Tak mampu ku berbohong pada mata yang selalu menatapku sehangat senja.
-Belva Aurelia-Belva sendiri. Berdiri di atas gedung tinggi yang sebelumnya tidak pernah dia datangi. Tempat yang sering dijadikan sasaran untuk menghindari pelajaran yang menjadi momok para siswa.
Setelah mendapat izin dari Bu Saras untuk ke toilet, di jam terakhir pelajarannya ini Belva memilih untuk datang ke tempat ini. Bukan berniat menghindari pelajaran mendongeng ala Bu Saras yang menjelaskan materi seperti ingin menidurkan anaknya.
Embusan angin sore seakan membuat Belva tak ingin meninggalkan tempat ini. Rasanya nyaman, bahkan lebih nyaman daripada rumah sendiri. Gadis itu melirik jam tangan putih yang ada di pergelangan tangan kanannya. Waktu menunjukkan sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi. Pastinya seluruh sudut sekolah sudah sepi sekarang.
Saat Belva hendak berbalik, tak jauh dari tempat dimana dia berdiri seseorang dengan seragam yang dikeluarkan, menenteng jaketnya, dan menatap lekat-lekat matanya. Tatapannya seolah mengunci pergerakan Belva, membuat gadis itu tetap berdiri tanpa pergerakan sedikit pun.
Tatapan keduanya makin beradu, ini yang selalu Belva kagumi dari seorang cowok yang berjalan mendekat padanya itu. Hari yang semakin sore tak membuat tingkat kegantengannya berkurang sedikit pun. Belva tersenyum.
"Kenapa?"
Vano berdiri di samping Belva. Belva kemudian mengikuti untuk kembali berbalik menatap gedung-gedung tinggi seperti apa yang tadi dia lakukan. Kedua tangan mereka bertumpu pada pembatas tepi rooftop.
Belva menunduk untuk beberapa saat. Rambutnya yang tergerai diterpa kencangnya angin.
Vano ikut menunduk. Memandangi Belva yang masih diam sejak kedatangannya. "Kenapa disini?" Jelas terdengar jika Belva mengembuskan napasnya kasar.
Belva mendongak. "Nggak tau kenapa hari ini, gue males banget buat pulang. Kayak seakan separuh diri gue nggak ada di rumah gue sendiri."
Vano menegakkan tubuhnya. Diikuti Belva kemudian. "Jangan pulang dulu, ya, Van."
***
Melihat indahnya matahari tenggelam di atas gedung sekolah adalah hal baru Belva rasakan. Belva merasa terpukau. Semburat warna jingga sungguh menarik hatinya untuk tetap berada disana hingga senja menghilang.
Belva merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. Belva menutup matanya merasakan begitu nyamannya usapan itu. Ia menyenderkan kepalanya di bahu Vano. Tidak ada penolakan sedikit pun dari Vano dengan posisi Belva sedekat ini dengannya.
Salah satu tangan Vano menopang tubuhnya dan salah satunya lagi masih bergerak di atas puncak kepala Belva. Sesaat tangan Vano berhenti. Membuat Belva langsung membuka mata namun masih dengan posisinya. Belva ingin mendongak sebelum akhirnya dagu Vano mengunci pergerakannya.
Mungkin keduanya sama-sama menikmati indahnya senja hari ini. Embusan angin semakin kencang menerpa setiap sisi wajahnya.
"Lima menit lagi gerbang dikunci."
***
Gadis dengan seragam yang masih dia kenakan itu baru saja turun dari motor hitam Vano. Tersenyum sebentar kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Vano dan menyapukannya perlahan. "Makasih buat hari ini."
"Lain kali nggak usah bolos."
Belva berkerut kening. Mengangkat sebelah alisnya. "Gue nggak bolos."
"Cuma izin ke toilet gak balik."
"Itu tau. Cenayang ya?" Belva tertawa kecil. Namun Vano justru mencubit hidung mancung Belva. Belva membalasnya dengan mendorong helm Vano hingga Vano melepaskan cubitannya.
"Awww!"
"Sakit tau nggak." Ucapnya sambil memegangi hidungnya yang sedikit memerah.
Vano tersenyum. "Ya udah, gue pulang."
"Iya, hati-hati!"
Sejak dia berdiri di depan gerbang rumahnya, Belva merasa jika ada seseorang yang mengikutinya sampai ke rumah. Selain itu juga, dia merasakan jika ada yang memerhatikan setiap gerak-geriknya. Belva mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada seorang pun selain dirinya.
Tak ingin memusingkan hal ini lebih lanjut, Belva segera masuk ke rumahnya. Jika pun benar ada yang mengikutinya, biarkan saja. Pasti cepat atau lambat dirinya akan mengetahui siapa orangnya.
"Dia sudah kembali." Ucap seseorang -dengan pakaian rapi- setelah tak melihat seorang pun berada dalam pengamatannya. Dia kemudian memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
***
Belva menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Mendekap jantungnya yang bergemuruh. Ingin sekali rasanya berteriak sekencangnya.
Belva baru merasakan rasa senang sedalam ini. Seingatnya, hal pertama ketika dia merasa sesenang ini adalah ketika Papanya baru saja membelikan mainan kesukaannya saat dia baru pertama masuk sekolah. Belva masih ingat itu.
Dan hal kedua setelahnya adalah, sesuatu yang selama ini dia inginkan. Yaitu, membuat Vano bisa takluk padanya.
Belva kembali mengingat kejadian tadi. Di mana dia mengeluarkan segala keluh kesahnya. Belva hanya ingin membagi lukanya agar dia tak merasa jika beban seberat itu harus dia tanggung sendiri. Dan Belva tahu jika Vano adalah tempat yang sangat tepat untuknya bisa berbagi rasa itu.
***
Holahooo
Ketemu lagi di part 32
Oh iya, mau ngasih tau kalo cerita keduaku udah perdana publish hari ini. Yeayy:)))))
Seneng bangett
Tungguin kelanjutannya ya21 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Indisposed ✓
أدب المراهقين[COMPLETED] ⚠️Harsh words, violence or threat of violence. Beberapa bagian mungkin tidak sesuai untuk anak di bawah 13 tahun⚠️ Disaat takdir terlalu kuat untuk dilawan. Dan dunia terlalu jahat untuk tetap membuatnya bertahan. Disaat itulah Tuhan me...