39 | Rumah Sakit

316 17 0
                                    

Dunia tak berporos padamu, namun duniaku itu kamu.
-Elvano Ivander-

Dengan tatapan kosong, Belva duduk termenung di dalam keramaian kelasnya. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Rasanya otaknya masih tertinggal di rumah tadi. Belva sudah menolak keras jika halnya Kirana yang datang ke sekolahnya hari ini. Namun, Papanya memang tak pernah mendengarkan segala ucapannya sedikit pun.

Suara ramai begitu mengisi seluruh ruangan kelas. Guru yang mengajar beberapa mengikuti rapat dengan orang tua siswa jadi mereka mendapat sebuah kabar gembira jika kelas mereka sedang free.

Hal yang paling disukai murid saat-saat seperti ini adalah guru masuk ke kelas hanya untuk memberikan tugas lalu ditinggal karena ada kepentingan. Setidaknya masih ada kelonggaran untuk hari ini. Namun, jika pelajaran yang ditinggal memiliki waktu yang cukup panjang bisa dibunuh rasa bosan.

Dan Belva sudah merasakan hal itu sekarang. Sejak tadi, lebih tepatnya setelah mereka menyelesaikan tugas, Rara hanya sibuk dengan ponselnya. Katanya sih, mencoba efek instagram.

Belva ingin tidur saja sekarang. Mengapa tidak, tiga jam pelajaran berlangsung dan tugas telah selesai pada tiga puluh menit pertama. Dengan ponsel yang ada di genggamannya, dan posisi yang menghadap ke tembok, Belva mulai memejamkan mata.

Baru beberapa lama Belva memejamkan mata, tiba-tiba dia terbangun karena Rara menggebrak meja tempat di mana Belva tidur. Sontak saja Belva terperanjat hanya karena ulah manusia yang satu ini.

“Anjir!”

“Lo kemasukan setan mana? Kuping gue jadi budek tau nggak?!”

Rara bertingkah seperti orang sinting. Dia memeluk Belva sangat erat. Karena merasa kesulitan bernapas, Belva memukul tangan Rara. “Sinting lo, Ra.”

“Gila! Nggak jelas banget.”

“Terserahlah lo mau ngomong apa, gue seneng banget!”

Ada dua kemungkinan yang Belva tahu jika Rara melakukan hal-hal aneh dihadapannya. Pertama, dia mendapat sebuah balasan dari komentar yang dia kirimkan untuk salah satu idolanya. Dan kedua, mungkin dia baru saja dibalas DM-nya oleh Junior Roberts.

***

“Belva?” Belva menoleh. Kemudian menghampiri seorang wanita yang tadi memanggil namanya.

Belva sangat menghormati Marissa seperti dia menghormati mendiang Mamanya. Apalagi keduanya sudah lama tidak bertukar kabar.

“Tante, lagi nyari Vano ya?”

“Iya,” sahut Marissa.

“Biar Belva anterin ke kelasnya, gimana?”

Tawarannya sesegera mungkin langsung ditolak oleh Marissa. Bukan karena tidak ingin, namun dia sedang dikejar oleh waktu.

“Kayaknya nggak usah deh, soalnya udah nggak keburu. Tante harus cepet-cepet pulang.”

Belva melihat ada kecemasan di raut wajah Marissa. “Kok buru-buru, ada apa?”

“Tadi Tante dapet kabar kalo Abang kamu masuk rumah sakit.”

Belva seketika mengernyit. Yang dimaksudkan “Abang” kepadanya mungkin Ervin. Belva sedikit terkejut. Marissa seakan memberinya kode bahwa dia sudah sangat diperbolehkan untuk masuk ke dalam keluarga mereka.

“Bang Ervin?”

“Iya. Ya udah Tante pulang dulu ya?”

“Iya, Tante. Hati-hati.”

***

Belva terburu-buru untuk menemui Vano. Hingga dia sampai meninggalkan Rara di koridor. Kalau tidak cepat-cepat, pasti Vano akan segera ke rumah sakit, pikirnya.

“Van!”

“Gue ikut ke rumah sakit.”

“Lo mau ke rumah sakit kan? Jadi, ya gue ikut.” Vano mengangguk. Lalu, menaiki motornya dan disusul oleh Belva.

“Emangnya Bang Ervin kenapa?”

“Gak tau.”

“Seharusnya tau dong, kan Abang nya.”

***

Pintu putih itu bergerak terbuka dan memperlihatkan seorang cewek cantik yang belum pernah Belva lihat sebelumnya. Cewek yang begitu asing dimata Belva. “Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam.”

“Tante, kenalin saya Dara.”

“Pacarnya Ervin?”

Pertanyaan itu datang dari Vano bukan dari Marissa. Hal itu sontak membuat Marissa dan Belva langsung menatap Vano.

“Cuma temen, kok.”

“Pacar juga nggak papa, kok.” Gurau Marissa, tak ingin membuat suasana menjadi kikuk.

“Kamu juga harus kenal sama Vano, adiknya Ervin. Dan, itu Belva.” Belva membalas senyum dari Dara. Kemudian mendekat ke arah Vano yang duduk tak jauh darinya.

“Biasanya kalo ngomong ada ‘kok’ berarti dia nggak yakin sama jawabannya, ya ragu gitu. Berarti?”

“Berarti dia nggak yakin sama Ervin?”

“Bisa jadi.”

***

“Emm, hai!”

Belva beralih duduk di samping kanan Dara yang sekarang sedang duduk di sebuah taman rumah sakit. Setelah melihat Dara yang memilih keluar dari ruangan Ervin, Belva mengikutinya hingga sampai di taman ini.

“Ada apa, Bel?” Senyum ramah itu datang dari Dara. Dan Belva membalasnya dengan hal yang sama. “Udah langsung hafal aja, nih Kak Dara.”

“Kamu kan cantik.” Belva terkekeh mendengar ucapan Dara.

“Belajar ngegombal dari Bang Ervin, ya?”

“Kamu ini bisa aja. Sekelas ya sama Vano?”

“Enggak sih, beda kelas. Oh iya, Kak Dara udah berapa lama pacaran sama Bang Ervin?”

Dara sedikit terkejut. “Kok pacaran? Kan tadi aku jawabnya temen doang.”

“Aduuuh, Kak Dara, aku juga cewek, Kak. Aku tahu banget dari gerak-geriknya Kak Dara gimana.”

“Ih, cenayang pasti.”

Menurut Belva, Dara itu seorang perempuan yang sopan. Hal itu dapat langsung dia lihat dari bagaimana caranya berbicara dengan lawannya. Hanya lewat sekali perbincangan ini, Belva dapat menyimpulkan bahwa Dara bukanlah orang yang salah jika masuk ke dalam lingkaran keluarga Wiratama.

Namun, satu hal yang masih dia pikirkan dari hubungan Ervin dan Dara. Ervin itu orangnya slengean, berbeda dengan Vano. Tapi satu hal yang mungkin tak bisa dielakkan dari Ervin maupun Vano adalah ketampanan mereka yang tidak jauh berbeda. Itu satu alasan mungkin Dara bisa menyukai Ervin, Ervin juga pintar hanya saja dia lebih sering bercanda daripada serius.

***


Happy reading 💙

27 Maret 2020

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang