk ke dalam hidup Vano adalah tujuan utamanya. Seketus apapun Vano menanggapinya justru akan membuat Belva semakin gencar mendekatinya.

Setiap dia memikirkan Vano rasanya semua beban dalam hidupnya hilang seketika. Vano seakan telah meracuni pikiran Belva dengan segala hal yang menyangkutnya.

Belva tersenyum sendiri sambil mengetikkan sesuatu disana.

Belva Aurelia
Malem, Mas. Kangen nggak sama cewek lo yang cantik ini?

Belva melepaskan tawanya ke udara. Tak lama setelahnya terdengar suara getaran ponsel. Dia segera melihatnya. Belva kira Vano yang membalas pesannya, namun dugaannya salah itu hanya pesan masuk dari Rara.

Rara Althea
Bel, gue gabut nih--,

Belva kemudian membalas pesan Rara namun dengan perasaan kesal bercampur kecewa.

Belva Aurelia
Gue kira Vano, lo kenapa tumben chat gue?

Rara Althea
Cieeee... Yang nungguin balesan doi

Rara Althea
Gue cuma ngetes lo masih di bumi apa nggak

Belva lebih memilih mengabaikan pesan Rara yang sama sekali tidak penting. Belva kembali membuka history chat-nya dengan Vano. Terlihat disana pesan terakhir yang dia kirim sudah dibaca oleh sang penerima.

Belva Aurelia
Pasti kangen kan? Ngaku aja kalo kangen. Oh iya, besok gue udah bawa mobil sendiri kok. Jadi lo nggak usah repot-repot nganterin gue...

Belva Aurelia
Gue tau, lo sekarang puas kan? Karna gue nggak ganggu lo. Gak papa, kok. Gue kan masih bisa ganggu lo langsung, besok

Belva masih saja mengirimkan pesannya untuk Vano. Dia tidak memedulikan Vano akan marah atau bagaimana. Dia akan terus mengirimi Vano pesan walaupun Vano jarang sekali membalasnya.

Belva Aurelia
Udah malem, tidur ya Van. Jangan begadang. Nanti sakit..

Belva Aurelia
Jangan lupa mimpiin cewek lo yang cantik ini. Good night;)))

***

Pendek deh kayaknya🧐
Ah, nggak papa💢

18 November 2019

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang