45 | Akhir

310 19 10
                                    

Kamu tidak pernah gagal sedikit pun. Mungkin kesempatan yang hanya merubah sedikit dari ini.
-Belva Aurelia-

Belva tak bisa membiarkan ini terus berlangsung di depan matanya. Sebuah kejadian yang tak pernah dia bayangkan terjadi langsung. Tanpa Belva sadari kedua matanya mulai menitikkan air mata. Bahkan rasa sakit yang Vano rasakan akibat pukulan itu serasa menjalar ke tubuhnya.

Teriakannya bahkan tak sedikit pun membuahkan hasil. Hal yang baru dia sadari bahwa Vano telah sejauh ini bertaruh untuknya. Maka dari itu juga, Belva berpikir untuk mempertaruhkan segalanya untuk keselamatan Vano juga.

Belva memberanikan dirinya. Mengesampingkan rasa takut dengan mencoba memukul Sean dengan sebuah balok kayu. Mungkin jika ini berhasil, bisa sedikit mempermudah dirinya.

Namun, Sean terlalu kejam baginya. Mendorongnya kuat hingga kepalanya terbentur dinding yang sangat keras itu. Belva melihat dari kedua matanya jika Vano merangkak mendekat dengan tubuh yang sangat lemah.

“Van....”

“Kamu bertahan ya.”

Suara peluru yang dilepaskan ke udara itu terlalu nyata menohoknya. Belva semakin menjerit kesakitan. Darah segar itu mengucur tanpa ampun. Belva hanya bisa menyuarakan tangisnya. Mencoba kuat namun justru semakin lemah.

Belva mencengkeram bahu Vano menahan rasa sakitnya yang kian lama kian terasa nyata. Bahkan rasanya tubuhnya sudah tak mampu menahan.

“Van!”

“Jangan nangis, kamu kuat kan?” Suara itu begitu pelan. Seakan menyadarkan Belva jika semua yang terjadi bukanlah mimpi.

“Vano, kamu harus kuat!”

Tubuh kuat sebagai tempat perlindungannya itu melemas. Belva beringsut sedikit. Menempatkan kepala Vano ke pangkuannya. Tangannya masih menangkup wajah Vano.

Darah yang mengalir semakin lama semakin deras seperti air mata dari kedua matanya. Ia terus meneriaki Vano mencoba membuat Vano tetap tersadar. “VAN!”

“Please, aku mohon kamu harus kuat...,” bisiknya diselingi suara tangis yang tertahan.

Tangan Vano terangkat. Menyibak rambut Belva yang jatuh sempurna di atasnya lalu menyelipkan di telinga Belva. Di belakang bulu matanya Belva melihat jika Vano berusaha menyunggingkan senyum walau rasa sakitnya masih menguasai keseluruhan dari kesadarannya.

“Jangan cengeng...,” Belva menggeleng kuat. Bisa-bisanya Vano tersenyum kepada Belva yang menahan isak tangisnya yang semakin keras terdengar. Sebelum akhirnya sebuah bayangan hitam mengambil keseluruhan dari sadarnya.

***

Tangisnya tak bisa dihentikan barang sedetik. Sudut rumah sakit yang sepi seakan menertawakan kesakitannya. Belva memeluk tubuhnya. Pakaian lusuh dengan bercak darah di mana-mana. Belva menolak saat seorang suster akan menangani lukanya. Belva justru berakhir disini, di depan ruangan yang akan menentukan hidup dan matinya.

Langkah terburu-buru datang dari lorong. Hingga sebuah tamparan keras langsung mendarat di pipinya. Belva semakin ingin menangis sejadi-jadinya. “JAHAT KAMU!”

“KAMU BIKIN ANAK SAYA SEPERTI INI!”

“Ma,” kedua laki-laki yang datang bersamanya itu berusaha menahan gerakan Marissa yang semakin liar.

“Tante boleh maki Belva sepuasnya, semua ini emang salah Belva, Tante.”

“Tante boleh benci sama Belva.”

Belva menunduk. Kedua bahunya bergetar. “Karena Belva yang seharusnya ada di dalam,” gumamnya.

Pertama kalinya bagi Belva, melihat Marissa semarah ini di hadapannya. Belva tahu, ini terlalu berat bagi Marissa bahkan tidak hanya Marissa. Dirinya lebih merasakan sakit ini karena apa yang dilakukan oleh Vano adalah untuknya.

***

Seorang cowok yang sering membuatnya kesal karena sikap dinginnya yang seakan tak pernah menginginkannya. Yang suka sekali mengacuhkannya, membiarkan menggerutui sesuatu hal yang tidak dia sukai. Yang selalu pandai membuat jantungnya hilang kendali. Yang selalu menatapnya dengan sorot mata meneduhkan.

Cowok yang selalu melakukan semua itu kepadanya. Hanya kepadanya. Vano selalu berhasil membuatnya jatuh semakin dalam. Setiap hari tanpa terlewat di setiap detiknya sedikit pun. Ribuan kali Belva jatuh, namun kali ini lebih sakit dari apapun.

Vano rela mempertaruhkan apa yang dia miliki untuk Belva. Vano masih berjuang mati-matian di dalam. Melawan segalanya yang hendak menghalangi hidupnya. Belva kembali menyeka air matanya.

Belva tersadar dari lamunannya setelah mendengar suara pintu terbuka. Dan memperlihatkan seorang dokter yang keluar dari ruangan tersebut. Semua orang yang ada disana telah lama menunggu dengan harap-harap cemas. Sedari tadi Ervin hanya berjalan mondar-mandir di depannya. Suara tangisan kecil pun masih terdengar di telinga Belva. Marissa masih menangis dalam pelukan suaminya.

Semuanya langsung berdiri, menyambut kedatangan dokter itu dengan menghujaninya pertanyaan. “Ba—“

“Bagaimana keadaan anak saya?”

Belum ada jawaban. Dokter itu masih diam. Menatap mereka lamat-lamat. Tertera jelas di raut wajahnya, jika sesuatu hal yang akan dia sampaikan seakan sulit untuk diutarakan. “Cepat katakan!”

“Ma, tenang. Biar dokter jelasin gimana keadaan Vano.”

Dokter itu menghela napas. “Maaf...,”

***


Aku kasih malam ini yah...
Selamat menikmati

9 April 2020

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang