Twenty Seven : The Choices

1.4K 187 48
                                    

'Min Yoongi, ini bukan hanya tentang kita berdua saja. Aku tahu kau membutuhkanku, tapi ketahuilah bahwa ada seseorang yang membutuhkanmu-melebihi aku. Kalau dipikir-pikir lagi, hubungan kita ini begitu konyol, ambigu, dan sia-sia. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Mari ambil jalan terbaik untuk diri kita masing-masing. Aku tidak bisa lagi mengurusmu, jadi kau harus bisa untuk tidak lagi membutuhkanku. Aku juga punya cita-cita yang ingin kuraih, begitu pula dengan dirimu, 'kan? Seharusnya aku mengatakannya sedari dulu bahwa aku tidak bisa meraih cita-citaku karenamu. Aku ingin terbebas dari dirimu, dari perasaan bodoh ini, dan dari segala masalahmu. Jadi, ayo berhenti.'

Arin menatap kembali bacaan delivered yang tertera di bawah pesan yang telah ia kirim tadi pagi. Hatinya terasa sesak dan sungguh ... ia benar-benar ingin menangis. Apalagi ketika mengingat sorot penuh kekecewaan Min Yoongi tadi siang. Seharusnya ia senang karena rencananya untuk membuat pria Min itu membencinya terlihat sukses total, tetapi entahlah ... mungkin cinta memang tidak bisa dibohongi begitu saja. Namun, pesan yang ia kirimkan tidak sepenuhnya berisi dusta semata. Arin memang ingin mengejar cita-citanya yang selama ini hanya diketahui oleh sang ibunda. Jadi, begitu mendapatkan tawaran menarik dari ibunya kemarin, Arin jadi berpikir ... mungkin inilah jalan keluar dari segala permasalahan dirinya dan Min Yoongi.

'Aduh, ibu jadi bingung sekali. Bagaimana mengatakannya, ya?'

'Kenapa, Bu? Apa terjadi sesuatu?'

'Tidak, tapi teman ibu baru saja menceritakan tentang beasiswa yang diterima anaknya di salah satu universitas yang berada di Jepang.'

'Lalu?'

'Arin, bukankah kau ingin menjadi seorang dokter?'

'I-ibu ....'

'Teman ibu mengatakan bahwa ada beasiswa khusus di salah satu universitas jika kau melanjutkan sekolah menengah di Jepang.'

'J-jadi?'

'Ayo pindah. Ibu sudah merundingkan hal ini dengan ayahmu. Ini demi masa depanmu, Arin.'

•••

Bintang-bintang terlihat berkelip-kelip-itu kata sebagian orang. Namun, sejauh mata memandang-bahkan Yoongi sampai harus menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangannya-cahaya-cahaya kecil itu hanya terdiam, hanya terlihat cerah saja, tidak berkelip-kelip seperti lampu disko. Bulan juga. Katanya, saking cantiknya rembulan, orang-orang sering menyandingkan kata cantik dan rembulan-seolah enggan terpisahkan. Iya, sih, Yoongi akui bahwa rembulan terlihat cantik-kalau dari jarak jauh. Kalau dari dekat? Ya, begitu, banyak lubangnya, tidak seperti apa yang dielu-elukan orang lain. Hal itu mengingatkan Yoongi pada dirinya sendiri. Kata orang, Yoongi itu kuat dan pemberani. Kata orang, Yoongi itu hebat dan hidupnya terlihat baik-baik saja. Padahal tidak.

Pemuda itu menghela napas kasar begitu melirik kepada ponselnya yang tergeletak di atas meja, menampilkan notifikasi pesan dari Kogyeol mengenai pertandingan yang akan datang. Oh iya, pertandingan .... Yoongi jadi mengingat Arin. Pesan yang ia terima tadi pagi membuat hati sang pemuda mencelos begitu saja. Ia begitu marah ketika Arin mengatakan bahwa hubungan mereka itu ambigu dan sia-sia. Apalagi, ketika gadis itu mengatakan bahwa Yoongi lah penyebab utama terhambatnya cita-citanya. Oh, sial. Yoongi pikir hatinya pecah detik itu juga.

"Hyung! Kenapa Arin Noona tidak datang lagi ke sini, ya? Padahal Kookie ingin mengajaknya bermain ular."

Yoongi kembali menghela napas, kemudian berbalik-menyenderkan punggung pada pagar balkon seraya memerhatikan Jeon Jungkook yang tengah terduduk sedih di atas karpet beludru dengan sebuah toples berisi ular-ular kecil-yang menurut bocah itu menggemaskan, tentu saja. Ah, ya, Jungkook 'kan belum tahu kalau hubungan ambigu Yoongi dan Arin sepertinya telah kandas begitu saja. Maka dari itu, si bocah masih saja berharap sang gadis datang.

lol.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang