Pada akhirnya semua yang sempat pergi harus kembali.
-Belva Aurelia-Hari ini Belva sudah kembali menjalankan aktifitas seperti semula. Dia sudah diperbolehkan untuk pulang dan bersekolah lagi. Belva juga sudah kembali pada rutinitasnya untuk mengusili Vano.
Di jam istirahat Belva tidak sengaja berpapasan dengan Vano dan ketiga teman-temannya itu. Hingga akhirnya Belva memilih untuk mengikuti Vano sampai di kantin.
“Van, nanti gue pulangnya bareng ya?”
“Gak.”
“Gue tadi dianter sopir. Emangnya lo mau kalo gue pulangnya jalan kaki?” Ucap Belva memasang wajah memelasnya. Agar Vano mau untuk mengantarnya pulang nanti.
“Bodo amat. Emang gue sopir lo?”
“Nggak gitu. Boleh ya, Van?”
“Jangan banyak ngomong. Makan!” Bukannya menanggapi rengekan Belva, Vano malah menggeser semangkuk bakso yang baru saja datang untuk Belva.
“Tapi pulangnya nebeng. Ya? Boleh ya?”
Vano hanya diam. Mencoba menulikan pendengarannya dari rengekan yang terus Belva tuturkan. Vano tidak ingin mendengarkan lagi rengekan cewek yang ada di sampingnya itu.
Dan pengabaian Vano mampu membuat Belva diam dengan sendirinya. Karena Belva merasa jika permohonannya tidak bisa membuat seorang Vano merubah pendiriannya.
***
Selepas bel pertanda pulang berbunyi, dengan langkah tergesa-gesa Belva keluar dari kelas menuju tempat parkir untuk menemui Vano. Belva sempat menabrak salah seorang murid yang telah menghalangi jalannya. Belva juga meminta maaf atas ketidak hati-hatiannya.
Sesampainya di tempat parkir dia segera menahan Vano sebelum cowok itu meninggalkannya. “Van!” Panggil Belva.
“Pulang sama Rara! Gue ada urusan.” Titah cowok itu berusaha menggeser tubuh Belva yang menghalangi motornya untuk lewat.
“Ikut.” Ucapnya sambil bergelayut manja di lengan Vano. Belva berusaha untuk semakin membuat Vano tidak tega untuk meninggalkannya begitu saja. Belva tidak lagi memedulikan pandangan dari beberapa siswa yang melihatnya.
“Lo baru sakit. Langsung pulang! Istirahat!” Ucap Vano begitu tegas kepada si keras kepala Belva yang masih saja memaksanya untuk mengantarkan pulang.
“Van!” Rengek Belva.
“Pastiin dia pulang ke rumah, jangan nurutin kalo minta aneh-aneh!” Tegas Vano pada Rara yang sudah berada di belakang Belva.
“I-iya.” Rara mengangguk.
“Van!” Panggil Belva lagi dengan masih berpegangan pada setang motor Vano. Belva malah berdiri dengan kedua kakinya berada diantara ban motor Vano.
Vano tidak lagi mengindahkan ucapan Belva. Dia menarik Belva untuk pergi dari hadapannya. Kemudian Vano memilih untuk langsung pergi meninggalkan drama Belva hari ini karena masih ada banyak tugas yang harus segera dia selesaikan.
“Udahlah, Bel. Turutin aja perintah Vano. Lagian itu juga buat lo kan?”
“Tau lah.”
Belva langsung masuk ke mobil Rara. Dia kesal bukan main dengan Rara yang malah mendukung Vano. Belva kesal dengan semua orang yang tidak bisa mengerti keinginannya sedikitpun. Semua orang itu hanya bisa membuat moodnya turun seketika.
“Kenapa jadi kebalik gini?” tanya Rara ketika baru saja dia masuk ke mobil dan memasang seat belt-nya.
“Vano yang awalnya cuek bebek sama lo, sekarang jadi perhatian gitu.” Lanjutnya karena tidak mendapat respon dari Belva.
“Itu bukan perhatian tapi ngusir cara halus. Lo kan tau kalo dia nggak suka gue ganggu. Alasan aja gue harus pulang, istirahat karena baru sakit, padahal dia risih sama gue.”
Rara terkekeh dengan ekspresi kesal Belva seperti anak kecil menurutnya. “Positif thinking aja. Siapa tau perjuangan lo udah ada hasil.”
Setelah mendengar perkataan Rara, Belva malah mengulumkan senyumnya seperti biasanya ketika dia sedang memikirkan Vano. Ucapan Rara barusan mampu membuat moodnya berada di titik terbaik.
“Yahh, kumat lagi deh gilanya. Tau gitu nggak ngomong tadi,” cicit Rara.
***
“Belva! Kesini kamu!”
Langkah Belva terhenti seketika. Sesaat setelahnya dia berjalan santai ke arah ruang keluarga di mana disana sudah ada Papanya yang duduk dengan iPad di tangannya.
Belva tidak mengira jika di rumah ada Papanya yang sudah pulang dari luar kota. Maka dari itu, dia pulang pukul 20.15 sampai rumah. Mungkin jika dia tidak baru saja pulang dari rumah sakit, Belva mungkin saja pulang lebih larut dari ini.
“Jam kamu mati? Kenapa jam segini baru pulang? Kamu tau kan ini jam berapa?” Tanya Arya begitu dingin sembari menaruh iPad-nya di meja.
“Tau.” Jawabnya tanpa ada sedikitpun rasa penyesalan dalam jawabannya. Belva menunduk sambil memainkan gelangnya.
“Jangan suka menjawab!”
“Papa sudah tau semua kelakuan kamu saat Papa tidak di rumah. Suka keluar malem, pernah nggak pulang ke rumah, kamu juga sering ke kelab. Apa kamu suka membuat Papa malu? Apa itu hobi kamu?!”
Belva masih menunduk dan tetap bungkam. Dia tidak ingin menambah masalah karena dia bicara sebelum dia disuruh untuk mengeluarkan suara. Lagipula apa yang dikatakan Papanya adalah benar dan tidak meleset sedikitpun.
Arya menghela napas berat. “Mulai besok kamu akan berangkat dan pulang diantar Mang Udin. Pulang sekolah langsung pulang, jika tidak ingin Papa menarik fasilitas yang sudah Papa berikan.” Putus Arya.
Belva langsung mendongak. “Papa nggak bisa nentuin ini sesuai kehendak Papa dong.” Nadanya datar, namun terlihat sangat ketidak terimaannya atas keputusan Papanya itu.
“Papa sudah memenuhi kebutuhan kamu. Kurang apa lagi?”
“Kurang perhatian.” Ucap Belva lirih. Entah Papanya mendengarnya atau tidak, Belva tidak peduli lagi. Dia kemudian langsung naik menuju kamarnya.
Papanya memang tidak pernah mengerti perasaannya. Papanya memang tidak pernah ingin tahu apa yang anaknya inginkan. Dan Belva sangat membenci jika sudah mengingat akan hal itu.
***
Dan yang ditunggu akhirnya datang juga
Udah pada nggak sabar yaa?😌
(Kaciannn💢)
Pembuka di tahun baru☝️Oh iya, Selamat Tahun Baru 2020
Harapan baru nya apa?6 Januari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Indisposed ✓
Fiksi Remaja[COMPLETED] ⚠️Harsh words, violence or threat of violence. Beberapa bagian mungkin tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun⚠️ Disaat takdir terlalu kuat untuk dilawan. Dan dunia terlalu jahat untuk tetap membuatnya bertahan. Disaat itulah Tuhan me...