47 | Flashback 1

285 16 3
                                    

It's the best and most beautiful things in the world can not be seen touched. They must be felt with the heart.
-Helen Keller-

"Lagi ngapain?"

"Anjir...!!!"

Belva memekik. Keterkejutan terlihat jelas pada raut wajahnya. Karena di tengah keheningan tiba-tiba terdengar suara. "Ngagetin tau nggak!"

"Enggak." Jawaban singkat dari Vano membuatnya mendengus.

"Eh! Jangan digeser!" Belva menggeser ponselnya kembali, menempatkannya ke tempat semula. Dengan tangan yang kotor Belva sedikit kesulitan untuk memegang ponselnya.

Vano terlihat sangat memerhatikan Belva yang masih sibuk dengan kegiatannya hingga mengacuhkannya sedari tadi. Cowok itu duduk di depan meja counter menghadap langsung dengan Belva. "Dianggurin nih?"

Karena merasa teracuhkan, Vano tiba-tiba mengambil ponsel Belva. "Vano!" Gadis itu berusaha meraih ponsel yang berada pada genggaman Vano itu. Cowok yang kemudian berdiri itu tak membiarkan Belva dengan mudah bisa meraih ponselnya kembali. Vano itu tinggi, dan hal itu yang memuat seorang Belva sulit menjangkau ponselnya.

"Balikin!" Rengeknya sambil berusaha meraih ponselnya.

"Heh!" Vano terkejut membuat Belva semakin ingin tertawa.

"Comel." Cewek itu tergelak usai melihat wajah Vano yang sekarang menjadi kotor karena corengan yang dia buat. Gadis yang rambutnya dicepol itu semakin terlihat menggemaskan dengan beberapa anak rambut yang berjatuhan di sisi wajahnya.

Belva yang tertawa mendadak diam setelah Vano membalas corengan tepung yang ada di pipinya. "Ih, kotor!"

Tentu saja Belva tak bisa tinggal diam melihat Vano yang bisa tersenyum puas melihat wajahnya tercoreng. Belva sengaja mencoreng wajah Vano lagi, menggunakan seluruh jemarinya. Dan setelahnya, Belva berlari mengitari meja counter untuk menghindari Vano yang sepertinya ingin membalas perlakuannya tadi.

"Aaaaaaaaaa...!!!"

Belva tak membiarkan Vano bisa meraihnya. Namun gerakan cepat Vano tak mampu membuatnya berkutik. Vano mengunci pergerakannya hingga Belva kesulitan untuk lepas darinya.

Gadis itu mencoba menjauhkan wajahnya saat tangan Vano mendekat ke wajahnya. Dengan tubuhnya yang sudah dikunci oleh Vano, Belva tak bisa melakukan apa-apa selain menggeliat.

"Van!"

"Please, lepasin!"

Vano makin tersenyum melihat Belva yang memohon-mohon padanya. Semakin dekat tangannya dengan wajah Belva, gadis itu semakin menutup matanya rapat. Tangan yang membawa seplastik tepung itu berhenti tepat tujuh senti dari wajah Belva.

Vano masih mendekap Belva lumayan erat. Perlahan, dia melonggarkan dekapannya namun tidak melepas tautannya terhadap Belva. Dilihatnya, jika Belva masih menutup matanya rapat-rapat.

Vano mengangkat sudut bibirnya. "Ngapain kayak gitu? Jelek!"

Cowok itu sudah meletakkan seplastik tepung yang tadi dia pegang. Belva membuka sebelah matanya, memastikan keadaan untuk membuka kedua matanya. Vano semakin melonggarkan dekapannya. Tangan kosongnya dengan cepat mengacak puncak rambut Belva sehingga cepolan Belva menjadi berantakan.

Baru setelah Belva membuka mata, Vano melepaskannya. Cewek itu masih mengerjapkan matanya di tempatnya berdiri, sedangkan Vano sudah beralih duduk di kursi yang ada di depan meja counter.

"Nih!" Vano menyodorkan ponselnya yang memperlihatkan sebuah foto di layar yang menyala itu.

Bukan fotonya yang dia jadikan lookscreen atau wallpaper ponselnya, namun sebuah foto hasil jepretan Vano beberapa detik yang lalu. Belva terkejut menatap layar ponselnya.

Vano hanya tersenyum sambil mengambil sebuah tisu untuk membersihkan wajahnya.

"Jelek banget ya." Cibirnya.

Belva menyebikkan bibirnya. "Cewek siapa sih jelek kayak gini?" Imbuhnya kemudian.

"Tau tuh, ceweknya Ervin kali?"

Belva melotot. "Enak aja!" Selanya setelah mendengar ucapan Vano.

"Ya ampun! Gosong!" Belva memekik keras. Seolah baru teringat akan sesuatu.

Dengan segera Belva menghampiri oven, setelah dia meletakkan ponselnya dengan sedikit melempar ke meja. Vano melihat kesigapan Belva saat mengangkat sebuah nampan panas yang di atasnya terdapat kue yang sudah matang itu.

"Bantuin dong! Itu tolong diangkatin!"

Vano hanya menurut saja saat Belva menyuruhnya mengangkat beberapa benda yang ada di atas meja untuk menempatkan nampan itu. Cewek itu mondar-mandir hanya untuk mengambil sebuah piring.

Tangan Vano yang mencoba mengambil kue yang masih berada di atas nampan itu segera ditepis oleh Belva. "Ih!"

"Cuci tangan dulu!"

Setelah Vano selesai mencuci bersih tangannya, Belva juga sudah selesai menempatkan kuenya di atas piring. "Cobain deh."

Belva tersenyum menatap Vano. Cowok yang sedang mencicipi kue yang dia bua itu merasa jika sedari tadi diperhatikan oleh cewek yang ada di hadapannya. "Enak kan?"

"Enggak."

Belva mendengus. Senyumnya berganti dengan ekspresi datar. "Bohong."

"Ngarep banget dibilang enak."

"Gue kan nanya. Tinggal jawab doang." Nadanya berubah sewot. Seperti tidak menyukai maksud dari perkataan Vano. Tentu saja, siapa yang terima diremehkan seperti itu?

"Udah." Jawab Vano terlalu santai.

"Tapi itu bohong."

"Mana tau?"

"Ya, tau lah. Tadi gue bikinnya sesuai resep mana mungkin nggak enak."

Belva beralih ke ujung meja. Melepas celemeknya lalu membenahi cepolan rambutnya. Gadis yang sedang berdiri itu menatap ke arah lain. "Atas inisiatif siapa?"

Belva memutar bola matanya. "Ih, gimana sih? Gue ke club salah, gue di rumah aja juga salah. Terus yang bener apa?"

Vano menaikkan sebelah alisnya. Membalas tatapan Belva padanya. "Apa?"

"Nggak lucu."

***

Selamat malam semuanya🌃
Lagi pada ngapain? Semoga kita sehat terus yaa
Selamat membaca🙃

13 April 2020

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang