Karena saya salah satu orang yang sangat patuh terhadap perintah orang tua, jadilah saya yang sekarang berangkat kerja naik taksi online karena Mama sudah memperingatkan saya sejak kemarin untuk tidak berangkat bekerja mengendarai mobil sendiri. Mama bahkan menyarankan saya untuk tidak masuk terlebih dahulu, tapi sungguh, saya sudah baik-baik saja.
Seperti biasa, Hilda sudah datang lebih dulu dan kini sedang menikmati sarapannya. Rumahnya yang cukup jauh dari kantor membuatnya harus berangkat lebih pagi kalau tidak ingin terjebak kemacetan. Saya pernah mengajaknya untuk tinggal bersama dengan saya atau setidaknya mencari kost yang jaraknya lebih dekat dengan kantor, tapi kondisi papanya yang sedang sakit membuatnya harus terus berada di rumah.
"Buat gue?" tanya Hilda setelah saya meletakkan sebotol susu pisang di mejanya. "Tumben banget." Ia membuka tutup botol itu lalu meminumnya, tanpa mengatakan terima kasih terlebih dahulu.
Oke, lupakan.
"Nita bilang, lo lagi sakit?"
"Kecapean doang," jawab saya dengan nada lemah.
Kami ini sudah berteman sejak kuliah, tapi sempat berpisah selama dua tahun karena saya bekerja di perusahaan lain. Ya, saya baru bekerja di perusahaan ini tiga tahun yang lalu, atau setelah Hilda bekerja selama setahun di sini. Hilda juga memang yang menyarankan saya untuk bekerja di tempat yang sama dengannya. Setelah sebelumnya saya sempat menganggur selama hampir satu tahun.
"Mbak Senja, minta laporan pengeluaran akhir tahun kemarin dong," ucap Bagas yang baru saja menghampiri meja saya.
"Buat apa? Coba minta sama Devan. Laporan keuangan 'kan dia yang pegang."
"Kata Mas Devan, ada di Mbak Senja," jawab Bagas dengan tatapan yang kebingungan. Maklum, baru bekerja beberapa bulan yang lalu.
Saya langsung melihat ke arah Devan yang sedang menikmati kopinya dan ternyata melihat ke arah saya. Tanpa memberikan tatapan menakutkan atau kata-kata tajam, Devan langsung sibuk menatap layar monitornya, seperti sedang mencari sesuatu. "Tuh, minta sama Devan."
"Makasih, Mbak."
"Nja, Bagas ganteng, 'kan?" ujar Hilda dengan setengah berbisik, tepat setelah Bagas pergi dari tempat saya.
"Kan dia cowok," jawab saya. "Masih pagi, Hil, mau langsung gosipin cowok?"
"Ya elah, Nja."
Bagas, tingginya mungkin sekitar 180 senti. Umurnya kalau tidak salah 24 tahun, dua tahun lebih muda dengan saya. Pernah punya pengalaman bekerja di perusahan besar di Bandung, sebelum akhirnya bekerja disini. Saya yang kebetulan saat itu ikut menyeleksi pegawai baru, jadi sedikit tahu. Dan saya sama sekali tidak tertarik, seberapa sering-pun Hilda mencoba mengenalkan saya pada pria yang menurutnya tampan. Seperti yang barusan ia lakukan.
***
"Bukannya awal tahun kemarin kamu sudah ambil cuti, ya?" Pak Fandi bertanya mengenai saya yang meminta izin cuti lagi.
"Iya, Pak."
Saya yang saat itu sudah berjanji pada Nita dan Mama kalau akau mendapat bonus yang lumayan besar, saya akan mengajak mereka liburan dan itu tepat saat Nita sedang libur semester. Akhirnya saya mengajak Nita dan Mama untuk liburan ke Jogja selama seminggu awal tahun kemarin.
Biasanya saya jarang menggunakan jatah cuti untuk hal-hal seperti itu. Tapi karena kemarin itu sudah janji, jadi mau, tidak mau ya harus ditepati. Sebenarnya saya juga sudah tahu kalau mungkin ini akan ditolak oleh Pak Fandi.
"Ada apa memangnya?" tanya Pak Fandi lagi.
"Saya ada urusan pribadi, Pak."
"Penting?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian
Romance[SELESAI] Kalau berkenan mampir, saya akan memperkenalkan pria pemilik senyum indah dan tatapan teduh; pria yang mampu membuat saya berdebar tak sebagaimana mestinya; pria yang selalu bisa membuat desiran aneh mengalir hebat memasuki rongga di sisi...