46 | Belum Berakhir

302 16 0
                                    

Duniaku pernah dihantam kuat oleh pernyataan yang tidak pernah aku inginkan.
-Belva Aurelia-

"Pulang ya? Biar gue anter?"

Belva masih menggenggam jari-jemari Vano. "Enggak, Bang." Dia menggeleng lemah.

Dua hari setelah mendapat dentuman keras kenyataan karena kondisi Vano. Belva bahkan enggan meninggalkan rumah sakit walaupun untuk pulang ke rumah. Sedikit pun celah tidak dia berikan jarak antaranya dan Vano.

Katanya, Vano yang selalu pandai membuat detak jantungnya hilang kendali, hal itu juga Belva buktikan ketika suara dokter begitu menyakitkan terdengar di telinganya. Membuat jantungnya seakan mendadak berhenti berdetak.

"Maaf...," kalimat itu terjeda.

"Kami sudah melakukan yang terbaik untuk pasien. Namun, nyawanya tidak bisa tertolong."

Belva meloloskan dirinya melalui dokter itu. Kakinya mendadak lemas setelah melihat beberapa perawat sedang melepas alat yang berada pada tubuh Vano. Seolah tak terima, Belva maju dengan mendorong beberapa perawat disana. Meneriaki tubuh yang terkapar tak berdaya itu.

Air matanya langsung membanjiri pipinya. "Van, bangun!"

"Ayo bangun!"

Belva terisak. "Aku minta kamu bangun sekarang!"

"Jangan gini!"

Belva semakin histeris. Mengabaikan tarikan tangan dari beberapa perawat yang berusaha menariknya menjauh. Energinya terlalu kuat untuk mencegah perawat-perawat itu membawanya menjauh. "Aku nggak suka kalo kamu gini."

"Ayo bangun, sayang...."

"Aku sayang sama kamu, Van.... Aku mohon jangan pergi...."

Ucapannya tertahan karena suara elektrokardiograf berbunyi kembali. Belva segera ditarik menjauh. Kemudian dokter segera berjalan cepat menuju ke ranjang Vano. Dan setelahnya Belva tak tahu lagi apa yang terjadi karena tiba-tiba kepalanya merasakan pusing yang tak tertahankan.

Belva kira setelah tersadar dari pingsannya, semua akan berubah menjadi lebih buruk. Namun, nyatanya kenyataan masih memberikannya kebenaran jika Vano memang untuknya. Dengan kondisi yang bisa dikatakan lebih baik, Vano kini berada di ruang ICU.

Dunia baru saja menghukumnya. Takdir Tuhan memang tak sepenuhnya berjalan mulus. Dan ini sebuah takdir yang harus dia terima. Mungkin ini akibat dari semua kesalahan yang pernah dia perbuat selama hidupnya.

"Hari ini biar gue yang disini. Nanti malem lo boleh kesini lagi."

Belva sejenak terdiam. Memandang wajah Vano dari ekor matanya. "Tapi, gue-" Ervin membungkamnya dengan sebuah ucapan. "Lo juga perlu istirahat. Vano nggak mau kali, pacarnya sakit cuma gegara nggak mau pulang istirahat."

"Gue anter ya?" Angguknya singkat kemudian.

***

Suasana rumah tak sedikit pun ada yang berubah setelah terakhir kalinya dia meninggalkan rumah. Semuanya masih sama seperti waktu itu. Kejadian itu seakan telah berlangsung lama.

"Non Belva!"

"Belva ke kamar dulu ya, Bi."

"Nanti kalau butuh apa-apa langsung bilang ke Bibi."

Belva berjalan menyusuri anak tangga menuju ke lantai atas. Melihat sebentar ke belakang, pintu coklat yang tertutup rapat. Seperti biasa, rumah ini sepi tak ada keramaian di mana pun.

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang