Suatu hal yang paling tidak bisa diubah adalah kenyataan.
-Belva Aurelia-Di tengah-tengah teduhnya cuaca hari ini, Belva dan seluruh anggota Marchingnya sedang berlatih seperti biasa. Sepulang sekolah mereka langsung memulainya. Bahkan sebelum semua siswa pulang, mereka sudah bersiap-siap dengan alat yang mereka gunakan.
Dengan masih mengenakan seragam sekolah, Belva memutar-mutar tongkatnya sesekali melemparkan ke atas kemudian menangkapnya secara berulang-ulang. Belva sangat menyukai ini, terlebih lagi jika mereka akan memiliki acara, mereka akan melakukan latihan yang bisa dikatakan latihan keras.
Sebentar lagi sekolah mereka juga akan menjadi pengisi acara dalam penyambutan kepala sekolah baru. Dan itu yang menjadi alasan mengapa akhir-akhir ini mereka sering mengadakan latihan.
“Belva,” Belva menghentikan kegiatannya, “bisa saya bicara sebentar?”
“Iya, bisa, Pak.” Kemudian Belva meletakkan tongkatnya ke tepi dan mengikuti arah Pak Eko berjalan.
“Jadi, begini—“ Pak Eko menjeda kalimatnya, menarik napas panjang, “dengan berat hati saya harus mengatakan ini,” lagi-lagi menjeda ucapannya. Semakin membuat Belva bingung dengan apa yang terjadi. Hingga detik ini Belva masih menelisik apa yang sebenarnya ingin diutarakan oleh pelatih Marching Band yang telah dua tahun ini melatihnya.
“Apa ya, Pak? Kok saya jadi bingung sendiri.”
“Saya mohon kepada kamu untuk berhenti bergabung dengan tim kita.”
Belva mengerutkan dahinya. Terkejut? Tentu saja. Pasti Pak Eko sudah bisa menebak bagaimana reaksi Belva setelah mendengar ucapannya.
“Maksud Bapak berhenti jadi mayoret?”
“Kenapa, Pak? Saya kan nggak melakukan kesalahan apa-apa, kenapa tiba-tiba Bapak nyuruh saya keluar.”
Jelas terlihat oleh Belva, raut wajah Pak Eko mulai berubah serius. Meyakinkan Belva jika pembicaraan mereka berdua bukanlah hal sepele. “Selama dua tahun saya bergabung disini, prestasi kita meningkat, kita juga sering mengikuti lomba-lomba bahkan tingkat nasional. Saya mohon Bapak kasih alasan yang jelas. Setidaknya, alasan yang logis, kenapa Bapak menyuruh saya keluar.”
“Maaf,” Pak Eko menunduk, seakan tak mampu lagi mengatakan apa yang hendak dia katakan. Sejenak menarik napas. Lalu menengadahkan kepalanya. Membalas tatapan Belva yang sudah Ia buat bingung.
“Saya sudah mendapatkan pengganti kamu. Terima kasih atas waktu kamu dua tahun ini, kamu sangat membantu.” Ucapnya sambil menepuk bahu Belva pelan kemudian berlalu meninggalkan Belva yang masih bergeming.
Hah, apa ini?
Apa yang baru saja terjadi?
Belva tersadar. Dia mengepalkan tangannya dan memukul keras dinding yang ada di sampingnya. Tak memerdulikan jika nantinya tangannya akan merasakan sakit. Tak disangka jika ada seseorang melihat seluruh peristiwa itu, memerhatikannya tanpa Belva sadari.
***
Kata-kata itu terus tergiang di telinga Belva. Semua terjadi begitu saja. Belva tak bisa berkata apa-apa saat Pak Eko memutuskan hal itu. Lidahnya seakan kelu. Hingga membuatnya tak bisa membela kehendaknya. Belva masih berdiri di depan ruang kelasnya setelah dia kembali dari lapangan. Sampai pada akhirnya seseorang membuatnya tersadar dari lamunannya.
“Papa sudah menunggu kamu, ayo pulang!”
