Rabu, 12 September 2018

1.1K 178 98
                                    

Trigger warning⚠

-

Kalau ditanya tempat apa yang paling saya sukai, maka saya akan menjawab pantai. Kalau ditanya tempat apa yang saya benci, maka saya juga akan menjawab pantai. Tempat itu jadi satu-satunya tempat yang saya sukai sekaligus saya benci.

Menjelang datangnya sunset, saya sudah berdiri di sini, di bibir pantai, mantap gelombang air laut yang tak tenang. Sesekali terpejam kala angin laut menabrak saya terlalu kencang, atau gelombang air yang menerpa kaki saya dan membuat butiran pasir memasuki celah jari-jari saya.

Saya sudah tidak bisa lagi menangis, air mata saya sepertinya sudah habis. Kalaupun saya menangis, tak ada lagi yang akan mengusap air mata saya selembut Fajar, tak ada lagi seseorang yang bisa saya sandarkan bahunya dengan tenang. Tak ada. Fajar sudah pergi.

Hari ini saya mengantarkannya ke tempat paling tenang yang ada di dunia. Pakaian serba hitam yang saya kenakan tidak cukup membuat orang lain melihat saya tengah berkabung, karena saya hancur lebih dari itu.

Saya senang, Fajar tidak lagi tersiksa oleh-oleh sel-sel jahat itu. Tapi, egois kah saya kalau saya mengatakan bahwa saya tersiksa ditinggalkannya?

Dua minggu sudah saya tidak menginjak lantai apartemen karena setiap saya pulang kantor, saya akan langsung ke rumah sakit menemaninya sampai matahari terbit.

Setiap kali melihatnya tersenyum, saya berusaha sekuat mungkin menahan rasa nyeri yang saya rasakan disetiap sudut hati saya. Setiap melihat wajah pucatnya yang semakin hari, semakin parah membuat saya berusaha menyembunyikan rasa runtuh yang ada di dalam diri saya.

Saya tidak ingin sedihnya saya membuat Fajar sedih juga. Saya tidak ingin senyumnya Fajar luntur hanya karena mata saya yang berkaca-kaca.

Rengkuhan tubuhnya, usapan tangannya, kecupan bibirnya, masih membekas di hati saya, di tubuh saya, saya tidak bisa melupakannya begitu saja. Terlalu indah, terlalu sempurna, terlalu luar biasa.

Sekuat hati saya mencegah untuk tidak jatuh terlalu dalam, tapi malah hal itu membuat saya jatuh tersungkur, tenggelam semakin-semakin dalam.

Saya kembali meremas secarik kertas yang Ana berikan pada saya beberapa jam yang lalu. Yang jika saya baca kembali kata per katanya, maka akan menimbulkan keretakan hati di sudut yang lainnya.

"Fajar, saya belom kembaliin piring bekas nasi goreng waktu itu." Perlahan saya melangkah maju ke depan.

Cengkraman kertas itu semakin kuat.

"Kamu harus kembaliin uang saya karena kamu nggak bawa dompet waktu itu." Tanpa sadar, air sudah naik hampir sebatas lutut saya.

"Kita harus ketemu bukan?" Saya memaksakan diri tersenyum.

Setelah air menyentuh ujung tangan saya, saya segera mengangkat tangan itu. Rasanya tidak rela kalau kertas itu basah. Karena hal itu membuat saya kembali membaca tulisan tangan tersebut.


Senja, kamu adalah alasan kenapa saya mau bertahan hidup setiap harinya.

Senja, kamu adalah alasan kenapa saya selalu ingin ketemu hari esok.

Senja, kamu adalah kehangatan yang selalu ingin saya rasakan, walau saya tahu kalau dingin malam akan segera saya rasakan.

Senja, terimakasih udah mau bertemu saya yang nunggu kamu seharian.

Senja, terimakasih udah mau menemani saya menjemput malam.

Walau kamu hanya sebentar dan pertemuan kita sangatlah singkat, tapi kehangatan kamu begitu berarti buat saya.

Saya tahu, saya jahat udah menggunakan kepergian Aldi buat ketemu sama kamu.

Saya nggak tahu seberapa besar cinta yang kamu kasih ke Aldi. Yang saya tahu, saya selalu berusaha kasih yang lebih besar untuk kamu.

Maaf kalau pada akhirnya, kamu sedikit melupakan Aldi karena saya.

Saya senang karena kamu udah mau mengatakan apa yang kamu rasakan.

Tapi Senja, kamu harus tahu, bahwa senja dan fajar nggak mungkin bertemu, apalagi bersatu. Mereka selalu terpisah dengan adanya siang dan malam. Udah terbukti kan dengan adanya Aldi dan kematian?

Saya adalah kehangatan yang mengusir dinginnya malam untuk bertemu panasnya siang. Sedangkan kamu adalah kehangantan yang mengusir panasnya siang untuk bertemu dinginnya malam.

Tapi berterimakasihlah pada langit yang udang mau memberi kita tempat, walau nggak pernah saling menyapa.

Senyum kamu, tawa kamu, bahkan kesedihan kamu akan selalu saya ingat dan akan menjadi kenangan indah buat saya.

Jangan salahkan takdir yang nggak membuat kita bersatu. Karena semua cinta nggak harus bersatu.

Bayangkan kalau bumi dan langit bersatu, bayangkan kalau fajar dan senja bersama. Kehancuran yang mungkin jadi sapaannya.

Sekali lagi terimakasih udah menemani waktu singkat saya dengan kehangatan yang kamu punya.

Take care. Maaf kalau saya buat kamu nangis.

I love you.

Your love,
Fajar Caka Bagaskara.



Saya meremas kertas itu lagi, tangis saya pecah lagi, hati saya sakit lagi. Kenapa? Lagi-lagi kenapa?

Fajar... telah meninggalkan saya, meninggalkan semua orang.

Saya benci takdir. Saya benci semesta. Saya benci semua orang, termasuk diri saya sendiri.

Ketika langkah kaki saya semakin jauh menelusuri laut pantai. Ketika seluruh tubuh saya hampir tersentuh air. Ketika dinginnya air laut sudah menyelimuti saya. Ketika pandangan saya sudah berkabut. Ketika saya tidak bisa lagi bernapas karena hidung saya sudah memasuki air laut. Ketika itu juga saya dengan samar mendengar teriakan seseorang, entah dari mana.

Bukan, ini bukan suara Fajar atau Aldi. Tapi suara itu mampu membuat saya terusik.

"MBAK SENJA?!!!"

.fin

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang