28 | Lebih Baik

292 21 0
                                    

Biarkan saja semua orang tahu, kalau saja dia memang lebih baik daripada yang orang tahu.
-Belva Aurelia-

Belva baru saja keluar dari taksi yang berhenti di depan rumah besar yang sudah tidak asing lagi dimatanya. Membawa sesuatu yang pastinya tidak akan mengecewakan rencananya kali ini. Gadis itu menekan bel. Menunggu sebentar lalu tak lama memperlihatkan seseorang datang untuk membuka pintu gerbang untuknya.

"Belva!"

"Kesini sendiri?" Tanyanya kemudian mempersilakan Belva untuk ikut masuk.

"Iya. Bang, Vano nya ada kan?"

"Ada, baru aja pulang."

"Kok tumben Bang Ervin ada di rumah?"

"Iya, soalnya gue ngambilnya jam pagi, jadi jam segini udah di rumah."

"Bang, gue minjem dapurnya bentar ya. Gue tadi bawa makanan soalnya."

"Iya, gue tinggal ke atas dulu."

"Iya."

Baru saja Vano menuruni anak tangga, dia melihat sosok gadis yang akhir-akhir ini kerap sekali berada dalam lingkup hidupnya. Gadis yang membelakanginya itu terlihat sibuk dengan apa yang dia lakukan.

"Ngapain lo di rumah gue?"

Belva langsung berbalik. Karena keterkejutannya, dia tidak sengaja menyenggol mangkuk yang berada di sampingnya. Hampir saja mangkok itu jatuh, untungnya dia segera menangkapnya, jika tidak pasti mangkuk itu akan pecah.

Vano hanya memakai celana selutut dan kaos tipis yang mencetak jelas tubuhnya yang shirtless. Dan hal itu tentu saja mampu membuat Belva hanya bisa menelan salivanya.

"Enggak. Gue nggak ngapa-ngapain. Gue Cuma kesini bawain ini."

"Gue tau kalo Tante Marissa nggak ada di rumah, jadi gue kesini sambil bawain makanan buat makan malem."

Vano kemudian mendekat ke arah Belva. Mendekat ke arah gadis yang sekarang masih sibuk menyiapkan makanan yang dia bawa dari rumah itu. Belva yang berada dengan Vano dengan jarak sedekat ini terlihat seperti salah tingkah. Vano menyunggingkan senyumnya. Menurutnya, Belva sangat terlihat menggemaskan.

Vano menghentikan pergerakan Belva dengan mencekal pergelangan Belva. Mereka beradu tatap, sebelum akhirnya Belva yang terlebih dulu memalingkan tatapannya. Belva melepas cekalan Vano. "Kenapa? Grogi?" tanya Vano.

Belva ingin berlari sekarang juga. Bukan pertama kalinya bagi Belva melihat tubuh shirtless Vano. Namun anehnya, kali ini terlihat berbeda seperti sebelum-sebelumnya.

"Ekhmmm."

"Pacaran aja terus, mentang-mentang udah ada restu dari Bokap."

Belva mengalihkan topik pembicaraan. "Emmm, Bang, Om Edwin belum pulang?"

"Mungkin sekarang udah, biasanya lima menit lagi sampek rumah."

"Puas-puasin deh pacarannya, gue nggak bakal ganggu."

Vano memilih untuk berlalu. Menuju ke ruang tengah. Belva yang juga sudah selesai, kemudian mengekori Vano namun sedikit memberi jarak sambil berusaha menetralkan detak jantungnya yang sangat tidak karuan.

Tak lama setelah itu, seorang pria dengan jas rapi yang melekat di tubuhnya baru saja datang. Membuka pintu dengan menenteng tas kerjanya. Belva menghampirinya dan menyalaminya dengan hormat.

"Kamu pasti Belva ya?"

Belva tersenyum. "Iya, Om. Saya Belva."

