"Masih belum selesai kerjaannya?"
Seketika saya langsung melihat jam yang ada di laptop, sekarang menunjukkan pukul dua belas lewat 27 malam. Lalu pandangan saya berpindah pada tumpukan kertas di samping laptop. Saya menghela napas, mengusap wajah dengan gerakan kasar.
Sudah hampir empat jam saya berada di posisi seperti ini; duduk di kursi dengan laptop dan berkas-berkas di atas meja. Namun, pekerjaan saya belum juga selesai, masih tersisa sebagian lagi. Ini semua karena saya tidak masuk kerja hampir satu minggu lamanya.
Kalau sudah begini, saya yang baru sembuh dari sakit juga bisa kembali sakit.
"Masih banyak?" tanya Aldi lagi setelah pertanyaannya yang tadi tidak mendapat jawaban dari saya. Sudah satu jam Aldi menemani saya berbicara lewat sambungan telepon yang saya aktifkan loudspeaker-nya. "Sok-sokan nggak mau dibantuin, sih," sambungnya.
"Emangnya kamu bisa bantu apa?" tanya saya dengan suara lemah. "Paling cuma duduk, kayak lagi mandorin aku."
Aldi tertawa singkat.
"Kamu udah ngantuk?" tanya saya pada Aldi. Saya meminum lagi kopi yang sudah kehilangan suhu panasnya karena dimakan waktu. Itu adalah gelas ketiga yang saya habiskan selama mengerjakan pekerjaan saya, demi mengusir rasa kantuk yang bisa datang kapan saja. Bahkan saya baru saja menghabiskan mi goreng yang dibuatkan Mama tadi.
Aldi tidak menjawab, tapi suaranya yang sedang menguap terdengar, menjadikan itu sebagai jawaban secara tidak langsung.
"Tidur aja," titah saya. "Nanti pagi cek proyek yang ada di Bandung, 'kan?"
"Kamu nggak ngantuk?"
"Aku udah minum tiga kelas kopi kalau kamu mau tahu. Jadi nggak mungkin ngantuk."
Saya memang tidak mengantuk, tapi apa yang dirasa oleh tubuh saya sekarang ini agaknya tidak memperlihatkan kalau saya benar-benar kuat menyelesaikan semua pekerjaan saya saat ini juga. Saya sudah tidak kuat lagi untuk terus duduk, juga jari-jari saya yang sudah mulai melemah untuk mengetik.
"Jangan sering-sering minum kopi, Nja. Nggak baik buat kesehatan."
Saya tidak menjawab, masih sibuk mengetik, namun bukan maksud untuk mengabaikannya juga. Dari nada bicaranya, ada sebuah tekanan yang memperlihatkan kalau dia tidak suka pada apa yang saya lakukan tadi; minum kopi sampai habis tiga gelas. Karena jelas-jelas, ini bukan kali pertamanya memperingatkan saya untuk tidak terlalu sering minum kopi.
Apa Aldi marah pada saya?
"Nja? Denger, 'kan?" Dia bersuara lagi, sedikit membuat saya meremang. Suaranya memang pelan, bahkan bisa dikatakan kalau itu sangat lembut. Tapi kalau Aldi sudah memberi nasihat yang ditekankan sebagai peringatan, saya tidak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dan mendengarkan.
"Iya," jawab saya pelan.
"Aku tingga tidur, nggak apa-apa?" tanya Aldi setelah beberapa saat kami saling diam. "Aku udah ngantuk." Dia kembali menguap, untuk yang kesekian kalinya.
"Iya, nggak apa-apa. Aku bentar lagi juga selesai kok." Saya berusaha meyakinkannya.
"Ya udah, kalau udah selesai, langsung tidur. Jangan makan mi lagi, jangan minum kopi lagi."
"Iya."
Setelah itu sambungan telepon benar-benar terputus, dan saya baru menyelesaikan semua pekerjaan satu jam kemudian, itu juga tidak dicek ulang oleh saya. Biarkan, besok baru saya akan mengeceknya. Tubuh saya sudah benar-benar terasa remuk sekali.
Kalau saya kembali jatuh sakit, sepertinya saya akan menuntuk manager saya karena telah memberikan pekerjaan sebegini banyaknya pada saya. Lagi pula, siapa juga yang ingin tidak masuk kerja dengan alasan sakit hingga harus menimbun pekerjaan? Saya jamin, pasti tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian
Romance[SELESAI] Kalau berkenan mampir, saya akan memperkenalkan pria pemilik senyum indah dan tatapan teduh; pria yang mampu membuat saya berdebar tak sebagaimana mestinya; pria yang selalu bisa membuat desiran aneh mengalir hebat memasuki rongga di sisi...