Jumat, 04 Mei 2018

1.6K 192 6
                                    

Suara alarm di ponsel yang menunjukkan pukul enam pagi membangunkan saya. Padahal saya baru bisa tidur sekitar pukul tiga dini hari tadi. Entah ini bisa dibilang tidur atau bukan, yang jelas saya benar-benar sedang berada di fase, dimana mood saya yang mudah berubah dan membuat saya jadi lebih sensitif. Pikiran yang tidak bisa diam, selalu saja ada yang mengganggu. Dan saat malam pasti susah tidur, sekalipun saya sangat lelah.

Setelah mandi, seperti biasa saya harus menyiapkan sarapan untuk diri saya sendiri. Walau hanya sekedar roti panggang atau nasi goreng, itu adalah hal yang wajib dilakukan di pagi hari.

Semenjak saya memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen, saya jadi biasa melakukan semuanya sendiri. Walau kadang Mama atau Nita datang membawakan masakan rumah untuk saya. Nita yang sekarang masih kuliah juga beberapa kali menginap dengan alasan meminta bantuan saya mengerjakan tugasnya. Padahal itu hanya agar Mama tidak tahu dan berakhir mengomelinya kalau dia sebenarnya bertemu dengan kekasihnya.

"Siapa, sih, pagi-pagi malah bertamu?" gerutu saya ketika mendengar suara bel berbunyi. Karena saya baru saja hendak menyalakan kompor untuk membuat telur dadar.

"Maaf ganggu pagi-pagi, ya," ucapnya tepat ketika saya membukakan pintu.

Iya.

"Ada apa, ya?" tanya saya pada seorang pria berkacamata yang kini sedang berdiri di hadapan saya dengan nampan di kedua tangannya.

Dia yang tadi menekan bel.

"Ini, saya tadi bikin sarapan lebih."

Saya mengerutkan kening. Tak mengerti.

"Tanda silaturahim antar tetangga."

Saya masih tak mengerti dan belum mau menerima nampan yang berisikan piring tertutup itu.

"Saya baru pindah di sebelah kemarin," jelasnya. "Tenang, ini nggak beracun kok."

Semalam memang saya sempat melihat pintu unit sebelah yang tidak tertutup rapat. Dan beberapa hari kemarin saya juga sempat mendengar kalau memang akan ada yang menempati unit itu setelah beberapa bulan kosong.

Jadi, pria ini yang menempati?

"Oh iya, terima kasih." Saya menerima piring tersebut. "Kebetulan, saya belum buat sarapan."

"Iya sama-sama." Dia melemparkan senyuman. "Kalau begitu, saya permisi."

Jangan tanya kenapa saya dengan senang hati menerima pemberian itu begitu saja, karena memang itu adalah hal yang biasa di sini. Beberapa bulan yang lalu juga saya mendapat semangkok soto dari sebuah keluarga yang baru menempati apartemen ini.

Kalau saya ingat-ingat, saat saya pindah ke sini, Mama membuatkan ayam balado dan membagikannya ke beberapa tetangga juga. Jadi mungkin itu adalah hal yang wajib bagi penghuni baru.

Karena judulnya untuk diberikan kepada orang lain, rasanya sudah pasti enak, 'kan? Entah dia memasaknya sendiri atau membelinya di pedagang pinggir jalan. Yang terpenting, pagi ini saya jadi tidak perlu repot-repot memasak.

***

"Aduh, Nja, beneran deh ternyata Pak Fandi itu perhatian banget."

Baru sampai kantor, saya sudah mendapat racauan Hilda tentang meeting-nya bersama Pak Fandi kemarin. Mungkin karena semalam Hilda sudah sangat lelah, jadi saya tak mendapat telepon untuk dia bercerita selama berjam-jam sampai telinga saya terasa panas karena harus tertempel ponsel. Padahal sebenarnya saya sudah menyiapkan diri untuk itu.

"Dia berkali-kali nanyain gue; 'udah makan belum', 'kalau laper, bilang aja', 'kalau kamu capek, istirahat aja. Saya bisa sendiri kok'," tutur Hilda lengkap dengan gaya bicara Pak Fandi yang memang selalu terlihat berkarisma.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang