22 | Ambisi

350 22 0
                                    

Hanya dia yang akan melakukan segala cara untuk apa yang dia inginkan.
-Elvano Ivander-

“Kamu yakin mau pulang sekarang?”

Marissa duduk di tepi tempat tidur. Mengusap rambut Belva begitu sayang. Belva hanya bisa tersenyum meyakinkan Marissa jika dirinya sudah lebih baik dari kemarin.

“Yakin, Tan. Lagipula nggak enak sama Tante. Ngerepotin.”

“Kamu masih pusing kan?”

“Udah mendingan kok.”

“Bel, bukannya Tante mau ikut campur urusan keluarga kamu. Tante cuma bilang kalo ada masalah lebih baik kamu bicarain baik-baik. Jangan kayak gini lagi.”

Belva menatap Marissa kemudian meneteskan air mata. Entah mengapa hatinya seperti diingatkan kembali dengan seseorang.

“Kamu kok malah nangis. Tante kan nggak marahin kamu. Jangan nangis dong, sayang. Tante jadi ngerasa bersalah loh ini.”

Belva menyeka air matanya. Kemudian beralih menatap Marissa. “Tante kayak Mama Belva.”

“Boleh Belva peluk Tante?”

Sebelum Marissa menjawab, Belva lebih dulu menghamburkan pelukan kepada Marissa. Marissa hanya bisa membalas pelukan Belva sambil mengelus punggungnya.

“Kalo kamu pulang sekarang biar dianter Vano.”

Belva kemudian melepaskan pelukannya. Dia mengangguk menyetujui perkataan Marissa. Kemudian tersenyum.

***

Belva sudah berada di mobil Vano. Tentunya bersama pemiliknya yang mengantarkannya pulang pagi ini. Sepanjang perjalanannya dia terus saja menanyai Vano tentang kejadian semalam. Belva tidak yakin jika Vano yang menolongnya tadi malam dari gangguan Sean dan dari pengaruh alkohol.

“Van!”

“Hmm.”

“Semalem gue ngomong apa aja?”

“Banyak.”

Belva mendengus. “Iya, banyaknya itu apa aja?”

“Lupa.” Jawab Vano enteng.

“Ada yang aneh nggak?” Belva masih bertanya lagi. Rasanya dia tidak bosan untuk terus membahas ini hingga tuntas.

Vano mengerutkan keningnya. “Ya aneh gitu, maksudnya ada yang ngelantur gitu.”

“Bahkan yang lo bilang sekarang aja masih ngelantur.” Sahutnya kemudian.

Belva hanya mendengus. “Iya deh, Mas. Terserah.”

“Jangan panggil gue mas.” Sergah Vano. “Kenapa? Gue suka.”

“Gue bukan tukang ojek.”

“Emang bukan. Masa pacar gue tukang ojek. Ya kali?” Belva kemudian tertawa kecil melihat ekspresi Vano yang mulai berubah kesal.

“Gue bukan pacar lo.”

“Makanya tembak gue biar pacaran.” Belva tersenyum penuh kemenangan karena kali ini Vano tidak bisa membalas perkataannya.

Belva melepas seat belt-nya. Mengganti posisi duduknya menjadi menghadap Vano. Kemudian dia mendekat ke arah Vano, menaruh tangan dan dagunya di bahu Vano. Belva mengamati wajah Vano yang sedang fokus menyetir.

Belva tahu posisinya sedekat ini mampu membuat detak jantungnya tidak berdetak secara normal. Namun, Belva hanya ingin melakukannya sekarang.

“Duduk yang bener!”

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang