Jumat, 25 Mei 2018

748 139 8
                                    

"Beneran udah sehatan, Nja?" tanya Mama lagi untuk memastikan kalau saya benar-benar akan berangkat kerja hari ini.

"Besokan juga udah libur lagi, kenapa nggak sekalian aja?"

Saya tersenyum. "Aku udah nggak apa-apa, Ma. Lagian Mama pikir, aku ini anak sekolah yang nggak akan masuk walaupun kemarin sama besok itu libur dengan alasan malas kotorin seragam?"

Saya menatap Mama yang wajahnya masih kelihatan khawatir. "Aku nggak mau temen kantorku terus-terusan lembur karena harus kerjain kerjaannya aku." Juga menjadikan Aldi alasan untuk terus berada di kamar dan menangis. Saya tahu Aldi benci itu.

Sejak hari Senin kemarin, saya memang tidak masuk kerja dan tidak mengaktifkan ponsel selama dua hari sampai membuat Hilda dan Mama harus datang ke apartemen untuk memastikan bahwa saya baik-baik saja. Karena Hilda datang, akhirnya Pak Fandi tahu tentang kondisi saya dan memberi saya izin istirahat. Karena Mama datang dan sampai menginap, saya jadi tidak perlu keluar apartemen untuk sekedar membeli makanan atau apapun itu. Sebab saya masih tak ingin bertemu dengan Fajar.

Mama menghela napas. "Kalau udah pulang, sayurnya jangan lupa dihangatkan lagi, ya."

Saya mengangguk, lalu keluar dari apartemen bersama Mama. Saya menyuruh beliau untuk pulang juga, karena kasihan dengan Nita ditinggal sendiri di rumah karena Papa masih harus terus pulang-pergi ke luar kota. Dia juga mengeluh karena harus terus membeli makan di luar menggunakan uang sakunya. Sehingga saya harus mengganti uang sakunya yang Nita pakai untuk membeli makan. Padahal tidak seberapa.

"Jangan bawa mobil dulu sebelum kamu bener-bener sembuh." Mama memberi saya peringatan lagi.

Saya mengangguk. "Kalau gitu, aku duluan. Hati-hati." Saya turun dari taksi dan pergi meninggalkan Mama.

Sejenak saya menarik napas panjang sebelum memasuki area gedung kantor. Saya sudah bertekad pada diri saya sendiri untuk bangkit dari kesedihan yang selama ini mengikat saya dengan kuat. Ya, saya akan mencobanya lagi. Walau saya sendiri tidak yakin akan berhasil. Setidaknya saya berjanji, kalau saya akan berusaha terus sampai bisa.

"Senja?!" Suara itu berasal dari salah satu orang di kedai kopi. Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya, karena sekarang dia sedang berjalan ke arah saya, bersama dengan Bagas.

"Gue pikir, lo nggak akan masuk lagi," ucapnya ketika berhasil menjajarkan langkahnya dengan saya.

"Udah sehat, Mbak?" tanya bagas sambil tersenyum. "Potongan rambutnya juga bagus."

Saya anggap itu sebagai pujian. Padahal Hilda beberapa kali mengatakan kalau saya tidak pantas menggunakan rambut pendek.

"Gue tahu kalau kalian semua kesusahan karena harus mengerjakan kerjaan gue." Saya mendelik. "Jadi nggak usah sok kasihan sama gue."

"Kok dia tahu, sih?" Hilda berbisik pada Bagas, tapi itu cukup keras untuk disebut sebuah bisikan karena saya mampu mendengarnya. Sementara Bagas hanya terkekeh soal itu.

"Mbak, ini ya." Devan menaruh setumpuk berkas di meja saya begitu saya duduk di kursi. Dia memberikan isyarat semangat menggunakan kedua tangannya.

Saya tahu, ini pasti akan terjadi. Walau sudah dibantu oleh beberapa pegawai selama saya tidak masuk, tapi ada juga perkerjaan yang memang harus saya sendiri yang mengerjakan, tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dan ini perkerjaan selama empat hari itu.

"Jatah keripiknya buat lo aja deh. Hari ini gue libur dulu." Hilda terkekeh. "Semangat ngerjainnya!"

Saya menghela napas panjang, sepertinya saya memang akan larut malam hari ini kalau tidak mau memakai waktu libur besok untuk mengerjakan semuanya.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang