Deringan ponsel terus mengganggu tidur saya. Setelah mematikan alarm dan berniat untuk tidur sedikit lama lagi, tapi deringan itu seolah membatalkan rencana saya secara paksa. Tidak tahu kah kalau semalam saya baru pulang pukul sebelas malam?
"Eum?"
Akhirnya saya mengangkat telepon itu, tanpa melihat terlebih dulu nama siapa yang tertera di layar ponsel.
"Senja, proposal yang semalem belum dikirim ke gue?" Suara Hilda sangat nyaring terdengar dari balik ponsel.
"Iya, nanti gue kirimin." Saya menjawab lemas. Masih mengumpulkan tenaga untuk bangun lalu mandi.
"Buruan! Proposalnya mau dipake meeting pagi ini!"
Tepat saat suara teriakan Hilda memasuki telinga saya, saat itu juga panggilan langsung terputus secara tiba-tiba. Ternyata ponsel saya yang mati karena kehabisan daya. Semalam karena sudah terlalu lelah, saya jadi lupa mengisi daya ponsel.
Kalau bukan karena pekerjaan yang penting, saya masih ingin berbaring di tempat tidur. Tapi teriakan Hilda tadi benar-benar masih terngiang di telinga saya. Jadi mengharuskan saya membuka laptop hanya untuk mengirim email.
Lagi-lagi saya lupa mengisi daya laptop. Tapi ketika saat menghubungkan kabel charger pada laptop, tetap tidak mau menyala. Dayanya tidak mau terisi. Apa sedang padam listrik?
Hah?
Saya melihat lampu kamar yang ternyata sudah mati, padahal saya tidak bisa tidur dengan keadaan ruangan yang gelap. Menghubungkan charger ponsel, sama saja tidak mau terisi. Benar-benar sedang padam listrik. Dan lebih sialnya, saya juga tidak mengisi daya powerbank. Terus saya harus bagaimana?
Di kantor mungkin listriknya tidak padam, tapi butuh secepat-cepatnya satu jam untuk sampai sana, mengingat saya yang belum mandi dan bersiap. Mungkin sebelum sampaipun, saya sudah mendapat SP terlebih dahulu.
Akhirnya tanpa ragu saya menekan bel berkali-kali. Sekarang saya sedang butuh bantuan, dan orang yang mungkin bisa membantu saya adalah Si tetangga sebelah.
Kini saya sedang berdiri di depan pintu apartemen Fajar setelah tadi menekan belnya beberapa kali. Masih mengenakan piyama, rambut yang dicepol asal, bahkan tidak sempat membasuh muka dan tidak mengenakan sendal saat keluar.
"Iya?" Fajar memperhatikan saya yang setengah panik ini dari atas sampai bawah.
Tidak usah merasa risi dulu diperhatikan begitu dalam keadaan seperti ini, toh memang saya sedang pantas ditatap seperti itu.
"Boleh pinjam powerbank?"
Oke, ini memang terdengar memohon. Sungguh, memang ini sedang memohon.
"Hah?" Fajar sepertinya masih mencoba mencerna keadaan yang dilihatnya saat ini. "Masuk dulu," ujarnya sambil memberikan jalan untuk saya masuk.
Saya yang sedang panik tanpa pikir panjang langsung mengikuti langkahnya yang membawa saya masuk ke dalam apartemennya. Sempat terkejut beberapa saat, tapi kembali tidak peduli. Saya sedang butuh bantuannya.
"Duduk dulu." Fajar mempersilakan saya untuk duduk di sofa. "Sebentar, saya ambilkan dulu."
Saya mengangguk. Lalu setelah Fajar pergi, saya langsung memperhatikan keadaan sekitar. Tak ada yang aneh dari ruang tamunya, sama seperti ruang tamu lainnya. Sofa, televisi, pot bunga, serta sebuah gitar yang bersandar pada sofa begitu tertata dengan rapi.
"Ini powerbank-nya."
Saya menerimanya dan langsung menghubungkannya dengan ponsel saya. Setelah menunggu beberapa saat, ponsel saya bisa aktif lagi. Tenang saja, karena dokumen penting selalu saya simpan di penyimpanan online, jadi saya tak perlu panik lagi karena dokumen tersimpan di laptop saya yang sekarang sedang tidak bisa menyala.
"Senja?! Lo itu—"
Saya menjauhkan ponsel dari telinga. Setelah mengirim proposal yang Hilda pinta, saya langsung meneleponnya. Dan teriakan itu juga langsung masuk ke telinga saya.
"Hil, maaf tadi itu—"
"Lo tahu nggak, Pak Fandi udah marah, terus Mbak Lusi udah ngomel-ngomel dari tadi." Hilda memotong kalimat saya dan saya secara otomatis menjauhkan ponsel dari telinga lagi. Memejamkan mata, membayangkan betapa mengerikannya Hilda ketika sedang marah seperti ini.
Karena izin tidak ikut meeting pagi ini, jadi saya yang harus mengurus segala keperluannya. Termasuk proposal tersebut.
Oke. Saya melukan keberadaan Fajar yang sekarang sedang berdiri dan tengah menatap ke arah saya. Rasa malu mulai terasa oleh saya.
"Ini, makasih." Saya memberikan lagi powerbank padanya. Urusan saya sudah selesai pagi ini.
"Lho, nggak mau sekalian dipenuhin aja handphone-nya?"
"Nggak usah, saya bisa charger nanti di kantor," jelas saya. "Sekali lagi, makasih."
Fajar mengangguk, lalu menerima powerbank-nya. "Iya sama-sama."
"Kalau gitu, saya permisi dulu."
"Eh, tunggu dulu. Kayaknya kamu belum tahu kalau dua hari ini bakal ada pemadaman listrik." Fajar menunjukkan secarik kertas pemberitahuan yang dia ambil dari atas televisi. "Mungkin karena kemarin kamu pulang terlalu malam."
"Ah gitu." Saya mengangguk mengerti.
Dua hari ya? Mendadak saya jadi diam. Sepertinya saya harus pulang ke rumah Mama selama dua hari ini. Tidak mungkin saya masih di sini dalam keadaan gelap saat malam hari.
"Senja, kamu nggak apa-apa?"
Saya sedikit terkejut ketika Fajar memanggil nama saya. Barusan dia panggil nama saya, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian
Romance[SELESAI] Kalau berkenan mampir, saya akan memperkenalkan pria pemilik senyum indah dan tatapan teduh; pria yang mampu membuat saya berdebar tak sebagaimana mestinya; pria yang selalu bisa membuat desiran aneh mengalir hebat memasuki rongga di sisi...