Ervin dan juga Vano pun menghampiri Papanya, menyalaminya kemudian. "Ini nih, Pa." Bisik Ervin.

"Oh iya, Om, makan malamnya udah siap."

***

"Ya udah, Om, saya pamit pulang dulu. Soalnya udah malem."

Seusai makan malam selesai, Belva pun berniat untuk pulang karena hari yang sudah semakin gelap. Apalagi dia tadi kesini hanya naik taksi.

"Biar dianter Vano," bujuk Edwin yang nampaknya tidak tega jika Belva pulang sendiri malam-malam seperti ini.

"Makasih, Om. Tapi kayaknya nggak usah. Lagian saya tau, Vano pasti capek."

"Makasih, Belva kamu sudah mau kesini."

"Iya, Om. Saya pulang dulu."

Belva pun kemudian keluar dari rumah Vano. Sebenarnya dia ragu jika harus pulang sendiri. Namun, dia sendiri juga sungkan jika dia harus meminta langsung kepada Vano untuk mengantarkannya pulang.

Baru saja dia keluar dari halaman rumah besar itu, suara deru motor keluar dari halaman. Belva mengernyit menatap ke belakang.

"Naik!" Belva menatap Vano bingung. Menatap cowok yang sudah menaiki motor hitam besarnya jaket yang menempel di tubuh Vano. Padahal baru beberapa menit yang lalu saat dirinya berpamitan ingin pulang,Vano masih santai dengan pakaian santainya.

"Kemana?"

"Lo mau pulang apa enggak?"

"Ya mau lah."

"Ya udah cepet naik!"

***

Tak butuh waktu lama untuk mereka berdua sampai di rumah Belva. Vano pun memberhentikan motornya di depan rumah Belva. "Makasih, ganteng."

Belva menumpukkan tangannya di atas tangan Vano seraya tersenyum. "Besok mau dimasakin apa lagi?"

"Enggak usah."

"Kok enggak? Kenapa? Masakan gue enak kan?"

Vano mengangguk. "Kalo iya, kenapa nggak mau?"

"Ngrepotin."

"Gue nggak merasa gitu. Jadi, nggak papa dong."

"Gue ragu kalo itu bukan masakan lo."

"Enggak percayaan emang." Ucapannya justru mengundang tangan Vano untuk menyentil dahinya.

Setelah itu, Vano berpamitan untuk segera pulang. Belva sengaja tidak mengalihkan pandangannya sebelum punggung Vano benar-benar menghilang. Baru setelahnya dia bisa masuk.

"Dari mana saja kamu? Pulang dengan siapa?"

Tatapan menginterogasi Papanya langsung Belva dapati setelah dirinya menutup kembali pintu. Belva risih dengan sikap Papanya yang seperti ini. Selalu saja ingin mengurusi kehidupannya.

"Vano." Jawabnya santai sambil berjalan berlalu dari hadapan Papanya.

Belva berhenti namun masih membelakangi Arya. "Kenapa, Pa? Papa juga mau ngelarang Belva buat temenan sama Vano?"

"Kalau kamu tau seharusnya kamu lakukan."

"Kamu kan sudah Papa jodohkan dengan Sean."

"Tapi Belva nggak mau. Belva nggak suka dijodohin. Apalagi dijodohin sama cowok brengsek kayak Sean."

"Toh, Vano sangat lebih baik daripada Sean yang Papa bangga-banggain itu." Ucapnya kemudian langsung menaiki tangga menuju kamarnya.

***

Sedang apa? Di mana? Dan bersama siapa?
Bila kau tiada hampa dan sepi yang kurasa,

Kasih vote yaa, biar nggak sehampa itu hidupku😪😪
Yang udah pada nungguin, ini hadir lagi.

Mau ending yang gimana?

Sad ending or Happy ending???

Kalau kamu tim yang mana?
Jawab yaa😍😍

23 Januari 2020

Indisposed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang