Kamu seperti teka-teki yang harus aku pecahkan. Dan aku akan menjawabnya.
-Elvano Ivander-Sudah dua hari ini Belva dirawat di rumah sakit. Kondisinya semakin membaik setelah dia mendapatkan perawatan yang intensif. Belva juga merasakan jika dirinya sudah sembuh ingin segera pulang ke rumahnya.
“Bi, sampe kapan Belva disini?”
“Sampe Non Belva sembuh.” Jawab Bi Inah sambil mengambil suapan untuk Belva. Dengan telaten Bi Inah menyuapi Belva yang terus saja mengajaknya bicara.
“Sekarang udah sembuh. Kita pulang yuk, Bi.”
“Non Belva belum sembuh. Non Belva harus disini sampe sembuh.”
Setelah beberapa suapan terakhir habis, kini Bi Inah membuka suara lagi. “Non,” panggil Bi Inah kepada Belva yang sedang menyibukkan dirinya dengan ponselnya.
“Kenapa, Bi?”“Jadi, Bapak kemarin ke luar kota―” Ucapan Bi Inah terhenti setelah Belva lebih dulu menyelanya.
“Nggak usah diceritain, Bi.”
“Maafin Bibi ya, Non. Waktu itu udah lancang denger pembicaraan Non Belva sama Bapak.”
“Nggak papa, Bi. Bibi itu udah tau dari awal kan, kalo emang hubungan Belva sama Papa nggak baik.”
***
“Nggak papa, Bi. Bibi itu udah tau dari awal kan, kalo emang hubungan Belva sama Papa nggak baik. Dari Belva masih kecil sampe sekarang malahan.”
Langkahnya tiba-tiba terhenti saat dia sudah membuka setengah pintu dari salah satu ruang rawat di rumah sakit itu. Tidak ada yang menyadari kedatangannya, beruntungnya dia langsung menutup kembali pintu itu.
Kata-kata itu terus terngiang di pendengarannya. Otaknya kini bekerja setelah beberapa saat dia istirahatkan tadi. Niat awalnya datang kesini karena dia ingin memastikan keadaan Belva. Namun, setelah ketidaksengajaannya mendengar ucapan itu, segeralah dia mengurungkan niatnya.
Jadi, sekarang dia bisa menyimpulkan apa yang telah terjadi. Belva sekacau ini karena dia memiliki masalah yang serius.
Vano, kemudian memutuskan untuk pulang. Disana sudah ada pembantu Belva yang akan menjaga Belva. Lagipula dia juga sudah melihat keadaan Belva yang sudah lebih baik daripada kemarin.
Entah atas dorongan apa yang membuat Vano yang terkesan cuek dengan Belva mau datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Belva. Mungkin karena teman-temannya yang terus melemparinya dengan godaan-godaan yang membuat telinganya panas. Atau mungkin karena keinginan hatinya sendiri, Vano tidak bisa membedakan keduanya.
Saat dia sudah berada di tempat parkir, dia tiba-tiba teringat perkataan Belva saat pertama kalinya dia bertemu dengan gadis itu. Yang saat itu Belva sedang dalam keadaan mabuk dan terus mengeluarkan racauan tidak jelas.
“Lo pengen tau kenapa gue bisa kayak gini? Gue gak pernah sekacau ini sebelumnya, gue selalu bisa nahan diri gue buat enggak minum. Tapi hari ini gue gak bisa.”
“Lo mikir kalo gue udah gila kan? Iya, gue emang udah gila. Gue gila. Semua ini karena bokap gue.”
Vano pikir saat itu kata yang diucapkan Belva bukanlah hal yang serius. Maka dari itu, Vano tidak mengindahkan perkataan Belva. Dia juga tidak ingin repot-repot memikirkan hal yang tidak seharusnya dia pikirkan.
Namun, kata-kata itu seakan teka-teki yang harus dipecahkan. Vano tahu, dia tidak berhak untuk mengurusi masalah orang lain. Dan Vano memang bukanlah orang yang selalu ingin ikut campur masalah orang lain. Jadi biarkan ini tetap seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indisposed ✓
Teen Fiction[COMPLETED] ⚠️Harsh words, violence or threat of violence. Beberapa bagian mungkin tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun⚠️ Disaat takdir terlalu kuat untuk dilawan. Dan dunia terlalu jahat untuk tetap membuatnya bertahan. Disaat itulah Tuhan me...