Belva menoleh ke arah orang yang kini memandangnya lekat. Bola mata indah yang juga Ia miliki. Terpampang jelas raut kelelahan yang ada pada wajah Papanya itu. Sekali dalam hidupnya baru merasakan apa yang anak lain rasakan.
Baru kali ini terlihat Papanya datang ke sekolahnya untuk menjemputnya. Bahkan, jika biasanya, untuk rapat orang tua siswa, terkadang Bi Inah yang mewakilinya.
Dengan masih memandang Papanya, Belva berjalan mengikuti Arya menuju di mana mobilnya terparkir. Heran. Belva merasakan jika ada yang janggal disini.
“Papa ya yang nyuruh Pak Eko ngeluarin Belva?” Tandasnya kepada Papanya.
Pertanyaan itu langsung membuat Arya yang baru saja menutup pintu mobil menatap Belva yang terlebih dulu menatapnya. Terlalu mudah bagi Belva untuk menebak apa yang sedang Papanya rencanakan. Sejauh ini Papanya-lah yang terus mendesaknya untuk keluar dari kegiatan Marching Bandnya.
“Kamu tau itu?”
“This is my life. Dan Papa nggak berhak atas itu.”
“Don’t interfere with my life.”
“Kamu ingat? Siapa yang menghidupi kamu selama ini?”
“Kalo Papa emang nggak mau ngurus Belva. Seharusnya Papa biarin Belva mati waktu itu.”
Belva turun dari mobil yang baru saja terparkir di garasi itu. Berjalan tergesa-gesa memasuki kediamannya. “Baru pulang, Non? Hari ini dijemput Bapak?”
Belva tak menjawab. Hanya berlalu. Menahan emosinya agar tak meluap sewaktu-waktu. Dengan langkah dipercepat dia menaiki tangga menuju kamarnya. Ingin segera menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur. Dan mengistirahatkan pikirannya dari masalah hari ini.
***
“Lo kok nggak ikut latihan Marching?”
“Lo keluar?”
Tepat sekali pertanyaan yang Leona ucapkan. Bahkan hal itu mampu membuat Belva hampir saja tersedak oleh bakso yang sedang dia makan saat ini. “Tumben nanyain soal ini?”
“Yaaa, aneh aja lah. Lo kan biasanya yang paling dibutuhkan mereka.”
“Iya, nih, Bel. Kenapa nggak ikut?” Rara pun ikut menimpali.
Sumpah, Belva sangat malas membahas tentang hal ini. Sudah dia duga jika teman-temannya pasti akan mempertanyakan ini. “Lo liat aja sendiri?”
“Apanya yang diliat?”
“Widih! Cantik juga sih, cuman rada aneh aja bukan lo yang main.”
***
David mengamati seseorang disana. Dia terlihat bingung. Apa yang dia lihat sangatlah berbeda dengan apa yang biasanya.
“Sob! Mana cewek lo?”
“Gue jadi males nonton.” Lanjutnya kemudian.
“Iya bodinya bagus, tapi nggak menarik. Masih menarikan juga Belva.”
“Iya nih. Lo kan cowoknya pasti tau dong.” Vano menoleh. Kemudian memperhatikan tempat lain yang tadinya sempat diperhatikan oleh teman-temannya.
“Gak tau.”
“Kantin kuy! Gak minat gue.”
***
Hai👋
Hmm... Abis nostalgia nih sama lagu-lagu yang sempat populer pas waktu masih SD
Inget aja bikin gemeshh
Kira-kira lagu apa yang lagi populer pas waktu kalian SD??
Sekadar mengingat aja, agar tidak melupakan apa yang pernah ada#Eaaa14 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Indisposed ✓
Teen Fiction[COMPLETED] ⚠️Harsh words, violence or threat of violence. Beberapa bagian mungkin tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun⚠️ Disaat takdir terlalu kuat untuk dilawan. Dan dunia terlalu jahat untuk tetap membuatnya bertahan. Disaat itulah Tuhan me...