[Spin Off] Kamis, 16 Januari 2014

765 131 7
                                    

Aldi

Setelah adegan kejutan yang benar-benar membuat saya terkejut—bukan karena Senja yang membawa kue tart dengan lilin menyala di atasnya, tapi karena Senja yang tubuhnya gemetar hebat karena memaksakan diri berada di ruangan gelap sendirian. Sungguh, melihatnya seperti itu membuat saya sangat khawatir.

Karena itu juga saya tidak mengizinkan lagi Senja untuk mengadakan kejutan ulang tahun untuk saya. Walau memang sejak awal, saya tidak pernah memintanya melakukan hal tersebut.

Senja sudah biasa saja sekarang, sudah bisa tertawa dengan renyah lagi. Saya senang melihatnya, karena tak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar tawa Senja Aulia.

Jam-jam terakhir ditanggal enam belas Januari, saya habiskan bersama Senja. Mulai dari makan malam bersama yang memang itu rencana awalnya, sampai bercerita tentang ini-itu sambil memakan kue tart bertuliskan 'Happy Birthday Aldi Rasendriya' sebagai cemilan.

"Aku nginep aja, ya," ucapnya setelah selesai mandi yang sebenarnya sudah saya larang keras-keras untuk tidak mandi tengah malam seperti ini.

Sekarang, Senja malah dengan rambut basahnya dan tubuh yang dibalut kaos dan celana milik saya yang terlihat begitu kebesaran di tubuhnya, mendekat ke arah saya yang sedang duduk di ruang tengah. Saya sudah mandi sebelumnya.

"Kalau aku larang, emang kamu nurut?"

Ucapan soal Senja yang ingin menginap di apartemen saya memang sudah dia lontarkan sejak kami selesai makan malam. Saya tidak menyetujui atau menolaknya, karena saya tahu kalau Senja susah untuk diberitahu sekalipun saya menolak keinginannya.

"Aku udah bilang Mama, kok." Senja mendekat, tetesan-tetesan air dari rambutnya berhasil mengenai kaos yang saya gunakan.

"Basah, Nja." Saya mendorong kepalanya menggunakan jari telunjuk untuk menjauh dari saya. "Bukannya keringin dulu, ih."

Senja mendekat lagi. Saya mendengus.

Benarkan, dia itu tidak bisa diberitahu. Bukan, Senja tidak menyebalkan. Malah hal-hal seperti itu yang entah kenapa membuat dia terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Bahkan dengan kaos dan celana kebesaran sekalipun.

"Al, lihat aku deh."

"Apa?" Saya menoleh sekilas, sebelum akhirnya pandangan saya kembali pada layar televisi. "Aku lagi lihat TV."

Senja berdecak kesal. "Ih, sebentar doang."

Saya pasrah, menurut saja untuk melihat ke arahnya, memutar tubuh saya sepenuhnya untuk berhadapan dengan Senja. Saya kadang berpikir, kapan kiranya saya tidak mengalah pada Senja. Apa karena saya begitu mencintainya sampai saya menurut saja? Entahlah. Mungkin memang begitu adanya. Saya hanya benci keributan.

"Sini deketan, aku bisikin sesuatu." Senja menggerakan tangannya, berisyarat untuk saya mencondongkan sedikit tubuh saya agar dia bisa berbisik.

"Aduh, Nja, di sini 'kan cuma ada aku sama kamu. Kamu mau ngomong kenceng-kenceng juga nggak bakal ada yang denger."

"Jadi nggak usah bisik-bisik segala, lha," sambung saya yang berhasil membuat Senja kembali berdecak sebal.

Saya terkekeh melihat raut wajahnya yang seolah tengah jengah terhadap saya. Lalu detik berikutnya, kekehan itu hilang dan berganti suara jadi degupan jantung yang tak lagi berirama saat Senja tiba-tiba saja mencondongkan sedikit tubuhnya dan menempelkan bibirnya pada bibir saya dalam waktu yang singkat.

Hanya singkat, mungkin tidak lebih dari dua detik.

Saya menatap Senja yang kini pandangannya sudah tak lagi ada pada mata saya. Dia menatap apapun asal tidak pada mata saya. Saya tersenyum kecil saat Senja entah secara sadar atau tidak, menggigit bibir bawahnya. Mungkin sedang meredakan kegugupan yang ada.

"Jangan digigitin, nanti berdarah." Saya menarik dagunya ke bawah agar Senja berhenti menggigit bibinya.

Dan berhasil, Senja berhenti. Kini juga berhasil kembali menatap saya, menjatuhkan binar mata indah itu ke dalam mata saya. Kami bertatap, lama. Lalu tersenyum.

Entahlah, bagaimana ceritanya, tahu-tahu saya yang sekarang lebih dulu mendekat, lebih dulu mencondongkan tubuh untuk mengikis jarak yang ada, lalu menarik pelan tubuh ramping itu untuk lebih mendekat ke arah saya agar saya tidak terlalu mencondongkan diri. Sampai akhirnya sesuatu yang saya perbuat dengan lembut dan hati-hati, berubah jadi lebih tajam dan terkesan terburu.

Tidak tahu, saya agaknya begitu senang ketika tangan Senja beralih untuk melingkar di tengkuk saya, seolah sedang sama-sama tidak ingin ada jarak lagi diantara kami. Kalau saja tidak mengingat bahwa kami adalah manusia yang juga butuh bernapas, saya tidak rela untuk melepas tautan itu.

Mata terpejam itu kembali terbuka. Masih dengan jari-jarinya yang terselip di antara helaian rambut saya, saya menatapnya dengan jarak itu. Dekat, sangat dekat. Saya tersenyum. Senja tersenyum.

"Selamat ulang tahun, Aldi."

Begitu katanya, sebelum dia lebih dulu kembali mendekat, menghancurkan jarak kecil yang tadi sempat kami buat untuk sama-sama mengatur napas.

Terima kasih, Senja. Maaf membuat tubuh kamu gemetaran saat menunggu saya untuk memberikan kejutan kue ulang tahun tadi. Sekali lagi, terima kasih.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang